Istilah itu bukan dari saya, tapi tapi dari salah satu warganet. Ia komentari berita dengan judul ”Pria di Sibolga Tewas Dianiaya gegara Tidur di Masjid” (Detikcom/3/11/2025). Ringkasan beritanya, seorang pria bernama Arjuna Tamaraya (21) tewas setelah dianiaya oleh beberapa orang di dalam dan luar area Masjid Agung Sibolga, Jalan Diponegoro, Kota Sibolga, Sumatra Utara, pada Jumat dini hari sekitar pukul 03.30 WIB. Peristiwa bermula ketika Arjuna tidur di masjid tanpa izin, kemudian pelaku utama, ZP alias A (57), melarangnya, memanggil empat pelaku lainnya, lalu bersama ikut melakukan penganiayaan terhadap Arjuna mulai dari pemukulan, menyeret korban hingga kepala terbentur anak tangga, serta terjadi penginjak-injakan. Belakangan diketahui, korban seorang mahasiswa.
Setan urus masjid? Istilah itu mungkin spontan saja ditulis oleh warganet (netizen). Tapi, sepertinya bisa menjadi perenungan para aktivis masjid, terutama pengurusnya yang kerap dikenal dengan Dewan Kemakmuran Masjid (DKM). Namanya memang cukup mentereng. Tentu, teramat banyak pengurus DKM yang memang bagus-bagus. Tapi, seperti contoh kasus di atas, beserta contoh-contoh kasus lainnya, kerap kita dapati pengurus yang lagaknya sok berkuasa, semena-mena. Seolah masjid punya dia. Tentu, ini pemandangan yang memprihatinkan.
Soal masjid ini, saya teringat pernah lakukan semacam “penelitian” mandiri. Waktu ini, masjid yang cukup mentereng tak lain tak bukan Masjid Jogokariyan, Jogjakarta. Saya menginap di sana selama sekitar sepuluh hari. Hidup membaur bersama warga. Ngobrol bersama para DKM tanpa bilang saya sedang “Penelitian”, mengalir saja, ngobrol bersama jamaah, pada pedagang, termasuk keliling sambangin warga. Tak lupa, saya kumpulkan semua dokumentasi yang ada. Termasuk, majalah cetak masjid alhamdulillah saya dapatkan.
Sebuah transformasi masjid yang menggembirakan, walau membutuhkan waktu bertahun-tahun hingga terkenal sampai sekarang. Dari masjid kampung yang awalnya di situ jadi “Markas PKI” sampai menjadi masjid rujukan nasional sekarang ini. Salah satu kunci keberhasilan bukan pada bangunan fisik masjidnya. Di mana, seperti kita lihat, masjid itu tak terlalu besar, arsitekturnya juga biasa saja, tapi SDM yang mengelolanya yang menjadikan masjid itu punya nama besar sekarang ini.
Soal nama “Dewan Kemakmuran Masjid” ada yang mengusulkan diubah jadi “Dewan Pelayan Masjid”. Tapi menurut saya, nama Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) mungkin tak perlu diubah. Tapi, perlu dimaknai dengan perspektif yang lebih pas dan kekinian.
Kita bisa tengok dalam surat At Taubah ayat 18, di mana istilah “Kemakmuran” itu memang tersebut. Di situ, terpampang jelas kriteria orang-orang yang berhak dan pantas memakmurkan masjid.
“Sesungguhnya yang (pantas) memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, mendirikan salat, menunaikan zakat, serta tidak takut (kepada siapa pun) selain Allah. Mereka itulah yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk”.
Sementara, sebuah hadis riwayat al-Tirmidzi dari Abu Sa’id al-Khudry, menyebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, ”Apabila kamu melihat seseorang biasa pergi ke masjid maka saksikanlah ia benar-benar beriman, karena sesungguhnya Allah swt. berfirman; Sesungguhnya hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir”.
Terlepas dari pencerahan wahyu itu, dalam sepuluh hari “nginep” di Jogokariyan itu, saya bisa ambil kecenderungan bagaimana masjid-masjid berdiri dan dikelola. Ada beberapa macam dan levelnya.
Pertama, membangun masjid. Dalam tahap ini, tak perlu dipertanyakan. Teramat banyak orang atau komunitas bisa membangun masjid. Bangunannya sangat megah dan mewah. Tapi, sepi jamaah. Tak tampak beragam aktivitas meramaikan masjid itu. Tentu, tak ada pula capaian memakmurkan jamaahnya. Sepertinya level ini cukup dominan di masyarakat kita
Kedua, memakmurkan pengurusnya. Mohon maaf, mungkin ini kurang mengenakkan kedengarannya. Tapi, lontaran demikian apa boleh buat ada. Merujuk pada masjid yang memberikan misalnya kesempatan kotbah Jumat, ceramah kepada pengurusnya saja. Acara ngopi-ngopi, makan-makan yang sering diadakan lebih banyak untuk pengurus dan beberapa gelintir lingkaran DKM. Zakat, Infak, Sedekah dari berbagai pihak, diperuntukkan hanya sebatas lingkar pengurusnya. Di sini, saya tak mengarang cerita. Hanya menyampaikan bahwa persepsi demikian ada.
Ketiga, memakmurkan jamaah. Terakhir, ini yang sebenarnya ditunggu-tunggu. Bagaimana masjid benar-benar bisa memakmurkan jamaahnya, baik dengan beragam kegiatan, maupun memakmurkan dalam arti yang lebih menukik, bermanfaat dan berdampak kepada jamaah. Bagaimana DKM bisa benar-benar memakmurkan jamaahnya, bukan yang lain.
Lagi-lagi kita bisa ambil contoh masjid Jogokariyan. Saya menemukan bagaimana warga ternyata mendapat jatah beras sesuai kebutuhan perbulan. Mereka tak ambil ke masjid untuk menjaga kehormatan. Tapi pengurus sendiri yang mengantarkan ke rumah-rumah. Perkembangan terbaru, kini masjid itu juga pesat betul perkembangannya. Misalnya membeli sawah sebagai wakaf, bangun penginapan (hotel) sebagai wakaf yang semua peruntukan atau keuntunggan bisnisnya untuk jamaah.
Tentu itu hal besar yang perlu dicontoh. Tapi, hal kecil bagaimana “Nguwongke” jamaah tetap ada. Umpamanya, ketika ramadhan, itu diadakan buka bersama besar-besaran. Untuk efektivitas, mungkin solusinya pakai piring sekali pakai buang, selesai. Tapi tidak bagi Jogokarian. Mereka tetap memakai piring “beling” walau risikonya beberapa diantaranya pecah. Tak masalah. Satu hal yang penting, bisa berdayakan ibu-ibu setempat, mereka tetap punya “pemasukan” dari mencuci piring yang kotor itu. Begitulah, bagaimana pemandangan pemakmuran masjid, tak hanya soal efektivitas, jadi juga pertimbangkan semacam adat dan “Kearifan lokal”.
Hari ini, kita belajar bagaimana masjid dikelola oleh orang-orang yang memang kompeten dan mengerti hakikat pemakmuran masjid. Bukan dikelola oleh orang-orang yang egois dan mementingkan dirinya sendiri saja. Jangan sampai “Setan Urus Masjid”, kata warganet. Dan kita tentu semua berharap, “Setan berbentuk manusia” tak lagi bikin gara-gara dalam pengelolaan masjid. Semua hanya bisa berharap. Semoga perbaikan selalu datang. []
(Yons Achmad. Kolumnis, tinggal di Depok)

Komentar