Dunia Islam
Beranda » Erdogan dan Prabowo, Dwi Tunggal di Dunia Islam

Erdogan dan Prabowo, Dwi Tunggal di Dunia Islam


Tulisan ini mengandung subjektivitas, tentu saja iya. Pepatah mengatakan, ” “Tidak perlu menjelaskan tentang dirimu kepada siapa pun, karena yang menyukaimu tidak butuh itu. Dan yang membencimu tidak akan percaya itu.”

Juga akan ada yang mengatakan, tulisan ini tidak ilmiah. Jawabannya tentu iya. Pepatah mengatakan, “Biar sejengkal dalam lautan, jangan dicapak.” Artinya, walaupun sekecil musuh, jangan diabaikan.
*****

Kembali ke judul tulisan. Saya secara personal berbangga hati dengan kehadiran kembali Indonesia di kancah dunia. Sepuluh tahun terakhir, Indonesia “gaib” dari hiruk pikuk konstalasi internasional. Tentu disebabkan, ikan menjadi busuk, busuknya mulai dari kepala.”

Kini setelah kepala ikan yang bernama Indonesia “sehat” -kendati belum 100%- rakyat Indonesia menonton dengan tegak, bahwa Presidennya mampu bergaul di kancah internasional. Tanpa canggung. Tak memalukan apalagi memilukan.

Kosongnya Indonesia pada fase 2014-2024, bertepatan dengan kosongnya peran pemimpin negara-negara Muslim di Timur Tengah. Mesir di 2014, baru saja mengalami tragedi kemanusiaan efek dari kudeta militer terhadap Presiden terpilih secara demokratis, Presiden Mursi.

Pun sama halnya di Saudi Arabia, baru terjadi “kudeta tak berdarah” terhadap putra mahkota pertama oleh putra mahkota kedua, MBS. Lalu kemudian MBS dengan MBZ mempelopori embargo terhadap Qatar, satu-satunya negara Teluk yang konsisten dukungannya terhadap faksi perjuangan Palestina.

Pada masa itu, Turki sedang disibukkan dengan migrasi besar-besaran korban pembantaian rezim Syiria, Assad. Erdogan sebagai presiden, hampir saja disingkirkan dalam kudeta militer pada Juli 2016. Sehingga dunia Islam, betul-betul kosong dari pemimpin berwatak, seiring Indonesia dipimpin oleh Jokowi yang dikenal sangat “keras” terhadap kalangan Islam politik.

Namun di balik semua peristiwa itu, ada hikmah yang baru kita petik hasilnya hari saat ini:

1. Pada fase 2016-2022, Turki fokus pada industri dirgantara, UAV, alutsista. Sejak lama Erdogan mengajak Indonesia untuk berpartisipasi, namun, pemerintahan Jokowi justru sedang mabuk cinta dengan China, yang hanya menghasilkan ketergantungan hutang. Industri dirgantara Indonesia, hampir mati suri. Tak jauh berbeda dengan industri Alutsista, hidup enggan mati tak mau.

2. Kini, fase 2024-2029, di era Presiden Prabowo, Turki siap menghibahkan alih teknologi UAV berkat kesigapan Presiden Prabowo yang belanja besar-besaran Drone Anka II, Drone Akanci, Rudal ARHANUD, hingga pesawat Siluman 4.5 KAAN Turki yang masih dalam tahap ujicoba.

Keharmonisan hubungan Presiden Erdogan dengan Presiden Prabowo, tidak hanya penting bagi kedua negara. Namun juga penting untuk dunia Islam, Timur Tengah dan dunia pada umumnya.

Sikap politik Erdogan dan PRabowo di kancah internasional, sama-sama menganut politik “keberimbangan”. Yang pro mengatakan, keduanya menganut kekuatan tengah (middle power) yang memiliki sikap independen terhadap berbagai kekuatan besar.

Tidak seperti pendahulu keduanya, Erbakan dan Habibie, yang kental dengan “mode” Islamisasi, sehingga keduanya harus bernasib sama, hanya satu tahun memerintah di negara masing-masing. Uniknya kedua tokoh hebat tersebut, sama-sama pernah menjadi guru-murid, senior-junior, dan atasan-bawahan.

Posisi moderat kedua negara bertitik tolak pada kenyataan: Turki dan Indonesia bukan negara kuat, tapi punya potensi untuk menjadi negara super power. Hanya saja, potensi tersebut akan mudah buyar atau dibuyarkan, jika Turki dan Indonesia “salah langkah” dalam memilih peran. Hal utama dalam sikap dan kebijakan masalah Palestina.

Erdogan punya pengalaman lengkap dalam bersikap soal Israhell vs Palestina. Hal ini tentunya dipahami juga oleh Prabowo, yang cukup lama berada di Jordania. Keduanya memahami realitas bangsa-bangsa dan rezim-rezim di dunia Arab. Keduanya paham geopolitik di tengah persaingan keras antara AS, Barat, Rusia, China. Keduanya pun tahu betul kondisi rakyat masing-masing negara, yang mudah dikuya-kuya oleh hal-hal sederhana.

Keberimbangan hari ini adalah pilihan tepat. Karena memungkinkan Turki Indonesia menjadi mediator dalam konflik-konflik regional dan internasional. Kepemimpinan Erdogan mencontohkan, Turki “lemah” menghadapi arogansi Israhell (AS), sehingga untuk urusan UAV, drone saja, Turki harus mengemis. AS menolak mengekspor teknologi drone. Turki terpaksa membeli dengan banyak syarat dari Israhell.

Namun di sela-sela itu, PM Erdogan ketika itu, mengirimkan ratusan pelajar ke pusat-pusat teknologi AS dan Barat. Hadirlah seorang Bayraktar, yang kemudian sukses menciptakan drone-drone canggih yang proven di medan tempur. Drone made in Turkiye, kini masuk ke level empat dunia.

Inilah hikmah dari kepemimpinan. Asalkan “ikan” tidak busuk, niscaya Indonesia maju. Kita nantikan peran super lagi dari kedua pemimpin dunia Islam, Prabowo dan Erdogan.

Nandang Burhanudin

Berita Terkait

Berita Terbaru

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *