Suasana aula besar Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Banjarmasin, pada malam Sabtu, 5 Oktober 2025, terasa hangat dan khidmat. Ratusan mahasiswa dari berbagai penjuru Indonesia hadir dengan semangat yang sama: menghidupkan nilai-nilai Al-Qur’an di ruang akademik.
Itulah malam pembukaan Musabaqah Tilawatil Qur’an Mahasiswa Nasional (MTQMN) XVIII, yang tahun ini diselenggarakan oleh Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Belmawa) di bawah Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek), dengan ULM sebagai tuan rumah.
Namun di balik lantunan ayat-ayat suci, ada satu cabang lomba yang tampil berbeda: debat Bahasa Arab. Bukan lantunan suara yang menggema di ruang ini, melainkan alur logika, kecepatan berpikir, dan keindahan argumen yang tersusun dalam bahasa wahyu.
Bahasa Wahyu, Bahasa Nalar
Bagi banyak orang, bahasa Arab identik dengan doa dan tilawah. Tapi bagi para peserta debat MTQ Mahasiswa Nasional, bahasa ini adalah alat berpikir dan berdialog. Mereka berdiri di podium, berbicara dengan kefasihan, menyusun argumentasi dengan ketelitian, dan menyanggah lawan dengan santun. Yang dibicarakan bukan soal gramatika, melainkan isu-isu besar: lingkungan, kemanusiaan, kebebasan berpikir, dan nilai moral dalam era digital.
Di sinilah Al-Qur’an menemukan bentuk barunya dalam dunia kampus — tidak hanya dibaca, tetapi dipikirkan. Sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya Kami menurunkannya sebagai Al-Qur’an berbahasa Arab agar kamu memahaminya.” (QS. Yusuf: 2). Bahasa Arab, yang dulu menjadi medium wahyu, kini menjadi medium logika. Mahasiswa belajar menata argumen sebagaimana Al-Qur’an menata ayat-ayatnya: runtut, seimbang, dan penuh hikmah.
Kampus Umum, Ruh Qur’ani
Pelaksanaan MTQ Mahasiswa Nasional di bawah Kemendiktisaintek menunjukkan bahwa nilai-nilai Al-Qur’an kini tumbuh subur di universitas-universitas umum. Mahasiswa dari fakultas teknik, ekonomi, hukum, hingga pendidikan berkumpul dalam ruang yang sama untuk berdialog dalam bahasa Arab — bukan karena mereka semua berlatar belakang studi keislaman, melainkan karena mereka mencintai kebenaran dan keindahan berpikir.
Inilah wajah baru pendidikan tinggi Indonesia: ilmu yang tidak tercerabut dari nilai. Debat Bahasa Arab menjadi simbol pertemuan dua arus besar — sains dan spiritualitas, rasionalitas dan etika. Ia membuktikan bahwa peradaban maju hanya lahir dari manusia yang mampu berpikir logis tanpa kehilangan kebeningan hatinya.
Kelemahan yang Masih Terlihat
Namun, seperti setiap proses belajar, ada ruang-ruang yang masih perlu diperbaiki. Sebagian peserta belum sepenuhnya menguasai kosa kata ilmiah dan idiom logika dalam bahasa Arab. Banyak yang berpikir dalam bahasa Indonesia lalu menerjemahkannya secara harfiah. Akibatnya, gaya bicara terdengar kaku, bahkan kehilangan ketepatan makna. Padahal, keindahan bahasa Arab justru terletak pada kemampuannya mengekspresikan gagasan dengan ringkas tapi tajam.
Selain itu, pemahaman terhadap tema atau mosi masih menjadi tantangan. Beberapa peserta terjebak pada retorika, bukan analisis. Alih-alih menelusuri akar persoalan, mereka kadang hanya mengulang pandangan umum tanpa kerangka berpikir yang kuat. Debat pun kehilangan daya reflektifnya — padahal hakikatnya, setiap perdebatan dalam Al-Qur’an selalu mengandung perenungan yang dalam.
Masalah lain muncul dalam pemahaman format dan manajemen waktu. Dalam model British Parliamentary Debate, setiap pembicara memiliki peran spesifik: pembuka, pendukung, penentang, dan penutup. Namun masih ada yang belum memahami struktur ini, sehingga argumen antartim tumpang tindih. Kadang, waktu habis sebelum kesimpulan sempat disampaikan dengan utuh.
Dan yang tak kalah penting, ada pula yang melupakan adab dalam berdebat. Beberapa peserta masih membawa semangat kompetisi lebih tinggi dari semangat pencarian kebenaran. Padahal, debat dalam tradisi Qur’ani bukanlah ajang untuk mengalahkan, tetapi ruang untuk memahami. Sebagaimana diingatkan dalam Al-Qur’an: “Jadilhum billati hiya ahsan” — berdebatlah dengan cara yang terbaik.
Belajar Berpikir dan Beradab
Meski begitu, setiap kekurangan justru memperlihatkan potensi besar yang sedang tumbuh.
Debat Bahasa Arab kini menjadi ruang latihan berpikir dan beradab bagi mahasiswa Indonesia.
Di sana, mereka tidak hanya melatih kefasihan berbicara, tetapi juga keberanian berpikir, kejujuran berargumen, dan kesantunan dalam berdialog.
Pembinaan ke depan perlu diarahkan agar lebih integratif: menggabungkan pelatihan bahasa, logika, dan riset tematik. Kampus dapat menjadikan kegiatan ini sebagai bagian dari pembelajaran lintas disiplin — bukan hanya milik mahasiswa bahasa Arab, tetapi juga mahasiswa teknik, hukum, dan sains. Sebab, di dunia yang semakin kompleks, berpikir dengan hikmah adalah kompetensi yang melampaui bidang ilmu apa pun.
Bahasa yang Menghidupkan Pikiran
Debat Bahasa Arab di MTQ Mahasiswa Nasional bukan sekadar lomba, tetapi simbol dari arah baru pendidikan tinggi Indonesia. Bahwa bahasa wahyu dapat menjadi bahasa logika. Bahwa spiritualitas dapat berjalan seiring dengan intelektualitas. Dan bahwa ilmu yang sejati bukan hanya tentang data dan teori, tetapi juga tentang hikmah dan kemanusiaan.
Dari Banjarmasin, gema itu terdengar ke seluruh kampus di tanah air — menegaskan bahwa Al-Qur’an dapat hidup di ruang kuliah, di laboratorium, dan di podium debat. Selama mahasiswa masih mau berdialog dengan akal dan hati, selama bahasa Arab masih diajarkan sebagai bahasa berpikir, semangat wahyu itu tidak akan padam.
Ia akan terus menuntun generasi muda Indonesia menjadi insan yang fasih dalam bahasa, tajam dalam logika, dan lembut dalam budi. Karena sejatinya, debat yang terbaik adalah yang menuntun manusia menemukan hikmah, bukan kemenangan.
Dr. Andy Hadiyanto. Dosen Universitas Negeri Jakarta dan Ketua DPP Asosiasi Dosen Pendidikan Agama Islam Indonesia (ADPISI).

Komentar