Dunia Islam
Beranda » Rasisme Bukanlah “Kebencian”

Rasisme Bukanlah “Kebencian”

Mereduksi rasisme menjadi prasangka pribadi menyembunyikan hakikat sejatinya sebagai sebuah sistem kekuasaan dan keuntungan global yang menopang ketidaksetaraan dan kekerasan.

Oleh : Donald Earl Collins
Dosen di American University, Washington, DC.

Sepotong kayu bertuliskan nama Brenton Tarrant, yang membunuh 51 orang di Selandia Baru pada penembakan massal tahun 2019, dan Anders Breivik, yang membunuh 80 orang di Norwegia pada 2011, muncul dalam sebuah cuplikan video tak bertanggal yang sebelumnya diposting di media sosial. Video itu direkam oleh Robin Westman, yang diidentifikasi oleh sumber kepolisian sebagai pelaku penembakan di Gereja Annunciation di Minneapolis. Video tersebut kini telah dihapus.

Sepotong kayu bertuliskan nama para pembunuh massal supremasi kulit putih Brenton Tarrant dan Anders Breivik muncul dalam sebuah cuplikan video tak bertanggal yang direkam dan diposting ke media sosial oleh Robin Westman, perempuan transgender kulit putih yang melakukan penembakan massal di Minneapolis dan membunuh dua anak pada 27 Agustus 2025.

Ketika media dan elit politik membingkai kekerasan rasis sebagai masalah kebencian individu atau penyakit mental, mereka menutupi sifat sistemiknya dan jangkauan globalnya. Melihat rasisme hanya sebagai kebencian bukan saja mematikan, tetapi juga menjadi dalih yang hanya menguntungkan mereka yang berkuasa dan membiarkan rasisme sistemik terus berkembang tanpa batas waktu.

Pemberitaan tentang Robin Westman, perempuan transgender kulit putih berusia 23 tahun yang bunuh diri pada 27 Agustus setelah melakukan penembakan massal di Minneapolis, Minnesota, adalah contoh lain dari paradigma keliru ini. Westman menembak melalui jendela sebuah gereja di lingkungan Sekolah Katolik Annunciation, melukai 17 orang (termasuk 14 anak dan tiga jemaat lansia) serta menewaskan dua anak.

Identitas gender bukan penghalang supremasi kulit putih

Tidak sulit memahami bahwa identitas gender dan pandangan dunia seseorang tidak harus sejalan. Perempuan transgender kulit putih seperti Westman bisa tertarik pada supremasi kulit putih, sama seperti laki-laki dan perempuan kulit putih ‘cisgender’. Namun dalam sebuah opini di New York Post, komentator Karol Markowitz menanggapi dengan nada ‘transfobik dan ableis’, menulis:
“Jika kondisi mental lain menghasilkan pola pembunuhan, kita akan secara kolektif membicarakan dan memutuskan strategi untuk membantu mereka yang sakit. Tetapi tidak ada diskusi yang diizinkan tentang apa yang harus dilakukan ketika seorang anak menyatakan dirinya transgender.”

Ia tidak memberikan bukti adanya hubungan antara depresi Westman, pikiran bunuh diri, obsesinya dengan penembakan massal, dan identitas gendernya—bahkan sambil tetap menyebut nama kelahirannya (deadnaming).

Paradigma “rasisme = kebencian” menyesatkan

Implikasinya jelas: terlalu sering media arus utama membingkai rasisme sebagai cacat individu, sebuah ekspresi kebencian atau penyakit, baik di AS maupun luar negeri. Namun paradigma “rasisme = kebencian” sama sekali tidak mungkin mengakhiri rasisme sistemik atau ketidaksetaraan mematikan yang ditimbulkannya. Yang dihapus dalam pemberitaan semacam itu adalah rasisme struktural yang menindas miliaran orang di seluruh dunia.

Pemberitaan media tentang kasus kekerasan antarras sering kali kembali pada isu kesehatan mental atau sekadar percakapan singkat tentang “menghapus kebencian”. Penembakan massal Westman dan “manifesto” aliran pikirannya sayangnya mengikuti pola ini. Coretan seperti “6 juta tidak cukup”, “tendang spic” (cacian untuk Latin), dan hinaan rasial lain digunakan aparat untuk menekankan kebencian. Kepala polisi Minneapolis Brian O’Hara berkata Westman “menyimpan banyak kebencian terhadap berbagai orang dan kelompok… [dan] memiliki obsesi gila terhadap penembak massal sebelumnya.” Jaksa AS sementara untuk Distrik Minnesota Joe Thompson menambahkan: “Penembak ini membenci orang kulit hitam, orang Meksiko, orang Kristen, orang Yahudi. Singkatnya, ia tampak membenci kita semua.”

Rasisme bukan soal kebencian pribadi

Faktanya, rasisme bukanlah terutama tentang kebencian. Semua bentuk rasisme—struktural, institusional, antarpribadi, maupun internal—bertujuan memaksimalkan kekuasaan dan kekayaan dengan memastikan korbannya tidak memiliki sumber daya untuk melawan.

Pada 2014, komentator budaya sekaligus penyiar radio Jay Smooth menjelaskan melalui seri video untuk NGO antirasis Race Forward bahwa rasisme sistemik terdiri atas dua komponen:
* Rasisme institusional: kebijakan rasis dan praktik diskriminatif di sekolah, tempat kerja, dan lembaga pemerintah yang secara rutin menghasilkan ketidakadilan bagi orang kulit berwarna.
* Rasisme struktural: pola dan praktik rasis yang beroperasi di seluruh institusi masyarakat.

Namun karena media dan tokoh berpengaruh lebih banyak fokus pada “kisah individu”, hubungan antara rasisme individu dan sistemik terhapus. Ini mendorong jutaan orang “melihat rasisme hanya sebagai tindakan sengaja oleh individu” seperti Westman, yang bisa (atau tidak bisa) “diperbaiki dengan mempermalukan dan mengoreksi cacat pribadi mereka”.

Kebencian memang ada di level individu dan sering kali menghasilkan kekerasan rasis, terorisme domestik kulit putih, vigilante kulit putih, dan kekerasan polisi. Namun sebagai sejarawan, adalah kegilaan jika percaya rasisme terutama lahir dari kebencian. Rasisme terlalu terencana: dari perbudakan, segregasi Jim Crow, diskriminasi perumahan, pengusiran penduduk asli, sistem reservasi, hingga berbagai kebijakan lain.

Sejak 1993 saya selalu mengatakan kepada mahasiswa:
“Jika saya bisa menghapus semua kebencian rasis di hati dan pikiran setiap orang di AS, semua sistem yang mempertahankan diskriminasi ras tetap akan ada.”

Tiba-tiba orang kulit putih menyukai orang kulit hitam dan penduduk asli tidak akan menghapus kesenjangan kekayaan, harapan hidup, dan mobilitas sosial yang menumpuk selama empat abad. Kebencian bukanlah cara kerja rasisme, dan menghapus kebencian rasis tidak akan menghapus rasisme—tak peduli berapa banyak lokakarya antirasis yang diadakan.

Sejarah framing rasisme sebagai “kebencian”
Pada salah satu kelas Studi Afrikana di Universitas Pittsburgh tahun 1990, kami menonton cuplikan dokumenter televisi tahun 1959 The Hate That Hate Produced karya jurnalis Louis Lomax dan Mike Wallace. Program itu membingkai nasionalisme kulit hitam dan Nation of Islam sebagai “supremasi kulit hitam” yang lahir dari kebencian. Wallace bahkan menyebutnya “kebencian yang dihasilkan kebencian” selama 300 tahun penindasan. Bagi audiens kulit putih, framing ini menegaskan stereotip.

Baik Wallace dan Lomax pada 1959, maupun O’Hara dan Thompson pada 2025, kerangka berpikir ini mereduksi semua bentuk rasisme menjadi kebencian, menutupi kekuatan luar biasa rasisme sistemik yang menjaga keunggulan kekayaan dan kekuasaan orang kulit putih kaya, khususnya laki-laki, atas semua orang lain.

Framing “rasisme = kebencian” mendunia

Paradigma ini juga bertahan di luar AS. Tak heran mereka yang berpihak pada penindasan memelintir konsep “rasisme = kebencian” untuk kepentingan sendiri:
* Kelompok pro-Israel di AS, Jerman, Prancis, dan Australia menyebut siapa pun yang menentang Zionisme sebagai “antisemit”, bahkan ketika Israel melakukan genosida di Gaza.
* Di India, penganut Hindutva menuding aktivis yang menentang kekerasan anti-Muslim di Kashmir sebagai “Hinduphobia”. PM Narendra Modi pun kerap menyebut para pengkritik sebagai anti-Hindu atau anti-nasional. Sementara itu, Muslim India telah mengalami delapan dekade pendudukan militer, represi politik, dan kekerasan Hindutva—bukti nyata persekusi agama sistemik.
Komentar warganet di AS juga kerap menyamakan semua pihak: “Kalau kejahatan kebencian berlaku untuk kulit putih, maka berlaku juga untuk kulit hitam. Rasisme tak boleh ditoleransi, apa pun warnanya.” Pandangan seperti ini menyamarkan fakta bahwa tidak semua “rasisme” setara—dan membuat rasisme sistemik tampak tak relevan atau tak terlihat.

Kesimpulan

Membingkai rasisme terutama atau semata sebagai kebencian tidaklah menyelesaikan masalah. Justru, itu menyangkal bahwa rasisme adalah komponen utama negara-bangsa AS dan kekuatan Barat dalam budaya global. Sampai umat manusia menghadapi rasisme sebagai sistem kekuasaan dan keuntungan—alih-alih hanya persoalan kebencian pribadi—rasisme akan terus menjadi struktur ketidaksetaraan dan kekerasan di seluruh dunia. II Al Jazeera

Berita Terkait

Berita Terbaru

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *