Sastra dan Budaya
Beranda » Buku Bekas Presiden Prabowo

Buku Bekas Presiden Prabowo

Saya tak menyangka di Semarang ada toko buku seken yang menjual buku-buku berbahasa Inggris. Sebagai pemburu buku, saya merasa ‘ketinggalan kereta.’
Seorang teman satu hari menginformasikan keberadaan toko buku bernama Book Boss itu ketika kami satu mobil dalam perjalanan dari Kudus ke Semarang. Seakan tak percaya, saya mengonfirmasinya dengan mencarinya di mesin pencarian berita. Saya mendapati sejumlah media daring memberitakannya.
Saya esok harinya menuju Book Boss dituntun peta Google. Dari hotel tempat saya menginap, hanya dalam waktu kurang dari 10 menit saya sudah mencapai toko buku itu. Akan tetapi, seperti tak ada tanda-tanda kehidupan di bangunan tua di hadapan saya itu. Hanya daun pintunya terbuka sedikit. “Biar saya tanyakan dulu Pak, toko buku buka atau tutup,” kata sopir yang mengantar saya.
Sejurus berikutnya Mas Sopir kembali ke mobil dan menginformasikan toko buku buka. Katanya, letaknya di lantai atas. Saya bergegas ke sana. Saya hari itu pengunjung pertama toko buku. “Silakan, Pak,” kata pegawai perempuan berjilbab sambil menghidupkan kipas angin.
Toko buku Book Boss memang vintage, setidaknya dilihat dari lantainya. Koleksinya berjibun berupa buku psikologi, novel, buku anak-anak, pengetahuan umum. Saya menyusuri rak demi rak mencari buku yang pas dengan selera saya.
Saya membeli buku “Celestine Prophecy” karangan James Redfield seharga cuma Rp40 ribu. Saya sudah punya dan baca edisi bahasa Indonesianya pada sekira 1996. Buku ini mengisahkan petualangan ke hutan hujan Peru untuk menemukan manuskrip kuno. Manuskrip kuno ini berisi 9 kebijaksanaan yang dapat mengubah dunia kita. Kebijaksanaan-kebijaksanaan itu memberi pedoman kepada kita untuk mengoneksikan apa yang kita alami sekarang dengan masa depan.
Buku ini berpindah dari satu tangan ke tangan lain, dari teman ke teman, sebelum pertama kali terpampang di toko buku kecil di Amerika. Ketika membayar saya berbincang dengan Ibu Rahma tentang Book Boss. Dia bercerita toko buku ini mulai beroperasi sejak 2016. Bukunya diimpor langsung dari luar negeri. Toko buku tidak menerima penjualan ataupun sumbangan buku.
Toko buku tutup Sabtu, Minggu, serta hari libur. Sampai saya meninggalkan toko buku, saya seorang diri pengunjung toko buku itu. Kata Bu Rahma sebelumnya, setelah makan siang biasanya pengunjung berdatangan. Toko buku juga menjual buku secara daring.
Sebelumnya, di Kudus, saya pun mencuri waktu berburu buku bekas. Dari mesin pencarian, saya mendapati satu toko buku bekas. Toko kecil itu penuh sesak dengan buku-buku bekas berdebu. Saya menyempatkan diri menelusuri rak-raknya, siapa tahu ada buku menarik selera saya, tetapi tidak menemukannya.
Di teras, anak muda pegawai toko sedang menyortir sekarung kecil buku yang dijual awseorang. Toko buku memang membeli buku-buku bekas dari perorangan untuk dijual kembali. Di antara buku-buku yang disortir pegawai toko, saya melihat buku “Paradoks Indonesia dan Solusinya”. yang ditulis Prabowo Subianto. Saya kemudiab membelinya seharga Rp99 ribu.
Buku ini menceritakan betapa paradoksnya kondisi Indonesia, negeri kaya raya, tetapi hanya segelintir yang menikmatinya. Buku ini mengandung gagasan Prabowo sebelum menjadi presiden dalam mewujudkan dua fondasi pembangunan sebagai solusi bagi paradoks tadi. Kedua fondasi itu ialah ekonomi yang bekerja untuk rakyat dan demokrasi oleh rakyat untuk rakyat.
Prabowo kini presiden. Pak Prabowo kiranya sedang bekerja keras mewujudkan solusi yang dirumuskannya di buku supaya Indonesia keluar dari jebakan paradoks tersebut.
Usman Kasong. Jurnalis. Tokoh Pers.

Berita Terbaru

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *