Dunia Islam
Beranda » AS Terbitkan Sanksi terhadap Kelompok HAM Palestina karena Dukung Penyelidikan ICC atas Israel

AS Terbitkan Sanksi terhadap Kelompok HAM Palestina karena Dukung Penyelidikan ICC atas Israel

Pembicaraan ditujukan untuk mencegah perdebatan di konferensi PBB, di mana sejumlah negara berencana mengakui negara Palestina

Patrick Wintour, Editor Diplomatik (The Guardian)

Sebuah rencana rekonstruksi Gaza yang berpotensi didukung PBB—termasuk pemerintahan teknokrat selama satu tahun, pasukan stabilisasi internasional, pelucutan senjata Hamas, serta penolakan deportasi massal warga Palestina—sedang dibahas bersama AS untuk mencegah Sidang Umum PBB berubah menjadi pertikaian sengit soal pengakuan simbolis negara Palestina.

Hampir bisa dipastikan bahwa Inggris, Prancis, Kanada, Belgia, dan Malta akan mengakui negara Palestina dalam konferensi PBB pada 22 September, yang akan digelar di sela-sela Sidang Umum, pada pekan ketika para pemimpin dunia menyampaikan pidato besar.

Inggris sebelumnya menyatakan mungkin tidak akan mengakui Palestina jika Israel dan Hamas mencapai gencatan senjata. Namun, pemerintah Israel dengan tegas menolak gencatan senjata dan justru menyatakan niat untuk merebut Kota Gaza.

Meski begitu, Inggris berupaya agar konferensi solusi dua negara tidak didominasi oleh perdebatan tentang apakah pengakuan tersebut terlalu dini atau dianggap hadiah bagi Hamas, tuduhan yang dikemukakan pemerintah Israel.

Dalam kunjungan akhir pekan ke Qatar, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi, Menteri Luar Negeri Inggris, David Lammy, mengatakan ia fokus pada kebutuhan “mengubah gencatan senjata menjadi perdamaian berkelanjutan, melalui mekanisme pemantauan, pelucutan senjata Hamas, dan kerangka tata kelola baru bagi Gaza”.

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, yang menghadapi perpecahan internal dalam koalisinya, belum menguraikan visi penuh untuk Gaza pascaperang. Namun, ia semakin sering berbicara tentang kehadiran permanen Israel di Gaza dan aneksasi Tepi Barat.

Rencana rekonstruksi Gaza yang didukung PBB sedang dibahas secara rinci dengan Marco Rubio, Menteri Luar Negeri AS, yang memperingatkan bahwa ancaman Israel untuk mencaplok Tepi Barat adalah respons timbal balik yang sepenuhnya bisa diprediksi terhadap langkah Eropa mengakui Palestina.

Diperkirakan Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas, akan mengunjungi London sebelum konferensi PBB. AS telah mengumumkan tidak akan memberikan visa kepada Abbas dan delegasi otoritasnya untuk menghadiri Sidang Umum, keputusan yang diprotes oleh negara-negara Eropa dengan alasan bahwa Otoritas Palestina yang direformasi sangat penting bagi gencatan senjata dan tata kelola masa depan Palestina.

Rencana yang kabarnya dilontarkan Gedung Putih—yang pada dasarnya mendukung aneksasi Israel atas Gaza dan Tepi Barat—ditolak keras oleh para pemimpin Eropa dan Teluk. “Pengusiran bukanlah pilihan dan ini adalah garis merah bagi Mesir, dan kami tidak akan membiarkannya terjadi,” kata Menteri Luar Negeri Mesir, Badr Abdelatty, pada Jumat.

Tony Blair, yang dekat dengan banyak pemimpin Teluk serta Jared Kushner, menantu Donald Trump, telah berdiskusi dengan Kementerian Luar Negeri Inggris dan bertemu Trump pekan lalu di Gedung Putih.

Dua isu paling kontroversial tetaplah pelucutan senjata Hamas—yang menjadi syarat semua pemimpin Eropa—dan apakah kandidat yang pernah terkait dengan Hamas atau terorisme akan diperbolehkan maju dalam pemilihan presiden dan parlemen Palestina.

Berbicara pekan ini di lembaga kajian Chatham House, Dr Husam Zomlot, perwakilan Palestina di Inggris, mengatakan Otoritas Palestina berkomitmen menyelenggarakan pemilu di Gaza dan Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, dalam waktu satu tahun setelah gencatan senjata. Sementara itu, pemerintahan teknokrat akan memimpin Palestina.

Terkait kemungkinan tokoh Hamas mencalonkan diri dalam pemilu mendatang, Zomlot mengatakan: “Itu akan tergantung pada revisi internal dalam Hamas. Saya yakinkan, rakyat Palestina sangat cerdas; mereka akan memilih orang-orang yang benar-benar melayani mereka dengan baik.”

Ia menambahkan: “Harus ada satu hukum, satu pemerintahan, satu kepolisian. Kami akan lakukan itu karena syarat utama saat ini adalah menjaga kesatuan sistem teritorial kami. Namun pada akhirnya Hamas adalah bagian dari struktur politik, nasional, dan sosial Palestina, dan mereka tidak akan hilang begitu saja dalam sekejap. Yang kami bahas bukanlah penghapusan, melainkan reformasi, perubahan arah, dan dialog internal, sehingga kami dapat menggagalkan proyek pemusnahan total Israel.”

Dalam konferensi awal solusi dua negara di New York pada bulan Juni, negara-negara Arab dan Muslim, termasuk Qatar, Arab Saudi, dan Mesir, untuk pertama kalinya menyerukan secara bersama agar Hamas melucuti senjata dan melepaskan kekuasaan di Jalur Gaza sebagai bagian dari upaya mengakhiri perang di wilayah tersebut.

Liga Arab yang beranggotakan 22 negara, seluruh Uni Eropa, dan 17 negara lainnya mendukung deklarasi yang berbunyi:
“Pemerintahan, penegakan hukum, dan keamanan di seluruh wilayah Palestina harus sepenuhnya berada di tangan Otoritas Palestina, dengan dukungan internasional yang sesuai,” serta menambahkan bahwa “dalam konteks mengakhiri perang di Gaza, Hamas harus mengakhiri kekuasaannya di Gaza dan menyerahkan senjatanya kepada Otoritas Palestina, dengan keterlibatan dan dukungan internasional, sesuai dengan tujuan negara Palestina yang berdaulat dan merdeka.” II The Guardian

Berita Terkait

Berita Terbaru

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *