Kolom
Beranda » Demi Islam, Demi Indonesia

Demi Islam, Demi Indonesia

Siapapun yang membicarakan Indonesia, membaca Indonesia, tanpa mengikutsertakan Islam (termasuk di dalamnya tokoh-tokoh pergerakan Islam) dia sudah pasti bakal gagal). Setajam apapun analisisnya, sebanyak apapun referensi yang diusungnya, ketika dia mengabaikan peran Islam, peran tokoh-tokoh pergerakan Islam, atau berupaya meremehkan peran mereka, sekali lagi, bisa dipastikan dia bakal gagal membaca Indonesia.

Islam sendiri, hadir setidaknya dalam dua wajah sekaligus. Diantaranya, wajah normatif dan wajah historis. Sebagai wajah normatif, Islam tampil sebagai sebuah ajaran yang komprehensif, berisi nilai-nilai, ajaran dan doktrin yang selalu relevan dengan perkembangan zaman. Islam sebagai norma yang membawa wajah kedamaian dan keselamatan (salamah). Begitu juga menjadi anugerah bagi seluruh alam raya (Rahmatan lil alamin).

Sementara, Islam juga menampilkan wajahnya yang historis.  Di mana Islam ditampilkan dari sosok para pemeluknya.  Terekspresikan dalam laku keseharian, tindak tanduk perilaku, amal nyata dirinya yang mengaku sebagai muslim sejati. Inilah sebenarnya wajah yang bakal dilihat, sebuah fenomena kesejarahan. Ketika memandang Islam, selalu ada korelasi antara wajah Islam sebagai ajaran dengan wajah Islam yang tercermin dari para pemeluk, penganutnya.

Memandang perspektif di atas, seorang muslim dalam faktanya kerap membawa bendera Islam. Entah ini dalam gerakan mahasiswa Islam seperti HMI, PMII, KAMMI. Begitu juga ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, PUI, Dewan Dakwah, IKADI. Juga, membawa bendera partai berbasis (massa) Islam seperti PKS, PAN, PKB, PBB, PPP, Partai Ummat. Khusus terkait partai, walau sudah terang-terangan membawa simbol Islam, nyatanya bukan jaminan “laku”. Partai semisal PBB, PPP atau Partai Ummat, nyatanya, tak bisa (belum bisa) membawa wakilnya ke parlemen (Senayan).

Singkatnya, atas beragam kegagalan penerimaan tersebut,  beragam strategi (politik) terus diuji cobakan. Partai yang kental dengan nuansa bendera Islam, semisal PKS memang masih cukup eksis dan bisa bertahan sampai sekarang. Hanya saja pekerjaan rumah (PR) besar partai  ini adalah meningkatkan performa suara. Sejauh ini, peringkat suara tak jauh beda dengan pemilu sebelumnya. Ada analis politik yang mengatakan kurang ada “kebaruan” dalam tubuh PKS. Apakah penilaian demikian benar? Belum tentu. Misalnya ketika  para mantan  petinggi PKS ke luar diikuti para loyalisnya dan mendirikan partai baru bernama Partai Gelora, sangat kental dengan “Narasi Kebaruan” dengan ide-ide segarnya, toh belum juga berhasil merebut simpati publik. Tak lolos (belum bisa) mengantarkan wakilnya ke senayan.

Ini, mengundang rasa penasaran beragam aktivis, kenapa bisa begitu? Termasuk saya sendiri. Dengan filosofi yang membara “Demi Islam, Demi Indonesia”, bagaimana kalau kita coba lagi menawarkan gagasan “Kebaruan”.  Misalnya dengan partai yang benar-benar baru. Sepertinya, menarik juga. Sebuah partai yang berbasis gagasan, menawarkan beragam alternatif untuk “Perubahan Baru”, bagi Indonesia. Saya kira, sebuah tantangan yang menarik.

Memang, untuk melangkah ke sana, paradigma baru juga perlu digaungkan dan diresapi oleh para aktivis partai politik di dalamnya. Sepuluh tahun lebih terakhir ini, gerakan-gerakan perubahan memang kental dengan coraknya yang khas. Apa itu? Saya lebih melihat sebuah gerakan “Fight Against” alias “berjuang melawan”. Melawan kekuasaan Jokowi, melawan oligarki, melawan “Anak Haram Konstitusi”, melawan kembalinya TNI, melawan kesewenang-wenangan polisi dll. Corak gerakan sebelum reformasi, dan kembali terus “dilestarikan” sampai kini. Saya tak mengatakan corak demikian itu keliru, tapi, saya berpikir, adakah alternatifnya yang lebih “Ciamik”?. Kita coba. Kita mulai mencoba menggeser paradigma lama ini. Bagaimana kalau kita tawarkan gagasan yang lebih progresif dengan “Fight For” alias “berjuang untuk”.

Ada perbedaan yang cukup signifikan. Corak yang pertama “Fight Against” alias “berjuang melawan” lebih menaruh perhatian pada “Solidarity Making” (Penciptaan solidaritas). Tampak dalam narasi dan isu-isu yang “panas”, berkobar, semangat berapi-api,  membakar, penuh retorika-retorika “Membara”,  demarketisasi, nada negatifistik, lantang suarakan perlawanan,  bahkan cenderung provokatif dalam menyikapi setiap isu, militan dan mencoba memicu kemarahan orang. Tak lupa, kekerasan baik bahasa maupun fisik dianggap sebagai sebuah kewajaran.

Sebaliknya, “Fight For” (Berjuang untuk), lebih menekankan dan berorientasi pada ‘Problem Solving” (Pemecahan masalah). Menawarkan gagasan yang proaktif sekaligus progresif.  Sebuah kerja-kerja berbasis gagasan dan perjuangan menawarkan alternatif yang masuk akal bagi semacam “Perubahan baru” untuk Indonesia. Sebuah kerja-kerja yang sulit, butuh pemikiran yang matang, butuh analisis yang memadai, referensi dan data yang cukup sebelum menawarkan sebuah kebijakan, kerja-kerja tekun dan kadang “sunyi”, gerak senyap tapi berorientasi hasil. Sebuah gerakan kebangsaan yang sepertinya relevan dengan suasana atau kondisi kebatinan masyarakat pada umumnya sekarang.

Saya kira, partai baru yang bakal mewarnai kontestasi periode 2029 mendatang perlu mencoba menerapkan strategi demikian untuk meraih simpati publik. Alih-alih dengan narasi “Permusuhan dan Kebencian” menjadi narasi yang penuh “Pencerahan dan Kearifan”. Hanya saja, semua orang tahu, sebuah partai politik baru, mendapatkan simpati publik tak mudah. Itu sebabnya, beragam pemikiran (mindset), beragam strategi (skillset) dan beragam plafform (toolset) perlu terus dikembangkan dan dimainkan dengan tetap menjadi etika dan kesantunan (fatsoen) politik. []

Berita Terkait

Berita Terbaru

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *