Lagi-lagi, Kejaksaan bikin iri. Bikin iri kita sebagai masyarakat, bikin iri penegak hukum lainnya, dan bikin iri koruptor atau pelaku kejahatan itu sendiri. Bikin iri kita sebagai masyarakat karena memperagakan uang hasil tindak pidana yang segitu banyaknya. Kabarnya, yang diperagakan itu jumlahnya baru 2 triliun dari 11,8 triliun total korupsinya. Di tengah kesulitan hidup yang begitu mencekik, Kejaksaan santai saja memperagakan uang sebanyak entah itu. Mungkin bukan iri, tapi ngiler. Kita cukup satu bundel saja, maka seluruh masalah hidup seketika itu terselesaikan.
Bagaimana tak sulit dan miskin hidup kita, kalau para orang besar kita korupsi segitu besarnya. Negara kita kaya, alam kita berlimbah, tak ada yang tak ada. Semua yang menyebabkan suatu negara kaya raya, ada di negara kita. Negara kaya itu mungkin hanya punya satu atau dua saja, yang menyebabkan mereka kaya, negara kita semuanya. Tapi justru rakyat di negara kita hidup dalam kemiskinan, kurang gizi, dan kurang pendidikan. Siapa yang tak menitik air liurnya diperagakan uang tunai yang sebanyak itu. Kebocoran terlalu besar di Republik kita.
Kejaksaan bikin iri penegak hukum lain karena dengan kewenangan dan UU yg sama, bisa-bisanya Kejaksaan menyelamatkan keuangan negara sebanyak itu. Dan ini bukan pula yang pertama kalinya sejak pemerintahan baru ini, baru bekerja. Sampai lupa pula kita sudah berapa triliunan uang negara diselamatkan Kejaksaan Agung ini? Yang tak terlupakan, apa lagi kalau bukan korupsi anak perusahaan Pertamina yang tembus angka seribu triliun itu. Lalu uang dan batangan emas yang ditimbun di rumah Zarof Ricar yang hampir mencapai 1 triliun itu.
Penegak hukum lainnya layak iri, kenapa mereka tak bisa membongkar korupsi sebesar itu? Padahal punya kewenangan dan UU yang sama. KPK yang sempat dibangga-banggakan itu dan termasuk Kepolisian. Iri karena tak mampu dan memacu diri untuk bisa mampu pula, itu bagus dan itulah yang diharapkan. Tapi kalau iri, karena terbongkarnya ketidakseriusan mereka dan ada permainan di dalam permainan itu sendiri, alangkah malangnya. Seperti hakim yang ditangkap Kejaksaan menerima suap, justru dari hasil korupsi. Menyedihkan.
Tepat sekali kebijakan yang menetapkan Kejaksaan dan para jaksa beserta keluarganya dijaga oleh aparat TNI, bukan penegak hukum lainnya. Apa yang dilakukan Kejaksaan rasanya belum pernah terjadi sejak zaman Reformasi, bahkan zaman jauh sebelum itu lagi. Wajar kalau bikin iri, atau bahkan sakit hati para koruptor dan pelaku tindak kejahatan lainnya. Ternyata, koruptor tak hanya tindak pidana korupsi saja yang dilakukannya, tapi juga tindak pidana lainnya. Mulai dari menyebarkan isu hingga mendanai suatu demo terhadap RUU tertentu.
Ternyata, bukan isapan jempol belaka serangan balik para koruptor itu. Bukan pula sekadar framing, apalagi pengalihan isu. Serangan balik para koruptor itu nyata dan tak main-main. Tidak saja kepada penegak hukum seperti kejaksaan, tapi juga terhadap eksistensi negara itu. Bagi mereka negara ini kacau balau, bahkan bubar sekalipun tak masalah. Asal mereka bisa bebas berbuat sekehendak hatinya. Apa pun akan dilakukan agar mereka lepas dari jeratan hukum dengan uang hasil korupsi yang sudah didapatkannya untuk tujuh turunan.
Pengakuan tersangka Marcella Santoso, bahwa dia mensponsori beberapa isu yang sempat populer di negeri ini, bukti bahwa koruptor memang tidak hanya korupsi saja pekerjaan mereka, tapi juga bekerja di bidang lainnya. Menyerang individu atau keluarga pihak yang dianggapnya merugikan pekerjaannya, termasuk juga menggagalkan paket sebuah UU. Bahkan, diakui RUU TNI pula. Mungkin dia takut kalau TNI terlalu banyak berperan. Demo Indonesia Gelap pun, ada pula tangan mereka bermain di belakangnya. Benar-benar kotor.
Kita tidak tahu apakah tokoh-tokoh yang sering muncul membawa tema seperti yang diakui Marcella Santoso, ikut kecipratan dana haram dari dirinya. Atau mereka benar bergerak dengan hati nurani dan tak tahu apa-apa dengan peran yang dilakukan tersangka koruptor itu. Yang jelas, seorang Direktur sebuah televisi nasional juga ikut menjadi tersangka. Ketidakpuasan suatu kelompok masyarakat memang bisa dimanfaatkan kepentingan pihak lain. Mereka ini penumpang gelap. Bisa terjadi di mana dan situasi apa pun juga. Makanya harus berhati-hati. Jangan sampai menjadi korban.
Erizal. Kolumnis.

Komentar