Kang Dedi Mulyadi (KDM) bukan sekadar nama. Ia telah menjelma menjadi figur yang menyihir ruang publik Jawa Barat dengan gaya politik yang membumi, komunikatif, dan kerap kali menyentuh urat sensitif warga kecil. Dari blusukan ke kampung-kampung, membagikan beras, memperbaiki jalan desa secara langsung, hingga menyentil keras birokrasi yang lamban—semua menjadi tontonan yang memukau sekaligus tamparan realitas.
Namun, kita perlu bertanya secara kritis: Apakah gebrakan ini hanya berhenti sebagai panggung simbolik, atau ia benar-benar akan ditransformasikan menjadi reformasi sistemik?
Dari Simbolik ke Struktural
Tidak ada yang salah dengan gaya populis-blusukan. Justru itu menjadi pintu masuk untuk meraih kepercayaan publik. Tetapi, sejarah politik Indonesia terlalu banyak menyimpan cerita tentang pemimpin populis yang gagal melembagakan visinya. Mereka membangun harapan lewat aksi heroik, tapi tidak pernah menghadirkan kerangka kebijakan yang mengikat institusi. Ketika pemimpin itu lengser, semua kembali ke titik nol.
Inilah tantangan utama KDM jika ia benar-benar ingin menjadi Gubernur Jawa Barat: mentransisikan gebrakan populisnya menjadi sistem yang hidup, bukan sekadar sensasi yang lewat. Sistem yang bisa terus berjalan, meski nanti tanpa kehadiran dirinya secara fisik di lapangan.
Blusukan Tidak Mengganti Birokrasi
Blusukan menyentuh hati, tetapi sistem yang menyentuh struktur jauh lebih tahan lama. Sebagus apa pun niat seorang pemimpin, tanpa didukung oleh birokrasi yang kapabel, transparan, dan akuntabel, maka segala perubahan akan selalu bersifat reaktif.
KDM harus berani melakukan reformasi kelembagaan: menata ulang sistem penganggaran, sistem insentif ASN, dan menghidupkan semangat meritokrasi di lingkungan pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota. Jangan sampai pembangunan Jawa Barat hanya berjalan jika ada Dedi Mulyadi di lokasi kejadian. Sistem yang baik justru harus bisa bekerja ketika pemimpinnya sedang tidak ada.
Dari Figuristik ke Kebijakan
Kita butuh regulasi baru, bukan hanya retorika baru. Jika KDM ingin menegaskan komitmennya dalam perbaikan infrastruktur jalan misalnya, maka itu harus dituangkan dalam bentuk kebijakan mandatory spending yang jelas dan terukur—misalnya: minimal 70% dana bagi hasil pajak kendaraan bermotor harus dialokasikan ke perbaikan jalan dengan standar kualitas tertentu.
Lebih jauh, pengawasan anggaran dan pelibatan publik harus menjadi agenda prioritas. KDM bisa mendorong sistem informasi pembangunan yang terbuka, di mana warga dapat melihat, menilai, bahkan melaporkan kinerja proyek di tingkat kabupaten dan kota. Ini bukan lagi soal niat baik, tapi soal arsitektur tata kelola.
Mengubah Narasi Menjadi Norma
Fenomena KDM sejauh ini baru menjadi narasi viral—ia menarik, inspiratif, dan membuat masyarakat merasa didengarkan. Tapi narasi hanya akan menjadi warisan jika diubah menjadi norma. Artinya, nilai-nilai yang selama ini dibawa KDM—keadilan sosial, keberpihakan pada wong cilik, keberanian melawan sistem bobrok—harus dilembagakan melalui:
- Peraturan Gubernur yang visioner dan implementatif.
- Lembaga pengawasan independen berbasis masyarakat.
- Desain insentif bagi kabupaten/kota yang sejalan dengan agenda provinsi.
- Forum partisipasi publik digital yang aktif dan responsif.
KDM tidak cukup hanya menjadi gubernur yang hadir secara fisik, ia harus menjadi arsitek sistemik yang melampaui keberadaan dirinya sendiri.
Penutup: Jangan Biarkan Perubahan Bergantung pada Satu Orang
KDM memiliki momentum. Tetapi sejarah menunjukkan, perubahan besar tidak pernah lahir dari satu figur saja. Ia lahir dari keberanian kolektif untuk membangun sistem yang mampu menahan gempuran waktu, bukan hanya sistem yang bergantung pada semangat pribadi.
Masyarakat Jawa Barat harus menjadi bagian dari perubahan ini—bukan hanya sebagai penonton video blusukan, tapi sebagai pemilik dan pengawas dari sistem yang akan dibangun. Saatnya kita kawal gebrakan ini agar tak berujung pada keputusasaan. Dari viral ke vital. Dari simbol ke sistem.
Agung Mahdi. Pemerhati Kebijakan Publik.
Catatan penulis:
Tulisan ini adalah bagian dari dorongan sipil untuk menjadikan demokrasi kita bukan hanya prosedural, tapi juga substantif. Mari kita pastikan, suara rakyat tidak hanya didengar saat kampanye, tapi diberi ruang dalam sistem pembangunan sehari-hari.

Komentar