Kata Buya Hamka dalam buku “Pribadi Hebat,” harga Dua puluh ekor kerbau yang sama gemuk, sama kuat dan sama kepandaiannya menarik pedati tidak jauh berbeda. Tapi “harga” dua puluh manusia yang sama tinggi dan sama kuat, belum tentu sama. Sebab, bagi kerbau, tubuhnya saja yang berharga. Bagi manusia adalah pribadinya.
Bahkan menurutnya, “Orang berilmu saja—walaupun ia sangat ahli dalam satu bidang—belum tentu berharga dan belum tentu memperoleh kekayaan dalam hidup apalagi sekiranya bahan pribadinya yang lain tidak lengkap atau tidak kuat, terutama budi dan akhlak.”
Itu mengapa bagi Hamka, “pintar” bukan syarat utama dan mutlak dari ketinggian pribadi seseorang. Di samping keluhuran budi pekerti dan kemuliaan akhlak, pribadi seseorang harus dihiasi pula dengan kemampuan untuk bisa berpikir dengan baik, mau berusaha, tepat dalam berhitung (penuh pertimbangan), jauh dalam memandang, dan mau berkontribusi bagi masyarakat
“Kemajuan pribadi suatu bangsa dan kemerdekaannya tidak akan tercapai jika belum ada kemajuan dan kemerdekaan pribadi individu. Tanda-tanda menunjukkan bahwa derajat kemajuan dan kejayaan yang didapat oleh beberapa manusia di bidang yang dimasukinya, dapat pula dicapai oleh orang lain asalkan orang itu mempunyai pribadi yang kuat. Kemajuan pribadi sendiri akan menentukan tempat kita yang pantas dalam pergaulan hidup di bidang apa pun,” tuturnya.
Alasan kenapa Hamka, M. Roem, M. Natsir, Kasman Singodimedjo, HOS. Cokroaminoto, A. Hassan, Hasyim Asy’ari, Ahmad Dahlan, Ki Bagus, Agus Salim, KH. Wahid Hasyim, Ki Hajar, dan yang lainnya hebat dan bernilai tinggi di mata masyarakat, karena pribadi mereka kuat dan hebat.
Mereka Budiman, cerdas, orang masyarakat, sehat jiwa-raga, dan cerdik-pandai. Mereka memiliki nilai tambah dan mutu lebih ketimbang banyak orang. Derajat mereka istimewa. Kelebihannya melebihi kekurangannya.
Mereka terdiri hanya beberapa orang, namun bernilai ratusan orang. Orang-orang seperti itulah yang membentuk sejarah hebat dan besar. Orang-orang seperti itulah yang sejak muda sudah mau memikirkan “hal-hal besar” dan berani menciptakan “pekerjaan besar” demi keperluan agama dan bangsanya. Mereka berani bertanggung jawab dan tangkas menetapkan suatu jalan yang akan ditempuh.
Namun, Kata Hamka, realitas kini cukup berbeda:
“Banyak guru, dokter, hakim, insinyur, dan orang-orang yang memiliki banyak koleksi buku serta diplomanya segulung besar, dalam masyarakat dia menjadi mati sebab dia bukan “orang masyarakat”. Hidupnya hanya mementingkan diri sendiri dan diplomanya, hanya untuk mencari harta. Hatinya sudah seperti batu, tidak mempunyai cita-cita selain kesenangan dirinya. Pribadinya tidak kuat, karena ia bergerak bukan karena dorongan jiwa dan akal. Dan kepandaiannya yang banyak sering kali menimbulkan ketakutan, bukan menimbulkan keberanian untuk memasuki dan menjalani hidup.”
Pesan Hamka: jangan hanya sibuk memperkaya ilmu tapi lemah pribadinya. Jangan hanya sibuk memperluas wawasan tapi miskin adab dan akhlaknya. Dan jangan hanya sibuk memperkaya gelar dan meninggikan status sosial, tapi minus soft skillnya. Silakan raih ketiganya, tapi perkuat pribadi, kayakan diri dengan adab dan akhlak, dan upgrade diri dengan soft skill!
Kalau sudah punya pribadi yang kuat langkah selanjutnya adalah (1) pelajari pribadi individu dan bangsa lain dan (2) jangan jadi “pak turut”, yakni orang yang menenggelamkan pribadi sendiri ke dalam kebesaran pribadi orang lain (tidak punya pendirian).
“Kemerdekaan telah memaksa jiwa kita supaya dinamis setelah menjadi jiwa statis selama ratusan tahun. Sekarang peperangan dengan Belanda telah terhenti dan jiwa dinamis telah ada pada kita. Karena itu, untuk menghadapi masa kemerdekaan, kita telah mempunyai modal, yaitu jiwa kita sendiri. Yang jatuh telah jatuh, yang lemah telah tersungkur, yang curang telah tersingkir, dan yang mencoba curang tentu akan tersingkir pula. Yang tua semakin hari semakin berangsur hilang, naiklah pemuda yang merupakan bentuk bangsa Indonesia di masa depan… Kepada pemuda, bebanmu akan berat, jiwamu harus kuat. Akan tetapi aku percaya langkahmu akan jaya. Kuatkan pribadimu. Hari telah hujan semalam, sekarang matahari telah terbit, cerah langit sepagi ini. Mari kawan kita maju ke depan bersama-sama, riang gembira! Mari! Nasib kita, kita sendiri yang menentukan!”
Dalam buku “Dari Hati Ke Hati”, Hamka menuturkan, di masa kejayaan Masyumi, Indonesia sempat mempunyai kaum cerdik pandai yang betul-betul punya kelengkapan pribadi, kaum yang cerdik-pandai dan yang ikhlas berjuang melawan kaum militer dan intelek Barat demi agama dan negara.
“Ke-intelektualan mereka, tidaklah mereka jadikan kebanggaan buat mencapai jadi ‘cabang atas’… Pengetahuan umum yang luas, bila dijiwai oleh jiwa jihad yang tumbuh dari iman dan agama, membawa bekas yang besar sekali bagi perjuangan Islam,” ucapnya.
Hamka kemudian melanjutkan:
“Intelektual Islam yang jumlahnya tidak banyak inilah yang menceburkan diri ke dalam perjuangan Islam 23 tahun lalu, sehingga dapat duduk sama rendah tegas sama tinggi dengan intelektual yang lain dalam menegakkan Republik Indonesia. Bahkan kadang-kadang lebih!… Tentara Nasional Indonesia berdiri, dan nama seorang intelek Islam Jenderal Soedirman, tidaklah akan dapat dilupakan. Mr. Asaat terkenal sebagai ketua KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) pertama, terkenal sebagai pejabat presiden dari Republik Indonesia di Yogyakarta. Nama Syafruddin terkenal sebagai pendiri dan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), dikala Soekarno dan Hatta ditawan. Nama Roem terkenal dengan perjanjian Roem-Royyen. Selanjutnya Natsir terkenal sebagai Perdana Menteri pertama dari negara kesatuan yang dapat dibangunkan kembali.
Juga Kasman yang berpindah dari delik ke delik (kasus-kasus), dari penjara ke penjara, adalah Jaksa Agung pertama, tragis yang dihadapinya adalah karena keras pada pendiriannya, otak intelek dan jiwa iman, tak mau menjual pendirian… dapatkah dilupakan bagaimana perjuangan mereka untuk Islam 15 tahun yang lalu? Sehingga satu partai politik Indonesia dengan pengikut sekian juta dapat melawan dan menentang komunis berhadap-hadapan? Dan rela dengan hati menerima segala macam konsekwensi, kemelaratan, kemiskinan, pembuangan dan pengasingan? Menerima menjadi tumpah kebencian orang banyak yang sudah didoktrinasikan supaya benci kepada mereka. Dan setelah keadaan politik berubah, mereka lalu dibebaskan kembali, namun wajah mereka tetap berseri-seri, berminyak-minyak, jiwa lebih besar dan mental lebih tahan!”
Ia pun berpesan kepada seluruh pemuda Muslim pada masa itu:
“Pikirkanlah! Kalau 15 tahun yang lalu hanya sekitar 200 orang intelek yang berjiwa Islam telah dapat menggerakkan tidak kurang dari 14 juta bangsa Indonesia Muslim, sekarang di seluruh Indonesia tidak kurang dari seribu sarjana, seribu intelek yang keluar tiap tahun. Pikirkanlah bagaimana 15 tahun lagi… Perjuangan untuk menuju cita-cita yang mulia ‘Baldathun Thayyibatun wa Rabbun Goffur’ ini memang berat. Jalan rayanya memang tidak ditaburi kembang dan bunga serta minyak cologner (pewangi).
Kita insyaf akan hal itu. Tetapi kalau buat masa-masa yang akan datang tidak juga kita sampai kepada yang kita cita-citakan, dengan tidak menghitung diri, tetapi menghitung cita dan perlengkapan yang ada, maka kita akan selidiki lagi dimana salahnya, dan dimana kurangnya… Tanyailah diri sudahkah kalian memperjuang Islam? Coba dengarkan.”
Fatih Madini (Alumni STID Mohammad Natsir)

Komentar