Tayangan trans 7 tentang beberapa tradisi pesantren yang kurang bagus, beberapa waktu lalu, mendapat kecaman keras dari dunia pesantren. Khususnya pesantren NU. Ulil Abshar Abdalla dan Islah Barawi diantara orang yang mengecam tayangan itu. Ketua GP Anshor dalam demonya malah ingin menggorok leher orang yang menayangkan video itu.
Setelah beberapa kali melihat tayangan itu, saya yang cukup lama jadi wartawan, merasa biasa saja tayangan itu. Tayangan itu memang menampilkan kritikan tajam kepada pesantren. Diantaranya kemewahan para kiyai berbanding terbalik dengan kondisi santrinya, jalan ngesot untuk mendapat hadiah susu dan lain-lain.
Dalam dunia jurnalisitik menampilkan fakta kemudian disertai dengan gaya penuturan yang ‘agak sinis’, adalah biasa saja. Asal yang ditampilkan fakta dan bukan merupakan kebohongan.
Memang di tanah air, masih terjadi gap antara pers bebas dan kepribadian masyarakat. Banyak masyarakat, kiyai, pejabat, tokoh masyarakat yang tidak siap dengan pers bebas.
Mereka tidak faham dunia sekarang berbeda dengan dunia mereka di masa dulu. Tayangan trans 7 itu tidak ada apa-apanya dengan dunia medsos. Di twitter, facebook, youtube dan lain-lain caci maki adalah hal biasa. Menghina, mengolok-olok, berantem kata-kata adalah biasa.
Mereka yang terbiasa melihat medsos, maka melihat tayangan trans 7 adalah hal biasa. Tapi bagi mereka yang jarang melihat pertarungan pemikiran di medsos, maka tayangan trans 7 itu dianggap luar biasa.
Para kiyai (dan santri harusnya) menyadari bahwa saat ini adalah saat keterbukaan informasi. Saat ini dunia lebih dikuasai medsos daripada media massa. Di dunia medsos keterbukaan informasi lebih hebat dari media massa.
Media massa banyak yang tutup, milyaran orang menjadi penggemar medsos. Medsos menarik karena di medsos mereka merasa dapat berpartisipasi dan menyampaikan pemikiran atau pendapatnya. Milyaran orang tiap hari melihat di hpnya, tayangan youtube, facebook, instagram dan lain-lain.
Seperti kita ketahui, media sosial atau medsos tidak ada redaksinya. Semua bisa berpartisipasi di sana. Sedangkan media sosial ada redaksinya. Redaksi itulah yang menyeleksi tulisan atau tayangan.
Harusnya para pendukung pesantren, membantah tayangan itu dengan video-video yang menampilkan kebagusan dunia pesantren. Dan seharusnya juga mengakui kelemahan atau kesalahan yang dilakukan pesantrennya, bila memang melakukan kesalahan.
Kebetulan saya yang pernah lama ngaji pada kiyai-kiyai di pesantren, saya temukan tradisi pesantren ada yang bagus, ada yang tidak. Banyak pesantren yang mendidik santrinya seadanya, alias kurang serius. Yang penting jumlah santri banyak, ilmu, keahlian dan kemampuan santri kurang diperhatikan. Di lapangan kita menemukan kiyai atau ustadz yang bermewah-mewah hidupnya dan lain-lain.
Tentu ada pula pesantren yang bagus mendidik santrinya. Para ustadz atau kiyainya serius mendidik agar mereka menjadi ulama atau pemimpin di suatu hari nanti.
Sebagaimana sekolah, pesantren ada yang bagus, kurang bagus dan ada yang buruk dalam manajemen pendidikannya.
Sebagai mantan santri, kita harusnya terbuka dengan kritik yang ada. Kita harus sadar bahwa era sekarang adalah era medsos. Meski program tayangan trans 7 itu bubar, mereka bisa bikin kembali tayangan untuk dimuat di medsos, di youtube, instagram dan lain-lain.
Dalam era keterbukaan informasi saat ini, santri justru harus dididik dengan pemikiran terbuka. Mereka harus dibekali dan ilmu aqidah dan syariah yang kuat, tapi juga harus dibekali juga dengan akhlak, sejarah, budaya Islam, sains dan lain-lain. Mereka harus disiapkan untuk perang pemikiran di dunia medsos atau media massa.
Santri jangan kita didik untuk demo dan mengancam-ancam wartawan, karena tampilan yang menyinggung kiyai atau pesantren kita. Didiklah santri menulis, berdebat, ceramah untuk menunjukkan kemuliaan Islam. Didiklah santri membuat inovasi atau karya yang berguna bagi umat manusia.
Memang untuk mendidik santri ini, kiyainya dulu yang harus dididik. Kiyainya dulu yang harus menjadi teladan. Kalau kiyainya lebih mengutamakan harta daripada ilmu, lebih mengutamakan jabatan daripada dakwah, lebih mengutamakan uang daripada amar makruf nahi mungkar, bagaimana mau mendidik santrinya.
Ingatlah wahai kiyai, jangan kita mendidik santri seperti Yahudi Israel yang suka membunuh wartawan. Israel kini telah membunuh 250 wartawan dan Hamas tidak membunuh satu wartawan pun. Waallahu alimun hakim. II Nuim Hidayat, Direktur Forum Studi Sosial Politik

Komentar