Dunia Islam
Beranda » Dialog Antar Agama Model Apologetik-Konfrontatif

Dialog Antar Agama Model Apologetik-Konfrontatif

Nabi Muhammad mewariskan model dakwah yang tidak gegap gempita, tapi penuh kasih dan kebijaksanaan. Saat utusan Nasrani dari Najran datang ke Madinah, beliau menyambut mereka di masjidnya, berdialog tanpa cercaan, bahkan mempersilakan mereka beribadah di tempat yang sama. Ketika berbeda pandangan dengan kaum Yahudi, beliau tak mengobarkan caci maki, melainkan menjawab dengan logika santun dan akhlak membumi. Dakwah beliau tak sekadar menyentuh pikiran, tapi juga melunakkan hati.
Kini, model ini kerap tergantikan oleh suara yang lebih nyaring, tapi kurang teduh. Di ruang-ruang publik muncul gaya apologetik-konfrontatif: mencomot ayat dari kitab suci agama lain, menyandingkannya dengan Qur’an untuk membuktikan bahwa Islam “paling benar.” Tak ada ruang bagi konteks sejarah atau apresiasi terhadap interpretasi yang diwariskan pemuka agama mereka selama berabad-abad. Yang hadir bukan jembatan, melainkan palu godam. Bukan percakapan, tapi penghakiman. Dan penonton puas bertepuk tangan, apalagi kalau ada yg pindah keyakinan akibat “pembuktian” ini.
Model serupa juga dilakukan sebagian pemeluk agama lain terhadap Islam: ayat Qur’an dicomot dengan keluar dari konteks tafsir dan tradisi, dibenturkan, lalu dijadikan seolah sebagai bukti kesalahan Qur’an. Dan ejekan nyaring terdengar.
Inilah wajah dari scriptural literalism—membaca teks secara harfiah, tanpa menyelami kedalaman makna dan tafsir. Ayat suci pun berubah jadi peluru debat, bukan pelita yang membimbing. Yang dikejar bukan pemahaman, tapi kemenangan. Dan yang sering menang, sayangnya, adalah ego—bukan kebenaran.
Islam bukan sekadar agama yang benar, tapi agama yang mengajarkan cara menyampaikan kebenaran dengan adab. Dalam Qur’an, Tuhan melarang mencela sembahan orang lain, agar mereka tidak membalas dengan celaan terhadap Allah karena ketidaktahuan. Ini bukan sekadar etika sosial, tapi pelajaran ruhani: bahwa kebenaran sejati tak perlu menjatuhkan untuk bisa berdiri tegak.
Mari kembali pada teladan Nabi: berdialog dengan hikmah yang mencerdaskan, kelembutan yang memeluk, dan kejujuran yang tak menyakiti. Karena agama ini tak hanya soal benar dan salah, tapi juga soal cinta dan adab.
Tabik,
Nadirsyah Hosen

Berita Terkait

Berita Terbaru

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *