Dunia Islam
Beranda » Tenaga Medis di Gaza Selatan Memperingatkan Gelombang Pengungsi Baru Palestina

Tenaga Medis di Gaza Selatan Memperingatkan Gelombang Pengungsi Baru Palestina

Dokter di kompleks medis Nasser mengatakan mereka tidak akan mampu menangani jumlah besar orang yang melarikan diri dari Gaza City.

Oleh : Jason Burke, koresponden keamanan internasional

Para dokter dan staf medis di rumah sakit terbesar yang masih berfungsi di Gaza mengatakan mereka akan kewalahan menghadapi gelombang baru pasien luka-luka dan sakit jika ratusan ribu warga Palestina melarikan diri dari wilayah utara yang hancur akibat serangan Israel yang semakin intensif.

Dr Mohammed Saqr, Direktur Keperawatan di kompleks medis Nasser dekat Khan Younis, Gaza selatan, mengatakan jumlah staf tidak cukup untuk menangani kebutuhan yang ada saat ini, sementara persediaan obat-obatan dan bahan bakar semakin menipis.

“Kami telah bekerja lebih dari 23 bulan dalam situasi darurat, jadi kami semua kelelahan,” kata Saqr dalam pesan suara dari kompleks tersebut pada Jumat. “Sebagian dari kami masih berada di penjara Israel, ada yang terbunuh di dalam maupun di luar rumah sakit, dan ada yang harus meninggalkan Jalur Gaza untuk menyelamatkan diri, jadi jumlah kami tidak sama seperti sebelum perang.”

Kemungkinan gencatan senjata baru tampak kecil setelah serangan Israel ke Qatar pekan lalu. Serangan itu menargetkan pimpinan Hamas yang sedang membahas syarat baru perjanjian yang diajukan Donald Trump.

Militer Israel memerintahkan 1 juta penduduk Gaza City untuk mengungsi sebelum ofensif baru. Pada Sabtu, Pasukan Pertahanan Israel mengatakan lebih dari 250.000 orang sudah pergi, meski badan pertahanan sipil Gaza menyebut jumlahnya sekitar 68.000.

Rekaman dan foto akhir pekan menunjukkan keluarga-keluarga yang kelelahan bergerak di sepanjang jalan pesisir dekat Nuseirat, selatan Gaza City, dengan barang-barang menumpuk tinggi di kendaraan.

Otoritas kesehatan Gaza pekan lalu menyatakan mereka tidak akan mengevakuasi dua rumah sakit utama di Gaza City, al-Shifa dan al-Ahli, dan para dokter tidak akan meninggalkan pasien. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga berjanji tenaga medisnya akan tetap tinggal di Gaza City.

Namun, dokter di al-Ahli, yang sudah berminggu-minggu berada di bawah perintah evakuasi, menggambarkan kondisi sebagai “situasi yang melampaui imajinasi manusia” dan mengatakan mereka bisa dipaksa mematuhi perintah Israel.

“Bayangkan menara 20 lantai runtuh dalam kurang dari dua detik karena serangan udara Israel, ribuan keluarga berlarian di jalan menyelamatkan diri bersama anak-anak mereka, anak-anak disembelih, anggota tubuh tercerai-berai,” kata Dr Khamis Elessi, konsultan spesialis nyeri di rumah sakit itu.

Kini jumlah pasien di al-Ahli tiga kali lebih banyak daripada jumlah tempat tidur. Dalam sebulan terakhir, rumah sakit itu menerima hingga 400 kasus dalam satu hari, dengan hanya tiga tempat tidur ICU tersedia. Banyak korban luka serius, termasuk patah tulang, terpaksa dipulangkan untuk menunggu operasi.

“Saya berharap, saya berharap kami bisa selamat,” kata Elessi.

Di rumah sakit al-Shifa, yang dulunya terbesar di Gaza City namun kini nyaris lumpuh, para dokter juga menyatakan akan tetap tinggal. “Saya akan pergi ke selatan bersama keluarga saya untuk memastikan mereka selamat, lalu kembali ke Gaza untuk terus bekerja di al-Shifa, insyaAllah,” kata seorang dokter.

Tenaga medis di Nasser menggambarkan rutinitas harian menghadapi kematian dan luka parah akibat ledakan bom serta peluru.

Dr Tipu Khan dari Ventura, California, yang datang 10 hari lalu sebagai relawan MedGlobal, mengatakan: “Kami menangani banyak luka ledakan, serpihan, dan tembakan … Jika ini terjadi di AS, itu akan dianggap sebagai insiden korban massal besar setiap hari. Bagi saya ini benar-benar luar biasa, tapi saya diberi tahu bahwa ini masih lebih baik dibanding bulan lalu.”

Banyak korban adalah remaja laki-laki dan anak-anak, sering kali terluka di dekat pusat distribusi makanan yang dikelola Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF) yang didukung AS dan Israel serta dijaga tentara Israel, kata Khan.

“Setiap pagi, seperti jam kerja rutin, kami menerima 7–10 remaja laki-laki dengan luka ledakan atau tembakan. Ada yang datang dengan peluru tertanam di otak atau dada. Cedera ini mengerikan, dan tiga atau empat di antaranya sedang sekarat atau tidak bisa diselamatkan,” kata Khan.

Militer Israel membantah sengaja menembaki warga sipil yang mencari makanan di lokasi GHF dan mengatakan telah mengambil langkah pencegahan untuk meminimalkan korban sipil.

Khan mengatakan beberapa perlengkapan dasar di Nasser mulai menipis, termasuk alat ukur tekanan darah dan obat bius.

Rumah sakit itu—tempat serangan Israel bulan lalu menewaskan 20 orang termasuk jurnalis dan tenaga medis—terpaksa mematikan listrik di beberapa departemen dan lorong pada hari-hari tertentu untuk menghemat bahan bakar generator, kata pejabat di sana.

Saqr khawatir fasilitas besar itu, yang menyediakan lebih dari separuh total tempat tidur rumah sakit di Gaza, bisa terpaksa tutup jika operasi militer Israel meluas.

“Evakuasi kompleks Nasser berarti ribuan pasien akan mati karena tidak ada tempat lain untuk dituju,” katanya.

Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal WHO, pekan lalu mengatakan apa yang disebut Israel sebagai “zona kemanusiaan” di Gaza selatan “tidak memiliki kapasitas dan layanan yang cukup untuk menampung mereka yang sudah ada di sana, apalagi pendatang baru.”

Klaim pejabat Israel bahwa mereka berupaya meningkatkan layanan kesehatan di Gaza selatan disambut skeptis oleh para ahli dan pekerja kemanusiaan.

Perang dimulai setelah serangan Hamas ke Israel pada Oktober 2023 yang menewaskan 1.200 orang, sebagian besar warga sipil, dan menculik 250 orang. Lima puluh sandera masih ditahan di Gaza. Ofensif Israel yang menyusul telah menewaskan lebih dari 64.000 orang, sebagian besar warga sipil, dan melukai lebih dari 160.000.

Khan mengatakan ia pernah melihat kehancuran di Haiti setelah gempa bumi 2010, tetapi Gaza berbeda. “Haiti adalah bencana alam, tetapi yang paling menyakitkan di sini adalah bahwa ini 100% bisa dicegah,” ujarnya. II The Guardian

Berita Terkait

Berita Terbaru

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *