Ramadhan Musytahi, seorang alumni al-Azhar. Syahid bersama lima belas anggota keluarganya, tak selamat dari gempuran manusia-manusia buas. Namun ada pesan terakhir yang ia tuliskan:
“Mereka habiskan bertahun-tahun untuk belajar dan mengajarkan ilmu sastra bahasa dan agama. Mereka sibuk berkhotbah dengan penuh gempita mengenai tema-tema: Rahmat, Wala, Bara, Takaful dan Ta’awun. Namun, di saat tiba peristiwa besar yang akan dicatat sejarah, yaitu situasi kemanusiaan yang sejatinya merupakan urusan Islam, mereka tetiba mereka hanyut dalam diam dan cukup dengan memilih jalan penyelamatan diri. (Lalu berucap) Bye-bye umat Islam, urus keselamtan kalian masing-masing.”
Ya. Tragedi kemanusiaan Gaza, mengubur semua teori keIslaman: Tauhid, Sunnah, Tarbiyyah, Jihad, Zakat, Ta’awun, Takaful, Itsar, Khalifah. Bahkan menempatkan kajian Ukhuwwah Islamiyyah, Ukhuwwah Insaniyyah, Ukhuwwah Wathaniyyah, Ukhuwwah ‘Arabiyyah berada di tong-tong zabalah (sampah).
Tragedi Gaza tidak membuat kita mengurangi “hobi” dan kelezatan individual: mulai dari berhenti mengkonsumsi barang-barang yang diproduksi oleh donatur pembantaian Israwel di Palestina. Malah negara-negara Arab sendiri, justru menjadi importir terbesar -bahkan tak sedikit yang menjadi investor- dari semua produk yang diproduksi oleh donatur jumbo pembantaian di Gaza.
Di sisi lain, banyak di antara kita yang telah berhasil memboikot produk-produk tertentu. Tapi tidak mampu memboikot aktivitas yang menunjang “kelezatan individual” yang bersifat spritual. Sebagaian kita belum bisa menghentikan perjalanan haji dan umroh ke Mekkah dan Madinah, di tengah penistaan terhadap Kiblat pertama umat Islam, Masjid Al-Aqsha.
Tidak ada implementasi dari itsar yang secara bombastis dibahas dalam kajian-kajian keislaman, dimuat dalam web-web, makalah-makalah yang lengkap dengan riwayat jarh-wat ta’dil, serta sumber rujukan untuk mencerminkan keabsahan. Sayangnya, keabsahan tekstual lebih dipentingkan daripada keabsahan faktual di lapangan.
Demikian pula dengan oknum-oknum aktivis kemanusiaan yang terkait Palestina. Tak sedikit yang dengan syahwatnya ikut serta menikmati jatah donasi, 20-40% dengan dalih operasional. Aktivis yang bisa bolak balik menghadiri muktamar Tragedi Gaza, berkantor di tempat lux, membeli kendaraan operasional, hingga bergaji fantastis atas nama tragedi kemanusiaan Palestina.
Jangan salahkan rezim-rezim Arab yang hari ini buta tuli dan tak ada lagi rasa kemanusiaan. Karena memang sejatinya, Israwel dan antek-anteknya telah berhasil menghujamkan hedonisme spritual: Hubbuddunya tujuan kami, Takut mati pedoman kami, Hedonisme jalan hidup kami, kelezatan individual adalah cita-cita kami tertinggi.
Israwel dan anteknya akan bangga kepada individu Muslim yang bisa meraih gelar panjang sarjana keIslaman, menuliskan buku-buku spritual yang sahih, melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran, berulang kali haji dan umrah, menjadi aktivis kajian, selama tidak membangkitkan kesadaran atas tragedi kemanusiaan, perlawanan atas penjajahan, dan mengobarkan semangat umat untuk bangkit menghadapi gempuran hegemoni manusia-manusia buas, keji, dan tak punya perikemanusiaan.
Nandang Burhanudin

Komentar