Apa yang baru dari pikiran pergerakan KAKAMMI? Layaknya dalam sebuah pergerakan, keberadaaanya bakal terus mewarnai kehidupan, sepanjang pikiran-pikiran baru masih terus mengemuka. Selaras dengan jati diri organisasi itu sendiri. Apalagi sebuah organisasi yang membawa identitas muslim di dalamnya. Hal ini yang menjadikan, misalnya ketika organisasi kemudian dibubarkan penguasa sekalipun, ia masih terus bakal hidup ketika pikiran-pikiran baru masih terus dilahirkan. Singkat kata, organisasi boleh dibubarkan, tapi pikiran tak bisa dimatikan.
Kabar baiknya, organisasi baik-baik saja. Organisasi KAKAMMI sebagai wadah resmi keberlanjutan KAMMI, menjadi entitas yang masih hidup dan tumbuh dalam taman pergerakan. Mereka yakin, tidak pernah terlintas sedikitpun kata tua atau merasa tua. Kenapa? Layaknya seorang muslim, meyakini bahwa mereka merasa tua, bukan perkara rendah diri semata. Tapi perkaran iman, perkara keimanan seseorang. Keyakinan demikian menjadi wajar adanya. Sebab ruh gerakan tak hanya mengandalkan pernak-pernik argumentasi berdasarkan logika dan akal sehat semata. Tapi, ruh gerakan digerakkan lantaran inspirasi wahyu. Tafsir-tarsir gerakan dijalankan sedapat mungkin dalam bimbingan Al-Quran.
Ruh Gerakan
Sebagaimana Sayyid Quthb dalam “Tafsir fi Zahilalil Qur’an” menafsir Surat Al-Muzzammil ayat 1-9 menerangannya. Ketika Allah SWT memberikan wejangan berat kepada Muhammad. Bangunlah…untuk urusan besar yang sedang menantimu dan tugas berat yang akan dibebankan kepadamu. Bangunlah untuk berjuang dan berusaha, berkiprah dan bersusah payah. Bangunlah, waktu tidur dan beristirahat telah berlalu. Bangunlah dan bersiap siagalah menyongsong urusan. Lebih lanjut dikatakan, orang yang hidup dengan mementingkan diri sendiri memang kadang-kadang bisa hidup senang, akan tetapi hidupnya tak bernilai dan matinya pun dalam penilaian kecil.
Sedangan, orang besar yang memikul tugas besar, maka, apalah artinya tidur baginya? Apa artinya istirahat? Apa arti ranjang yang hangat dan kehidupan yang penuh kesenangan? Apa pula artinya kesenangan duniawi yang menyenangkan? Rasulullah telah mengerti dan mengetahui ukuran hakikat urusan ini. Karenanya, ketika Khadijah mengajak beliau istirahat dan tidur, beliau berkata kepadanya, “Telah berlalu waktu tidur wahai Khadijah.” Ya telah berlalu waktu tidur dan tidak ada yang kembali sejak hari itu kecuali berjaga dan berpayah-payah, dan berjuang dengan perjuangan yang panjang dan berat.
Itulah gambaran ruh perjuangan pergerakan. Selanjutnya, setelah urusan spirit selesai, argumentasi menjadi tawaran. Sebagaimana Ibn Rusyd, salah satu filsuf muslim garda depan dalam buku “fasl al-maqal fima bayn al-hikmah wa al-syariah min ittisal” pernah mencoba mencari relasi, diskursus-diskursus dalam bidang keagamaan (syari’ah) dengan bidang ilmu realitas. Menurutnya, ilmu-ilmu dalam bidang keagamaan tidak bisa dilepaskan dari nalar (al-aql). Benar, tanpa penalaran, tidak mungkin seorang muslim dapat menentukan baik buruk, benar salah, boleh atau tidak boleh. Tapi, dalam konteks pergerakan, saya kira itu saja tentu tak cukup. Pantas atau tidak pantas juga perlu terus digenggam erat. Itu falsafah pergerakan yang perlu dijunjung tinggi.
Masjid Sebagai Basis
Sebelum memotret gerak ke depan, kita tengok lagi sejarah. Prof. Dr. Kuntowijoyo (alm) pernah menulis kolom berjudul “Muslim Tanpa Masjid”, menceritakan bagaimana anak-anak “Kiri” itu kebanyakan muslim juga. Dulu, era pergerakan aktivis 1998, mereka ada di Forkot Jakarta, SMID di Jogjakarta, PRD dan sejenisnya. Mereka merasa bukan bagian dari umat. Mereka lebih merasa bagian dari mahasiswa daripada sebagai bagian umat. Identitas, reference group, mereka adalah mahasiswa dan bukan umat. Pertanyaannya, apa sebab mereka tidak merasa sebagai bagian dari umat? Jawabnya, sebab mereka tidak banyak mengunjungi masjid tempat umat berkumpul.
Seiring perjalanan, terjadi dilema. Problemnya adalah partisipasi atau non partisipasi. Menjadi golput tidak lagi menantang, tidak thrilling, sebab tidak memilih hanya berarti inaction dalam pemilu aktif. Menolak pemilu sama halnya dengan menolak demokrasi yang mereka perjuangkan sendiri. Padahal, mereka sadar bahwa pemilu akan mengubur peran mereka. Dan mereka akan tenggelam di tengah-tengah warga negara mayoritas.
Mendirikan partai akhirnya jadi pilihan. Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) atau Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang dinilai dekat dengan mahasiswa didirikan dan menjadi ruang gerak selanjutnya. Sayang, gagal. Selanjutnya, aktivis-aktivis yang oleh Pak Kunto disebut “Muslim Tanpa Masjid” itu masuk ke ruang-ruang politik yang dirasa nyaman oleh mereka. Banyak diantaranya di PDIP Perjuangan, Demokrat, Nasdem dll. Ke partai Islam? Tentu tidak. Kini, orang-orang itu, veteran 1998 tak hanya bercokol di senayan, tapi sudah masuk ke ruang-ruang kekuasaan istana. Apakah kemudian bisa mengubah keadaan? Seperti yang mereka cita-citakan dulu? Silakan menilai sendiri.
Sementara, KAMMI lain. Lahir dari rahim masjid kampus. Buku “Gerakan Perlawanan Dari Masjid Kampus” karya Andi Rahmad dan M Najib menjadi saksi sejarah bagaimana KAMMI dilahirkan. Organisasi dibentuk aktivis muslim dalam Forum Silaturahmi Lembaga Da`wah Kampus ke X di Universitas Muhammadiyah Malang pada 29 Maret 1998 . Lahir disaat Indonesia masih menghadapi krisis multidimensional yang tak kunjung usai. Para aktivis masjid yang datang sepakat mahasiswa muslim harus mengambil peran dalam krisis bangsa yang tengah terjadi. Mengambil peran secara ideologis maupun secara historis mengatasi persoalan bangsa.
Singkatnya, KAMMI lahir dari masjid kampus, artinya masjid benar-benar, tak hanya sebagai markas gerakan, tapi basis ideologis gerakan. Dalam perjalanannya, para alumni KAMMI banyak berkiprah di berbagai profesi. Mulai dari akademisi, advokat, pengusaha, media, LSM, profesional lain dan tentu saja menjadi politisi. Sebagian besar bergabung di Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Beberapa diantaranya bergabung di PAN, Golkar, NASDEM. Terbaru, beberapa alumni KAMMI mendirikan Partai Gelora sebagai kendaraan politik menuju kekuasaan. Juga Partai Perubahan Baru (PAPERBA). Berhasil atau tidak, itu perkara lain. Hanya saja, melihat sejarah, rahim historis, memperlihatkan bagaimana komunitas bakal terus terawat dan tumbuh hanya jika tetap dalam jamaah berbasis masjid. Maka, alumni KAMMI yang coba-coba melupakan masjid sebagai markas dan basis ideologi gerakan, sudah bisa dipastikan tak bakal bisa tumbuh dan berkembang. Bakal mati. Cepat atau lambat.
Itu sebabnya, spirit masjid (kampus) tetap perlu dirawat agar gerakan tak kehilangan ruhnya. Hanya memang, yang masih menjadi PR besar adalah bagaimana terus melahirkan pikiran-pikiran kebangsaan yang relevan dengan kondisi zaman. Debat tentang Islam dan kebangsaan telah selesai. Pancasila sudah menjadi kesepakatan bersama. Selanjutnya, bagaimana tafsir Pancasila beserta turunannya bisa dijalankan dengan baik. Yang pasti, Pancasila bakal menjadi hidup dalam keseharian kebangsaan jika berhasil ditafsirkan dalam versi agama masing-masing. Di mana, dalam konteks aktivis Islam, pelaksannannya merefleksikan metode keberIslaman yang penuh kearifan (al-hikmah), seruan yang baik (mau’idlah al-hasanah) dan penuh nuansa diskursif secara lebih baik (wa jadil hum bi’l-lati hiya ahsan).
Pikiran Baru Kebangsaan
Sejauh ini pendekatan umat tentu dengan keagamaan, keberIslaman sudah berjalan dengan baik. Selanjutnya, pikiran-pikiran kebangsaan perlu menyentuh ranah kebudayaan. Yang, disadari atau tidak kurang mendapat perhatian. Padahal, kalau kita lihat secarah secara lebih jernih, kebudayaan sangat jarang yang bertentangan dengan keagamaan. Termasuk, kebudayaan di tengah-tengah umat Islam. Kalaupun ada yang dirasa kurang sesuai, itu sebatas dakwah yang belum selesai. Maka, menjadi penting pikiran dan laku kebangsaan menyentuh ranah ini. Agar bisa lebih banyak lagi bisa menyentuh, merawat dan merangkul umat.
Tak mudah memang. Apalagi kalau kita membuka mata. Membaca wajah bangsa, terutama di media sosial. Harus benar-benar bisa melihat tak hanya dengan penglihatan yang jernih. Tapi bisa melihat dari berbagai sisi agar kebenaran bisa benar-benar tersingkap. Pemikir kontemporer menyebut era demikian dengan Post Truth. J.A Liorente dalam kolomnya di Uno Magazine yang berjudul “The Post-Truth Era: Reality vs Perception” menyebut hal ini sebagai iklim sosial politik di mana obyektivitas dan rasionalitas membiarkan emosi dan hasrat memihak keyakinan meskipun sebetulnya fakta menunjukkan hal yang berbeda. Hal ini mengingatkan kita. Bagaimana potret kebangsaan dari waktu ke waktu, rasionalitas dan akal sehat perlu terus dijaga.
Ketika bicara kesenian, kebudayaan, para aktivis masjid ini kadang memang sering gagap. Seolah-olah itu di luar jangkauannya, padahal sangat dekat. Dulu, di lingkaran komunitas muslim besar seperti Muhammadiyah juga pernah mengalaminya. Diceritakan oleh Prof. Kuntowijoyo. Dalam sebuah seminar kaligrafi di Gedung Seni, Jogjakarta. K.H A.R Fachruddin pernah bertanya kepada para seniman, “Saudara kok ngaya betul, berapa orang yang telah menjadi Islam karena kesenian?” Pertanyaan yang jujur ini membuat para seniman mawas diri. Memang,tugas utama para seniman bukanlah mengIslamkan orang, sementara para seniman sendiri perlu diIslamkan, tetapi kegunaan kesenian adalah memberi hiasan pada agama, diperlukan atau tidak.
Terkait hal ini, Prof. Abdul Hadi W.M dalam buku “Cakrawala Budaya Islam” memberikan pencerahan. Bahwa Islam adalah agama keterbukaan. Sejak lama, unsur-unsur kebudayaan dari luar mendapat ruang gerak yang leluasa di dalam tradisi pemikiran dan kreativitas umat Islam. Sejauh unsur dari luar itu dapat dipadukan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam yang berteraskan tauhid, tak sukar untuk diterima sebagai gagasan dan dasar eksperimen dahulu, kini dan di masa yang akan datang. Tetapi, terhadap unsur-unsur yang membawa kepada syirik, nihilisme, pemujaan suatu kelas sosial, suku atau ras tertentu, fetisyisme palsu, hedonisme material, pemutarbalikan sejarah wahyu dan kenabian, pengingkaran terhadap yang bersifat metafisis dan eskatologis, jelas tidak akan diterima.
Entitas “Kiri” di lingkaran kekuasaan pernah merumuskan apa yang disebut dengan “Revolusi Mental” sebagai sebuah strategi kebudayaan demi kemajuan bangsa. Sebuah konsep yang digadang-gadang bakal membawa Indonesia menjadi maju, sejahtera dan diperhitungkan dunia. Sayang, strategi kebudayaan demikian tidak dijalankan. Penguasa beserta seluruh antek-antek yang menyertainya, rupanya lebih suka “Mabuk Infrastruktur” daripada memperbaiki kualitas manusia Indonesia. Singkat cerita, bisa kita lihat sekarang, bagaimana cita-cita mulia itu tidak berjalan semestinya.
Apa penyebabnya? Tidak sejalan antara ujaran dan pelaksanaan. Hasilnya, apapun yang dikatakan, publik tak percaya lagi. Hilang sudah semua kepercayaan, tak peduli mau dipoles dengan pencitraan cara apa lagi. Termasuk dengan festivalisasi relawan sekalipun. Tak ada lagi kharakter kepmimpinan, sebab tak ada lagi keteladanan. Seperti peribahasa Inggris, dikatakan “When wealth is lost, nothing is lost, when health is lost, something is lost, when character is lost, eveithing is lost”. Apapun yang dimiliki seseorang: kepintaran, keelokan dan kekuasaan, menjadi tidak bernilai jika seseorang tidak bisa lagi dipercaya sebagai ekspresi dari keterpurukan kharakter. Kini, ada ruang kosong. Tawaran pikiran KAKAMMI yang khas menjadi relevan untuk direfleksikan dalam kehidupan berkebangsaan.
(Yons Achmad, kolumnis tinggal di Depok. Alumni KAMMI).

Komentar