Kolom
Beranda » Jalan Seni SBY

Jalan Seni SBY

Apa yang dilakukan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) setelah tak lagi jadi presiden? Ia memilih jalan seni sebagai aktivitas keseharian. Awalnya, menggeluti seni lukis. Dilakukan dan berkolaborani dengan istrinya (Alm Bu Ani). Konon, Bu Ani menyukai fotografi.  Hasil jepretannya, kemudian dilukis SBY. Tentu, saya tak sedang ingin menafsir, membaca atau menghakimi lukisan-lukisan SBY.  Hanya sedang ingin sedikit, menelisik jalan yang dia tempuh.

Ya, jalan seni.

Saya sebenarnya agak tertarik dan penasaran juga untuk membandingkan misalnya jalan semacam apa yang dilakukan Jokowi setelah tak jadi presiden? Konon masih tertarik politik. Menjadi Ketua Partai Golkar, atau Partai Solidaritas Indonesia (PSI) misalnya. Saya urung membandingkan. Lagi pula, kini sang tokoh sepertinya sedang fokus penyembuhan penyakit kulit yang dideritanya. Belum tanpak jalan semacam apa yang bakal diambilnya.

Sementara, SBY tampak gamblang. Berawal dari menekuni seni lukis, kini mencoba-coba bermusik dan menciptakan lagu. Paling baru, meluncurkan video musik “Save Our World” di Djakarta Theater, Jakarta Pusat, Selasa (1/7/2025). karya yang menceritakan kekhawatiran terhadap perubahan iklim. Rupanya, SBY  yang kini tidak lagi aktif dalam pemerintahan dan kebijakan publik, kini masih mencoba mencuri perhatian publik dengan menyuarakan kepedulian terhadap isu-isu besar dunia lewat jalan seni.

Saya kira, terlepas dari karya SBY bagus atau tidak, memenuhi standar estetika atau tidak itu perkara lain. Saya melihat jalan seni yang ditempuh SBY bagus juga dilakukan sebagai salah satu usaha untuk “Menjaga Keseimbangan Diri”. Seni, dengan begitu menjadi ekspresi diri, pelepasan emosi, menumbuhkan suasana batin yang lebih rileks bagi pelakunya. Sementara, dampak eksternalnya, menjadi katarsis menghadirkan kesadaran yang lebih jelas. Dalam konteks ini, SBY menghadirkan kesadaran untuk peduli lingkungan, peduli bumi.

Saya kira, jalan demikian bagus juga dilakukan oleh para mantan presiden. Dari pada masih ikut-ikutan “Cawe-cawe Politik”. Bagi SBY sendiri,  layaknya suami, ketika ditinggal mati istri tercintanya suasana batin pasti mengalami kondisi yang memprihatinkan. Bisa digambarkan, semacam ketika pasangan gajah mati, gajah yang ditinggal pasangannya bisa menunjukkan tanda-tanda kesedihan dan duka, seperti kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, atau bahkan depresi. Perilaku ini mirip dengan yang ditunjukkan oleh manusia saat kehilangan orang yang dicintai.

Jalan seni, kemudian menjadi jalan sunyi yang menarik untuk diselami. Seni dapat berperan seperti cermin yang merefleksikan aspek-aspek dalam diri kita, yang sebelumnya kurang terlihat atau disadari. Oleh karena itu, menekuni seni sekaligus memungkinkan kita menemukan diri.

Konon, menekuni seni menuntut fokus dan konsentrasi. Ini sekaligus membantu individu dapat melepaskan diri dari pikiran yang mengganggunya dan memindahkan perhatian pada seni yang sedang ditekuni. Kemampuan untuk memindahkan perhatian dari hal-hal yang mengganggu pikiran sekaligus membantu individu beristirahat dan mengembalikan energinya. Pasca lengser dari kursi kepresidenan, saya kira SBY sudah selesai dengan diri dan hidupnya. Menekuni seni, kemudian menjadi jalan untuk sebuah kedamaian.

Jalan seni SBY ini, menjadi menarik juka ketika dikaitkan dengan dirinya sebagai seorang muslim dan eksistensi seni itu sendiri. Prof. Abdul Hadi W.M dalam buku “Cakrawala Budaya” menggambarkannya cukup apik ketika memandang seni dikaitkan dengan Islam dan estetika. Digambarkan bagaimana Islam sendiri bertujuan membawa pemeluknya dari kegelapan syirik menuju cahaya tauhid. Perpindahan dari kegelapan menuju cahaya inilah dinamakan upaya pencerahan. Ia adalah perjalanan naik dari bawah ke atas, dari luar ke dalam, dari keberadaan yang sementara menuju yang kekal. Dari “Yang Banyak” menuju “Yang Satu”.

Seni Islam,  sejatinya juga selaras dan mewujud pada hal-hal semacam itu.  Seni mengantarkan manusia dari “ Yang tampak pada penglihatan mata” ke “Yang tampak pada penglihatan akal dan budi. Dari “Dunia bentuk-bentuk” ke “Inti makna terdalam”.   Juga, yang paling penting sekali lagi, dari “Yang Banyak”, menuju “Yang Satu”. Dengan penghayatan demikian menjadikan pelaku seni bisa menjaga keseimbangan hidup dan akal warasnya.

Di dalam seni Islam, proses demikian sering dikatakan sebagai “estetika transformasi transendental” atau boleh juga dikatakan “Estetika kenabian”. Hanya saja, kalau ingin menghasilkan karya-karya yang mendalam bagi penikmatnya, ia tetap perlu punya pengetahuan yang mendalam juga pada seni dan standar-standar estetika, begitu juga penguasaan teknis yang mumpuni.

Pada akhirnya, Jalan seni ini, saya kira juga bisa membantu siapapun khususnya bagi mereka yang hidup “pasca kekuasaan”. Di mana sering mengidap apa yang disebut dengan post power syndrome, atau sindrom paska jabatan, sebuah kondisi psikologis yang ditandai dengan perasaan hampa, kehilangan arah, dan kesulitan beradaptasi setelah seseorang tidak lagi memegang jabatan atau posisi penting. Di sini, jalan seni adalah jawaban untuk menghindari jebakan demikian. Seni mungkin jalan sunyi, tapi itulah satu alternatif pilihan jawaban untuk ketenangan dan kedamaian hati.

Yons Achmad. Kolumnis, tinggal di Depok.

Berita Terkait

Berita Terbaru

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *