Nasional
Beranda » Ajak Gen-Z Berpikir Kritis, Fatih Madini Bedah Pemikiran M Natsir dan Tan Malaka

Ajak Gen-Z Berpikir Kritis, Fatih Madini Bedah Pemikiran M Natsir dan Tan Malaka

Gen-Z Fatih Madini terus mengajak anak-anak muda muslim untuk berpikir kritis dalam memahami segala macam pemikiran yang mereka terima. Senin (22/9/2025), di Kota Pekanbaru, Fatih Madini kembali membedah pemikiran M Natsir dan Tan Malaka. Sebelumnya, ia telah membedah pemikiran kedua tokoh itu di Bandung dan Solo.

Di tengah merebaknya popularitas Tan Malaka di media sosial, Fatih Madini mengenalkan sosok dan pemikiran Muhammad Natsir. Menurut alumnus kampus STID M. Natsir – Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) ini, Tan Malaka memiliki gagasan-gagasan hebat. Tapi, membaca pemikiran Tan Malaka, perlu dilanjutkan dengan membaca pemikiran M. Natsir.

Saran itu disampaikannya dalam acara Bedah Buku “Mohammad Natsir: Negarawan, Guru, Dai Teladan” karya Dr. Adian Husaini, di Kota Pekanbaru (22/9/2025).

Fatih Madini menjelaskan, M. Natsir dan Tan Malaka sama-sama ingin menguatkan Indonesia dengan mewujudkan keadilan bagi masyarakat dan meningkatkan kualitas berpikir mereka. Tapi dua tokoh yang sama-sama Orang Minang itu mempunyai cara pandang yang berbeda.

Tan Malaka memakai gagasan “Madilog” yang khas dengan filsafat materialisme Karl Marx untuk mewujudkan itu. Sedangkan M. Natsir, menggunakan Islam sebagai sebuah ideologi yang menurutnya jauh lebih solutif dan ideal.

Soal upaya meningkatkan taraf berpikir masyarakat, Tan Malaka menulis buku “Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika”. Menurut Fatih Madini, buku itu menguraikan dengan begitu luar biasa potensi akal dan indra manusia.

Buku Madilog mendorong akal dan indra untuk berpikir dan melakukan observasi berdasarkan “kaidah ilmiah” demi berkembangnya ilmu pengetahuan. Baginya, hal itu tidak akan terwujud sebelum manusia bisa membuang “logika mistika”-nya, yang erat kaitannya dengan kehendak dan kuasa Tuhan.

“Tetapi, letak masalahnya adalah Tan Malaka menyamaratakan logika mistika yang harus dibuang adalah yang berasal dari semua agama atau kepercayaan, yang dalam Madilog ia menggunakan contoh Dewa Mesir Kuno, Ra,” jelas Fatih Madini, yang telah menulis empat buku tentang peradaban dan pendidikan.

Dalam “Madilog”, sebagaimana dikutip Fatih, Tan Malaka menuliskan: “Cepatnya Mahadewa Ra menciptakan bumi dan langit sungguh menggambarkan Mahakuasanya Dewa Ra. Tetapi hal ini bertentangan benar dengan hukum evolusi yang dipakai oleh Charles Darwin buat menjelaskan kemunculan, tumbuh, dan tumbangnya hewan serta tumbuhan. Kalau hukum evolusi tumbang, maka tumbanglah pula ilmu biologi. Tumbanglah pula Gedung ilmu yang sudah memunculkan raksasa berpikir, yang sudah nyata sekali manfaatnya buat seluruh umat manusia… Kalau system itu tak bisa diperiksa kebenarannya dan tak bisa dikritik, maka matilah ilmu pasti itu.”

Dijelaskan oleh Fatih Madini, dalam pandangan Islam, jika kepercayaan hal mistis semacam takhayul dianggap bisa menumpulkan akal masyarakat dan menghambat laju ilmu pengetahuan, maka Islam sepakat dengan hal itu. Tapi jika sampai mendepak eksistensi metafisik secara mutlak dan menyingkirkan wahyu sebagai sumber ilmu, Islam tentu tidak sepakat.

Sebab, kata Fatih, Tan Malaka sampai berucap: “Adanya Tuhan Yang Esa, jiwa, akhirat dan lain-lain itu bukan perkara yang bisa dieksperimenkan, disusun menjadi hukum, dan diterka seperti dalam ilmu pasti. Semuanya berdasarkan kepercayaan yang tak sama pada beberapa orang pada satu waktu dan pada satu orang pada waktu berlainan. Kepercayaan itu sebagian besar bersandar pada perasaan, bukan pada pancaindra dan akal. Dengan begitu, ia tak masuk ke dalam daerah penyelidikan berdasarkan Madilog.”

Bahkan, katanya lagi, dalam buku “Pandangan Hidup”, dengan pandangan filsafat materialismenya, Tan Malaka secara tersirat sudah memandang agama sebatas dogma yang tidak bisa diafirmasi soal benar-salahnya.

Fatih juga mengutip pandangan Prof. Franz Magnis Suseno terhadap Madilog Tan Malaka dalam bukunya yang berjudul, “Dalam Bayangan Lenin: Enam Pemikir Marxisme, Dari Lenin Sampai Tan Malaka”.

Menurut Prof. Franz Magnis, nada Tan Malaka dalam memandang alam semesta begitu jelas: “fenomena alam raya sampai ke manusia dan masyarakat dapat dijelaskan tanpa harus lari ke logika gaib.”

Pandangan itu yang membuatnya begitu anti terhadap metafisika secara keseluruhan, yang ia samakan dengan hal-hal mistis yang tak masuk akal. “Tan Malaka melihat kepercayaan kepada Yang Mahakuasa sebagai perpanjangan pandangan mitos tentang dewa-dewa. Dan mitos itu harus dibuang,” kata Prof. Franz Magnis.

Kata guru besar Sekolah Filsafat Driyarkara itu, kerangka pengertian sejarah Madilog dari logika gaib melalui filsafat ke pendekatan ilmiah sama dengan ‘hukum tiga tahap’ Auguste Comte: Dari tahap mitos dan agama, melalui tahap metafisika atau filsafat, umat manusia maju ke tahap positip di mana gejala-gejala yang menyatakan diri langsung diteliti dengan maka ilmu-ilmu pengetahuan

“Di sinilah Mohammad Natsir kembali memberi solusi ideal melalui Islam,” tegas Fatih Madini, yang menulis skripsi dengan judul “Pemikiran dan Respons Mohammad Natsir terhadap Sekularisme” 

Merujuk kepada pemikiran M. Natsir, Fatih Madini memaparkan, Islam mengakui wahyu sebagai sumber ilmu atau kebenaran. Dengan pengakuan akan wahyu yang metafisik itu, Islam tidak mematikan akal dan indra. Berkat pengakuan akan wahyu, akal dan indra manusia memperoleh tiga keuntungan.

Pertama, wahyu akan melengkapi keterbatasan akal dan indra. Mengutip M Natsir dalam buku “Fiqhud Da’wah” (2000), disebutkan: “Wahyu tidak memusuhi pancaindra dan akal…. Mana yang tak tercapai oleh pancaindra dijemput oleh aqal. Mana yang tidak atau belum tercapai oleh aqal, dijangkaukan oleh wahyu.”

Kedua, wahyu akan memberi stimulus bagi tumbuh kembang dan kerja akal juga indra. Kata Natsir, “Tidaklah sekali-kali wahyu itu takut kepada akal, tidak berusaha menutup-nutupi akal, apalagi mematikan akal. Maka ia memanggil akal untuk melakukan fungsinya. Dipanggilnya pancaindra untuk memberi ‘makanan pada akal’. Aqal manusia harus hidup, tidak boleh mati, tidak boleh lumpuh.”

Hal itu jelas terbukti dalam sejarah Peradaban Islam. “Bukanlah wahyu yang menyuruh menghukum seseorang seperti Galileo Galilei (1564-1642) dan banyak lagi ahli akal dan ilmu yang senasib dengan dia, dalam sejarah ‘Barat’ itu, yang di waktu itu masih takut melihat cuaca siang,” ungkap Fatih merujuk Natsir. Masalah itu, jelas Fatih, bisa dirujuk pada buku M Natsir berjudul “Capita Selecta 1” dan “Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah”.

Ketiga, dengan pengakuan akan wahyu, perkembangan dan laju ilmu pengetahuan akan mempunyai arah yang jelas sehingga membawa manfaat dan rahmat bagi manusia dan alam semesta, tidak liar karena kehilangan makna sehingga membawa kerusakan di mana-mana.

Hal ini begitu penting menimbang besarnya kerusakan yang disebabkan oleh peradaban Barat, melalui perkembangan ilmu pengetahuan yang sekular dan materialis itu. Mengutip narasi M. Natsir dalam buku “World of Islam Festival dalam Perspektif Sejarah”, Fatih Madini mengatakan:

“Manusia itu dihadapkan kepada keadaan yang mencemaskan pada masa kini: —di satu pihak dia berhasil memperoleh kemajuan materil yang luar biasa, di lain pihak manusia itu gagal untuk menguasai nafsu-nafsu dasar dirinya… Manusia telah bisa mempelajari bagaimana mengendalikan alam lingkungan, tetapi dia tidak belajar mengendalikan dirinya sendiri. Maka dia menjadi kehilangan arah serta kehilangan rasa perimbangannya.”

Selain itu, kata Fatih, dalam pandangan Natsir, dengan mengakui wahyu Allah, manusia yang berilmu akan meraih “makna” dan “pegangan hidup yang tetap” sehingga menenteramkan jiwanya. Kata Natsir dalam buku “Islam Sebagai Dasar Negara”, paham agama dapat “memberikan dasar jang tetap, jang tidak berobah… point of refrence, titik tempat memulangkan segala sesuatu.”

Natsir telah menceritakan fenomena kekosongan dan kegelisahan jiwa anak-anak muda karena jauh dari agama, salah satunya ia tuturkan di bukunya, “The New Morality”. Bulan Juni 1968, di Universitas Toronto, tepatnya saat prosesi wisuda tengah dilakukan, seorang mahasiswa yang maju untuk memperoleh ijazah kesarjanaannya dengan predikat cum laude, tiba-tiba merobek-robek ijazahnya itu di hadapan banyak orang bahkan keluarganya sendiri.

Alasan ia merobek ijzahnya, kata Natsir, karena kampus ‘had answered none of the basic questions for which he and his generation must answers.” Natsir melanjutkan, “Generasi mudah kami ini, katanja, mempunjai bermatjam-matjam problima-problima. Problima- problima jang merangsang djiwa kami setiap hari, tidak terdjawab. Jang diadjarkan ialah ilmu, ilmu dan ilmu pengetahuan. Otak kami diisi, djiwa kami tetap kosong.”

Dalam buku “Da’wah dan Pembangunan”, Natsir juga menceritakan pengalamannya selama berkunjung ke Jepang Bersama Perdana Menteri Jepang, Takeo Fukuda. Kepada Fukuda ia katakan, “Saya melihat tuan punya generasi adalah generasi yang tidak mempunyai pegangan hidup.” Fukuda tersenyum dan mengatakan, “Syukur saya bertemu dengan satu orang yang berani mengatakan itu kepada kami. Memang itu betul.”

Demikianlah pemaparan Fatih Madini tentang perbandingan pemikiran Tan Malaka dan M Natsir dalam sejumlah masalah keilmuan, kenegaraan, dan peradaban. Ia kemudian menyarankan, agar Gen-Z yang membaca pemikiran-pemikiran Tan Malaka melanjutkan kajiannya ke pemikiran-pemikiran M. Natsir.

“InsyaAllah dengan itu kita bisa berlaku adil, dan menempatkan kedudukan pemikiran tokoh-tokoh kita pada tempatnya, secara proporsional,” pungkasnya.

Berita Terkait

Berita Terbaru

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *