Nasional
Beranda » Bendera One Piece Berseliweran, Waktunya Pejabat “Ngaca”

Bendera One Piece Berseliweran, Waktunya Pejabat “Ngaca”

Ternyata, bendera “One Piece” yang dikibarkan masyarakat Indonesia bersama dengan bendera merah putih menjelang HUT RI pada 17 Agustus mendatang, mampu memantik respons negatif dari para pejabat.

Ada yang menyebutnya sebagai “upaya memecah belah persatuan dan kesatuan.” Ada pula yang menganggapnya sebagai “provokasi dari sejumlah kelompok yang berupaya menurunkan maruah bendera perjuangan (Merah Putih).”

Dilansir dari Tempo, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menkopolkam) Budi Gunawan sampai menganggap tindakan itu seperti mencederai kehormatan bendera negara yang memiliki sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2009.

“Pemerintah akan mengambil tindakan hukum secara tegas dan terukur jika ada unsur kesengajaan dan provokasi demi memastikan ketertiban dan kewibawaan simbol-simbol negara,” tegasnya pada Kamis lalu (31/7/25)

Sebetulnya, jika Pasal 24 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2009 ditelaah dengan baik, kata Tempo, “tidak ada aturan yang secara tegas melarang penggunaan bendera lain, termasuk bendera One Piece, selama tidak menodai kehormatan Bendera Negara.”

Hal ini juga ditegaskan oleh Dosen Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah. “Pengibaran bendera itu tidak dilarang selama tidak lebih tinggi atau lebih besar dari bendera Merah Putih. Dalam banyak kasus, posisi bendera One Piece tetap berada di bawah Merah Putih,” jelasnya pada Ahad lalu (3/8/25)

Lagi pula, katanya, ‘Ini juga bukan bendera palu arit,’ yang mewakilkan simbol dari organisasi terlarang di Indonesia. Dia mengatakan tidak ada juga ketentuan hukum, termasuk putusan pengadilan, yang menyatakan pelarangan terhadap bendera One Piece.

Bahkan menurut Herdiansyah, bendera One Piece merupakan bentuk kritik publik terhadap pemerintah. Dan memang begitulah makna dari simbol di bendera itu: “perlawanan” terhadap apa yang dianggap ketidakadilan atau ketidakpuasan terhadap pemerintahan saat ini. Baginya, pemerintah seharusnya tidak menanggapi kritik itu dengan ancaman pidana.

Fakta di lapangan memang demikian. Riki Hidayat, salah seorang warga Kebayoran, Jakarta Selatan, mengatakan kalau alasan ia mau mengibarkan bendera One Piece di depan rumahnya adalah sebagai simbol protes atau ekspresi ketidakpuasan terhadap pemerintah yang dinilai tidak mampu melindungi hak-hak warga negara.

“Saya cinta Tanah Air di mana saya bisa hidup di sana. Tetapi Tanah Air yang saya cintai itu, bukan Tanah Air tempat saya membayar pajak, namun tidak mendapatkan hak yang sepadan atas pajak yang saya bayar,” ujarnya.

Rian, seorang warga Depok, Jawa Barat, pun mengungkapkan hal yang sama. Dibalik rencana pengibaran bendera One Piece, Rian hendak mengirim pesan: “Selama ini kita kayak enggak merdeka, gak sih?”

****
Kemerdekaan Indonesia jelas merupakan salah satu nikmat besar yang patut kita syukuri. Mustahil melupakan jasa para pahlawan, ulama, tokoh, mahasiswa, bahkan santri dalam melawan penjajah, meraih kemerdekaan, dan mempertahankan kemerdekaan.

Melihat betapa sulitnya masyarakat Palestina meraih kemerdekaan dan kedaulatan atas tanahnya sendiri dari tangan penjajah dan teroris Zionis-Israel sejak 77 tahun yang lalu, rasa-rasa sangat tak elok bagi kita untuk kufur atas nikmat kemerdekaan ini. Kita punya mata uang sendiri, bandara sendiri, paspor sendiri. Kita bisa belajar, berkumpul, bepergian dengan tenang.

Namun, terlepas dari berlebihan atau tidaknya alasan dibalik masyarakat Indonesia mengibarkan bendera One Piece—sampai-sampai ada yang mempertanyakan apakah kita sudah merdeka atau belum—benar kata Herdiansyah, seharusnya fenomena ini menjadi bahan introspeksi bagi para pejabat, tepatnya bagi kebijakan-kebijakan yang mereka tetapkan.

Wakil Ketua Komisi XIII DPR Andreas Hugo Pareira, dilansir dari Detik, menegaskan, “Seharusnya ini menjadi bahan introspeksi buat pemerintah, bahwa ada persoalan serius yang membuat masyarakat menyampaikan protes dalam ‘diam’, dalam bentuk sosial kultur,” sambungnya” (5/8/25).

Ketimbang sibuk melarang dan mengebiri satu-satu para pelaku pengibar bendera One Piece, kenapa tidak menampilkan diri sebagai sebaik-baik “pelayan masyarakat” atau “wakil rakyat” yang benar-benar melayani dan mewakilkan rakyat? Sekalipun mungkin dari masyarakat ada yang berlebihan, atau mungkin melanggar undang-undang tadi.

Mungkin para pejabat perlu memakai rumus tokoh pendidikan Islam terkenal bernama Syaikh Burhanuddin Az-Zarnuji dalam kitabnya, Ta’lim Muta’allim. Ia mengatakan:

“Kalau kamu ingin melihat musuhmu kesal, terbunuh oleh kegelisahan, terbakar oleh kesedihan, maka capailah kemuliaan dan tambahlah ilmu. Sebab siapa yang ilmunya bertambah, maka pendengkinya juga akan bertambah.”

Hikmah umum dari pernyataan itu, kata Syaikh Zarnuji: “Wajib atasmu sibuk memperbaiki dirimu sendiri, bukan sibuk mengalahkan musuhmu. Kalau kamu sudah memperbaiki dirimu, secara tidak langsung kamu telah mengalahkan musuhmu.”

Rakyat, jelas bukan musuh pejabat. Dalam bahasa Rocky Gerung, posisi rakyat justru di atas pejabat, karena pejabat pelayan dan wakil bagi kepenting rakyat. Jadi, kalau terhadap musuh saja tak perlu sibuk berkonfrontasi, apalagi kepada yang bukan musuh (rakyat).

Ketimbang sibuk “ngomel-ngomel” dan larang sana-sini pengibaran bendera fiktif itu, kenapa pemerintah tidak sibuk memberi keteladanan; menampilkan diri sebagai sosok yang penuh keteladanan. Dengan berseliwerannya kebijakan pemerintah yang tak masuk akal di media sosial, rakyat mustahil dibodohi.

Ketimbang sibuk mempertanyakan nasionalisme masyarakat, kenapa tidak sibuk mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang justru tampak tidak nasionalis karena merugikan rakyat: hukum yang tajam ke atas tapi tumpul ke bawah (khususnya bagi koruptor), keputusan hukum yang tak berdasar dan tak masuk akal, UU perampasan aset yang masih jadi wacana, masalah kenaikan dan keketatan pembayaran pajak, ketidaktegasan terhadap kelakuan oligarki yang seenaknya mengacak-ngacak alam demi keuntungannya, barang tambah yang dijual seenaknya kepada pihak asing, sampai pemblokiran rekening “nganggur” (dormant) dengan dalih “melindungi hak nasabah dan menjaga integritas sistem keuangan nasional.”

Belum lagi dengan sikap “foya-foya” para pejabat dan keluarganya yang diumbar di media sosial di saat rakyat tengah banting tulang mencari pemasukan. Meskipun sebetulnya terasa tidak masuk akal jika “pelayan” atau “wakil” lebih sejahtera ketimbang “tuan”-nya.

Begitu pula dengan respons-respons negatif para pejabat terhadap masukan dan kritikan masyarakat terhadap kebijakan yang dirasa “absurd”, yang tampak seperti anti kritik. Padahal, dahulu, ketika Abu Bakar menjadi Khalifah, ia berseru kepada semua rakyatnya:

“Wahai manusia! Sesungguhnya aku telah dipilih untuk memegang kekuasaan atasmu, padahal aku bukan yang terbaik di antaramu; Maka jika kau berlaku baik (dalam menjalankan kekuasaan itu) bantulah aku; tetapi jika salah, betulkanlah. Kejujuran adalah amanah, dusta adalah khianat. Barang siapa yang lemah antamu akan kuat bagiku, sehingga aku kembalikan haknya (dari tangan orang lain yang memegangnya) insya’ Allah; Barang siapa yang kuat di antaramu akan lemah berhadapan denganku, sehingga aku ambil hak orang lain dari tangannya, insya Allah. Taatilah aku, selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya; Apabila aku mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, tidak ada atasmu wajib taat kepada-ku.”

Selama pejabatnya adil dan bijaksana, baik melalui kebijakan maupun tingkah lakunya, insyaallah rakyat juga akan mendukung. Kalau mau disayang anaknya orang tua harus jadi teladan yang baik, mau disenangi muridnya guru harus jadi teladan yang baik, mau disukai karyawannya bos harus jadi teladan yang baik, bukankah pemerintah juga harus begitu?

Fatih Madini

Berita Terkait

Berita Terbaru

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *