Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) tidak hanya dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam yang konsisten menjaga keikhlasan dan kemandirian, tetapi juga sebagai institusi yang menjunjung tinggi nilai keilmuan. Dalam sistem pendidikannya, tiga unsur pokok menjadi orientasi utama: keislaman, keilmuan, dan kemasyarakatan. Maka, aspek keilmuan bukan sekadar pelengkap, tetapi ruh yang menyuburkan kecerdasan intelektual, kematangan berpikir, dan keluhuran nalar para santri.
Salah satu instrumen penting dalam mendukung atmosfer keilmuan itu adalah perpustakaan. Di tengah riuhnya aktivitas harian di pondok, perpustakaan hadir sebagai oase ilmu yang tenang, tempat bertemunya akal dengan inspirasi, logika dengan imajinasi. Lebih dari sekadar gudang buku, perpustakaan harus tampil sebagai taman ilmu pengetahuan yang hidup, menyenangkan, dan menggugah daya pikir santri.
Dalam kerangka constructivist learning theory, pembelajaran yang bermakna tidak semata-mata diberikan oleh guru di kelas, melainkan dibangun oleh peserta didik melalui eksplorasi, pengalaman, dan interaksi dengan sumber-sumber pengetahuan¹. Di sinilah pentingnya perpustakaan: sebagai pusat eksplorasi ilmiah dan sarana pengembangan literasi kritis.
Namun realitanya, perpustakaan OPPM saat ini masih menghadapi banyak kendala: ruang yang belum optimal, koleksi yang terbatas, desain yang monoton, serta minimnya kunjungan santri.
Menyikapi kondisi tersebut, revitalisasi perpustakaan menjadi sebuah keniscayaan. Bukan semata restorasi fisik, tetapi transformasi total dari segi tata ruang, koleksi, digitalisasi, kegiatan, hingga strategi manajerial dan jejaring keilmuannya.
Dari Gudang Buku ke Ruang Literasi Digital
Revitalisasi dimulai dengan penataan ulang tata ruang yang ramah, fungsional, dan estetik. Perpustakaan tidak cukup sekadar bersih dan rapi, tetapi juga harus menghadirkan kenyamanan psikologis dan visual. Penyediaan ruang baca berpendingin udara (AC), karpet cerah, pencahayaan optimal, dan dekorasi inspiratif menjadikan ruang ini tempat yang disukai, bukan sekadar dikunjungi. Sebagai penunjang suasana santai namun produktif, dibuka juga mini café literasi di sudut tertentu untuk menyeduh teh sambil membaca buku—menciptakan simfoni antara akal dan relaksasi.
Di era digital, perpustakaan juga harus melangkah ke ranah siber. Maka, komputerisasi katalog buku menjadi prioritas, disertai penyediaan akses digital library yang memungkinkan santri dan guru mengakses ribuan referensi ilmiah melalui jaringan lokal. Langkah ini sejalan dengan prinsip blended learning, di mana interaksi langsung dengan buku fisik didukung oleh sumber digital sebagai pelengkap².
Lebih lanjut, perlu dibentuk “Gontor Corner”—sebuah pusat dokumentasi yang menghimpun seluruh karya ilmiah guru, buku-buku tentang Gontor, dan hasil karya alumni. Ini bukan hanya upaya pelestarian khazanah intelektual pesantren, melainkan pula penciptaan identitas kolektif dan inspirasi bagi generasi penerus.
Perpustakaan Sebagai Pusat Aktivitas Intelektual Santri
Revitalisasi tidak boleh berhenti pada aspek ruang dan koleksi. Yang lebih substansial adalah menghidupkan fungsionalitas keilmuan perpustakaan. Oleh sebab itu, setiap kegiatan penyusunan teks pidato, makalah, atau naskah diskusi harus mewajibkan santri untuk merujuk pada sumber-sumber di perpustakaan. Kegiatan seperti lomba resensi buku, bedah karya Kyai, seminar ilmiah, diskusi mingguan, hingga forum bersama DEMA harus dijadikan agenda rutin yang terintegrasi dalam sistem OPPM.
Sinergi dengan bagian keilmuan lain seperti DEMA, Itqan, Darussalam Post, FP2WS, menjadi langkah strategis untuk menjadikan perpustakaan sebagai pusat gravitasi kegiatan intelektual di pondok. Tak kalah penting adalah penyusunan jadwal kunjungan wajib secara bergilir oleh tiap rayon dan organisasi, sebagai upaya sistematis dalam membangun budaya membaca. Upaya ini sejalan dengan teori behaviorism dalam pendidikan, bahwa pembiasaan (reinforcement) dapat membentuk kebiasaan positif yang bertahan lama³.
Sebagai wujud keseriusan dalam pelayanan, jam operasional perpustakaan diperluas, bahkan jika memungkinkan mendekati 24 jam, kecuali waktu-waktu ibadah dan istirahat malam. Dengan demikian, perpustakaan menjadi ruang aman dan inspiratif yang selalu terbuka bagi pencari ilmu.
Menjadi Jantung Literasi Pesantren
Pada akhirnya, revitalisasi perpustakaan bukan hanya tentang membangun ruang baca, tetapi tentang membangun milieu intelektual di pesantren. Dalam filsafat pendidikan Islam, ilmu adalah cahaya yang menuntun manusia menuju makrifat. Maka, perpustakaan adalah lentera tempat cahaya itu ditimba dan disebarkan. Ia bukan ruang pasif, tetapi tempat hidupnya makna, munculnya pertanyaan, dan lahirnya jawaban-jawaban yang mencerdaskan.
Perpustakaan OPPM yang dirancang dengan sistematis dan kreatif akan menjadi jantung literasi Pondok Modern Gontor. Sebuah jantung yang berdetak untuk membentuk santri berpikir kritis, berakhlak mulia, dan berwawasan luas—sebagai calon pemimpin umat masa depan yang berilmu dan beradab.
Catatan Kaki
1. Jean Piaget, The Psychology of Intelligence (London: Routledge & Kegan Paul, 1950), hlm. 35–39.
2. Charles Graham, Blended Learning Systems: Definition, Current Trends, and Future Directions, in Handbook of Blended Learning (San Francisco: Pfeiffer, 2006), hlm. 8–10.
3. B.F. Skinner, Science and Human Behavior (New York: Macmillan, 1953), hlm. 74.
4. Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), hlm. 11–13.
Ahmad Suharto

Komentar