Sastra dan Budaya
Beranda » KeIndonesiaan, KeIslaman dan Kebudayaan

KeIndonesiaan, KeIslaman dan Kebudayaan

Membaca Keindonesiaan tanpa KeIslaman, sudah pasti akan gagal. Sementara, membincang KeIndonesia dan KeIslaman kurang sempurnya tanpa menghadirkan Kebudayaan. Saya meyakini pernyataan ini dengan sepenuh hati. Ketika ada yang berlagak bicara keIndonesiaan, tapi mencoba untuk melepaskan diri, menghindari, bahkan tanpa menghadirkan sisi KeIslaman, maka sudah dipastikan mereka akan gagal membaca dan menafsirkannya. Begitu juga, ketika membaca KeIndonesiaan dan KeIslaman, tapi melupakan perkara kebudayaan, bisa dipastikan kurang sempurna.
 
Kita mungkin sering mendengar bagaimana KeIndonesiaan dibajak orang atau kelompok yang merasa “Paling Indonesia”, dengan slogan “NKRI Harga Mati” atau kami tetap “Merah Putih”. Tetapi, ada perbedaan sedikit yang muncul emosi, marah lantas bersikap semaunya sendiri atas nama “NKRI”. Contohnya, ada semacam “Pengajian” konon dinilai kurang “NKRI”. Tanpa ba bi bu, langsung berusaha “Bubarkan Pengajian” alih-alih kedepankan dialog terlebih dahulu.
 
Tentu saja, ini contoh bagaimana sikap picik “KeIndonesiaan” yang keliru dan gagal membaca. Di mana, wajah KeIslaman di Indonesia juga begitu beragam. Memaksakan diri kelompoknya yang paling benar, tentu kurang bijak. Bahkan kerap jadi bumerang. Kenapa, beberapa fakta tak terbantahkan, mereka yang kencang teriak “NKRI Harga Mati”, Kami tetap “Merah Putih” dan merasa paling Indonesia, ternyata melakukan tindakan korupsi alias jadi koruptor. Tentu ini sebuah ironi KeIndonesiaan.
 
Sementara, corak KeIslaman juga begitu beragam. Corak NU dan Muhammadiyah lumayan dominan. Ada lagi corak KeIslaman muslim perkotaan semacam Tarbiyah atau Komunitas Hijrah juga berkembang pesat. Kelompok Islam semacam Salafi diam-diam juga berkembang. Di sisi lain komunitas Jamaah Tabligh juga masih eksis sampai sekarang. Belum lagi ormas yang sudah dibubarkan sekalipun semacam FPI atau HTI juga menolak mati, mereka terus bergerak di bawah tanah. Itu hanya contoh saja, teramat banyak varian dan corak KeIslaman yang hidup dan tak bisa disebutkan semuanya di sini.
 
Terlepas dari semuanya, bicara KeIndonesia dan KeIslaman, bakal terasa hambar tanpa melibatkan Kebudayaan. Di mana, kebudayaan sejatinya menjadi kekayaan tersendiri bangsa ini. Kekayaan yang apa boleh buat, sering diabaikan, tidak dianggap dan sering dipandang sebelah mata. Banyak yang bergaya kejar teknologi tapi hasilnya Indonesia dari segi teknologi dalam bidang apapun tertinggal. Sementara, kebudayaan adi luhung yang tak dimiliki bangsa-bangsa lain, diabaikan begitu saja. Lagi-lagi, ini ironi keIndonesiaan.
 
Di era Pemerintahan Prabowo-Gibran, sebenarnya ada sedikit angin segar kebudayaan. Apa? Dibentuknya secara khusus “Kementerian Kebudayaan”, tentu, hal ini menjadi setitik harapan tersendiri bagi perkembangan kebudayaan. Apalagi di dalamnya, ada “Orang Kebudayaan” yang memimpin kementerian ini. Tak lain tak bukan salah satu tokoh kebudayaan kita, Fadli Zon. Walau tentu, perkara kebudayaan ini berserta orang-orang di dalamnya tak bebas kritik.
 
Apapun itu. Kebudayaan sendiri, tentu bukan sekadar tontonan yang mengalirkan cuan, di mana kebudayaan hanya dilihat sebagai sebuah kegiatan untuk menghias pariwisata, bahkan kadang dipersempit menjadi ajang jualan suvenir ekonomi kreatif. Kebudayaan juga bukan semata dekorasi pinggiran dalam sistem pemerintahan, ia seharusnya menjadi investasi masa depan, di mana kebudayaan memberikan keuntungan yang besar karena terkait pertahanan sebuah bangsa, pola pikir, dan kepribadian bangsa. Sebuah unggulan kebangsaan yang membedakan dengan bangsa lain. Begitulah KeIndonesiaan, KeIslaman dan Kebudayaan menyatu, tak bisa dipisah-pisahkan.
 
Yons Achmad. Pemerhati Kebudayaan.

Berita Terbaru

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *