Buku baru (2025) yang disunting Sana Jaffrey dan Eve Warburton ini diawali dengan kalimat: “No president in Indonesia’s history entered office with such high expectations as did President Joko Widodo (Jokowi)”.
Memang, pada awal terpilihnya Jokowi sebagai presiden tahun 2014, ekspektasi publik sangat tinggi atas perubahan politik, ekonomi, dan praktik tata kelola negara ke arah yang lebih baik.
Penampilan awal yang mengesankan sosok sederhana dan bersih, disertai janji-janji kebijakan populis, membuat harapan publik semakin menguat. Buktinya dia terpilih menjadi presiden untuk periode kedua.
Tapi memang politik di Indonesia itu seperti bayang fatamorgana, bisa menipu pandangan mata, mengecoh opini publik.
Begitu masuk periode kedua, mulai terbaca penyimpangan di banyak segi: kemerosotan demokrasi (politik), pengabaian atas konstitusi dan hukum, menguatnya praktik legalisme-otokratik; dan terutama dominannya cengkraman oligarki dalam kehidupan ekonomi dan politik.
Kebangkitan demokrasi yang dielu-elukan awal reformasi 1999, dalam 10 tahun terakhir mengalami kemerosotan, bahkan dinilai sebagai “demokrasi cacat”, sebagaimana ditunjukkan berbagai Indeks Demokrasi.
Salah satu penyunting buku ini, Eve Warburton bersama Thomas Power pernah mengkaji topik ini dalam buku mereka, DEMOCRACY IN INDONESIA: From STAGNATION to REGRESSION ? (2020).
Proses demokratisasi, kebangkitan civil society sebagai pilar demokrasi, dan menguatnya penegakan rule of law di awal reformasi, berangsur melemah.
Bersamaan dengan itu praktik represif-otoriter mulai menguat, negara mengkooptasi unsur-unsur civil society, mirip model state corporatism Orde Baru.
Para akademisi dan pakar melalui kajian kritis dan dengan perspektif berbeda dalam buku ini, sampai pada kesimpulan yang sama: era kepresidenan Jokowi adalah era kebangkitan kembali otoritarianisme: “The Jokowi Presidency – Indonesia’s Decade of Authoritarian Revival !”
Manuel Kaisiepo

Komentar