Dunia Islam
Beranda » Tragedi Palestina dan Keimanan Terlemah

Tragedi Palestina dan Keimanan Terlemah

Bayangkan di tengah tragedi kemanusiaan abad digitalisasi, limbah makanan negeri-negeri Arab mencapai jutaan ton per tahun. Sementara rakyat Gaza, harus mengunyah pasir, karena diembargo Israhell dan negara-negara tetangga Gaza.
Media sosial teramat kasat mata memaparkan radiasi hyper perilaku serakahnomic. Delapan orang menghadapi sapi guling atau sejenisnya. Terlahap, mulut berkomentar: MaasyaAllah Tabarakallah. Cermin kesyukuran atas nikmat, plus kebutaan nurani atas niqmah (tragedi) di Gaza Palestina.
Sungguh pada lisan manusia, ada dua penyakit yang sama-sama besar bahayanya.
Pertama: Mulut yang terpapar penyakit banyak bicara. Terutama bicara membela tindakan genosida, mendukung penjajahan, menjadi supplier kebutuhan pokok atas nama bisnis, mempermudah akses invasi dengan nama investasi. Manusia-manusia yang tidak lagi memiliki rasa kemanusian. Lebih jahat daripada syetan yang berbicara.
Kedua; Mulut yang bisu, diam seribu bahasa, tidak bersuara atas setiap tetes darah rakyat Palestina, yang sudah terang benderang, mereka adalah bangsa terjajah, terusir, dan dinistakan. Rakyat yang berusaha melawan, dijuluki teroris oleh penjajah tentu lumrah. Namun dipojokan oleh generasi binaan Lawrence of Arabian adalah hal lain.
Kedua penyakit lisan ini, teramat berbahaya. Penyakit pertama, menjadi buzzer Israhell, berada di pihak penjajah. Menyerang Mujahidin, menghinakan aksi-aksi minimal pendukung Palestina. Buzzer yang tentu saja tidak gratisan. Setiap kata dan data harus seiring dengan arahan Edy Cohen.
Penyakit bisu, ambigu di hadapan kebenaran, juga tak kalah berbahaya. Ia adalah syetan bisu, yang sama-sama kekenyangan dengan asupan dana dan data Zionis. Nalar tumpul. Nurani mati. Rasa tak lagi bereaksi, sekedar mencerminkan iman terlemah.
Memang hadis-hadis Nabi dikaji, diberikan syarah, dianalisa sanad sahih daifnya.Namun tak ada pendakian nilai yang terimplementasi. Walau hadis yang disebut pelajaran memdasar dalam Islam: “Muslim itu bersaudara. Harus saling menguatkan satu sama lain. Ibarat tubuh. Jika satu disakiti, maka anggota tubuh lainnya, mengalami demam.”
Memang pula, ayat-ayat AlQuran dibahas panjang lebar. Dianalisa hermeneutika hingga kontekstual. Namun semua disesuaikan dengan kepentingan Zionis penjajah. Penafsiran ala Avacay, juru bicara militer Israhell.
Saya lebih memilih sikap tengah: menyuarakan dukungan untuk Palestina. Diam dengan tidak mempertanyakan motif atau akidah ketika ada pihak Syi’ah atau Barat yang mendukung Palestina. Itulah sikap yang saya pilih, bagian dari kelemahan iman saya.
Nandang Burhanudin

Berita Terkait

Berita Terbaru

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *