Isu Palestina telah lama menjadi topik yang sensitif dalam politik Amerika Serikat. Dukungan terhadap Israel bukan hanya kebijakan, melainkan norma ideologis dalam sistem dua partai. Para politisi, terutama dari Partai Demokrat yang ingin bertahan dalam orbit kekuasaan, selama puluhan tahun memilih posisi diam atau mendua—double standard—demi menjaga hubungan dengan donor pro-Israel dan lobi Zionis. Namun, kehadiran Zohran Kwame Mamdani, politisi muda Muslim beraliran sosialis dari Queens, menandai disrupsi penting terhadap ortodoksi tersebut.
Sebagai imigran keturunan Asia Selatan yang menghabiskan masa kecil di Uganda dan Afrika Selatan pasca-apartheid, Mamdani membawa perspektif yang berakar pada pengalaman kolonialisme dan perjuangan kesetaraan ras. Solidaritasnya terhadap Palestina bukan sekadar posisi politik, tetapi bagian dari identitas moral dan sejarah keluarganya, terutama melalui pengaruh intelektual ayahnya, Mahmood Mamdani, seorang akademisi terkemuka dalam studi kolonialisme dan kekerasan negara.
Dalam kampanyenya sebagai calon Wali Kota New York, Mamdani tidak hanya berbicara soal Palestina sebagai isu luar negeri; ia mengkaitkannya dengan politik kota, terutama isu imigran, penegakan hukum, represi politik, dan hak untuk berpendapat. Saat pejabat New York lainnya menangkapi mahasiswa anti-genosida, Mamdani justru berdiri bersama demonstran, mendukung tuntutan penutupan kerjasama universitas dengan industri militer, hingga menyerukan penghentian deportasi oleh ICE (kantor imigrasi dan bea cukai AS).
Di sinilah letak signifikansi politiknya, bahwa Palestina menjadi bagian dari agenda progresif domestik, tidak lagi diposisikan sebagai isu “jauh” atau “asing.” Dengan kata lain, Mamdani menegaskan bahwa pembebasan Palestina adalah bagian dari keadilan sosial global dan karena itu relevan bagi kelas pekerja, minoritas, dan komunitas imigran di Amerika.
Kemenangan elektoral Mamdani yang mengalahkan mantan gubernur Andrew Cuomo dengan dukungan para miliarder, menunjukkan bahwa dukungan terbuka terhadap Palestina kini justru dapat menghasilkan keuntungan elektoral. Hal ini berbanding terbalik dengan asumsi lama bahwa isu tersebut adalah “bunuh diri politik.” Basis pemilih muda, kelas pekerja, dan komunitas minoritas justru memobilisasi diri karena keberanian Mamdani yang menolak berkompromi.
Namun, oposisi terhadap Mamdani juga kita lihat agak keras. Media konservatif dan tokoh-tokoh Demokrat arus utama menuduhnya antisemit, meskipun tidak ada dasar faktual. New York Post (3/8/2025) menulis “Zohran Mamdani’s views on Palestinians are embarrassing” yang salah satu kalimatnya mengatakan bahwa ‘nilai Mamdani bukanlah keadilan, tapi kebencian.’ Serangan yang menjelekkan Mamdani, termasuk mengaitkan bahwa serangan Mamdani terhadap Israel adalah bagian dari obsesi seumur hidup yang ditanamkan ayahnya, yakni Mahmood Mamdani, akademisi pascakolonialis yang kritis, ini mencerminkan strategi lama yang digunakan untuk membungkam solidaritas terhadap Palestina dengan mengidentikkan kritik atas negara Israel dengan kebencian terhadap Yahudi. Tuduhan tersebut bukan lahir dari kepedulian pada keselamatan komunitas Yahudi, tetapi untuk mempertahankan struktur kekuasaan geopolitik dan ekonomi yang menopang kebijakan AS di Timur Tengah.
Dari luas AS, para menteri Israel misalnya mengecam terpilihnya Zohran Mamdani sebagai wali kota Muslim pertama New York City, dan menyerukan kepada warga Yahudi di kota tersebut untuk berimigrasi ke Israel. Kandidat dari Partai Demokrat, Mamdani, terpilih sebagai wali kota New York pada Selasa, menjadi orang Muslim dan keturunan Asia Selatan pertama yang menduduki jabatan tersebut. Mereka menganggap bahwa terpilihnya Mamdani sebagai ‘menyerahkan kunci kebebasan dunia pada pendukung Hamas’, sebuah tuduhan yang tidak berdasar tentu saja.
Menteri Keamanan Nasional sayap kanan, Itamar Ben-Gvir, menyebut terpilihnya Mamdani sebagai wali kota New York sebagai “kemenangan antisemitisme atas akal sehat,” dan melabeli wali kota terpilih itu sebagai “pendukung Hamas, pembenci Israel, dan antisemit yang terang-terangan.” Begitu juga Duta Besar Israel untuk PBB, Danny Danon, juga mengecam Mamdani. Dalam pernyataannya kepada stasiun radio lokal 103 FM, Danon mengklaim bahwa terpilihnya Mamdani dapat membahayakan “rasa aman komunitas Yahudi,” karena ia bertanggung jawab langsung terhadap kepolisian kota.
Menurut saya, Israel dalam hal ini menjadi khawatir berlebihan dengan terpilihnya Mamdani. Artinya, mereka tidak menyangka bahwa dari ‘kota kebebasan’ seperti New York dimana banyak warga Yahudi tinggal, justru lahir seorang pemimpin yang sangat pro kepada Palestina. Mamdani sejauh ini secara konsisten menegaskan bahwa ia berkomitmen melindungi warga Yahudi New York dari antisemitisme, sembari menolak memakai tuduhan tersebut untuk membungkam suara Palestina. Posisi ini memperluas ruang perdebatan yang membedakan antara antisemitisme dan kritik terhadap apartheid Israel.
Di tingkat nasional, kemenangan Mamdani dapat mempercepat pergeseran generasi dalam Partai Demokrat. Kaum muda, terutama yang berasal dari kelas pekerja, imigran, dan mahasiswa, telah menjadikan Palestina sebagai isu moral yang mendefinisikan politik mereka. Jika gelombang ini menguat, Palestina dapat berubah dari isu tabu menjadi standar etika baru dalam politik progresif Amerika.
Dengan demikian, Zohran Mamdani dapat kita lihat tidak hanya sebagai simbol “wajah baru” politik kota New York. Ia adalah representasi dari lahirnya wacana solidaritas internasional, yang menghubungkan perjuangan rakyat Palestina dengan perjuangan keadilan sosial di pusat imperium itu sendiri. Dalam konteks ini, kemenangan Mamdani tidak hanya relevan bagi Palestina, tapi juga sebagai tanda bahwa ‘ketakutan elektoral’ karena mendukung Palestina di Amerika mulai retak. Artinya, kita lihat bahwa dukungan pada Palestina akan semakin membesar dari ‘ibu kota dunia’ New York.
Dr. Ibrahim Karatas, analis hubungan internasional asal Turki melihat ‘jika seorang Muslim memenangkan pemilihan wali kota di salah satu kota terkaya di dunia, itu berarti persepsi terhadap Muslim telah berubah menjadi positif.’ Menurut Karatas, Gaza jelas memainkan peran besar dalam membentuk pandangan tersebut. Karena itu, tidak salah untuk mengatakan bahwa Mamdani berutang sebagian dari keberhasilannya kepada Gaza dan rakyatnya.
Genosida yang terjadi di Gaza telah membangunkan rakyat Amerika dan dunia, membuat mereka melihat bahwa Israel berlaku brutal, membunuh bayi dan perempuan. Menyadari hal itu, masyarakat mempertanyakan mengapa Washington bertindak sebagai pelindung Israel dan ikut serta dalam genosida. Menurut Karatas, publik Amerika, khususnya New York mengkritik kebijakan pro-Israel dan kebijakan luar negeri “America First,” dan kini mereka berusaha mempengaruhi politik Amerika yang sebagian besar masih dikendalikan oleh kelompok Zionis.
Kita berharap Zohran Mamdani dapat menunjukkan kebijakannya yang populis dan pro-Palestina yang konsisten. Mayoritas negara-negara di dunia saat ini telah mengakui Palestina, dan masyarakat dunia telah menyadari bahwa apa yang dilakukan Israel adalah keliru dan tidak relevan dengan semangat zaman. Kita berharap Mamdani dapat memberikan layanan terbaik untuk masyarakatnya, sekaligus menguatkan dukungan masyarakat dunia pada kemerdekaan Palestina.
Pada 8 November 2025, di Senayan, Jakarta akan diadakan ‘Konferensi Asia-Pasifik untuk Palestina’ yang digelar MUI, BKSAP DPR RI, dan berbagai lembaga filantropi dan kemanusiaan. Kita berharap gema pro-Palestina terus dapat terus berbunyi di berbagai negara di Asia-Pasifik dan dunia, serta dapat melahirkan pemimpin-pemimpin baru seperti Zohran Mamdani di berbagai negara di dunia yang menunjukkan sikap yang jelas dan tegas keberpihakan pada Palestina. Selain kita mengatakan selamat untuk Zohran, kita berharap akan lahir pemimpin baru pro-Palestina di berbagai kota di dunia.
Yanuardi Syukur
Pengamat Timur Tengah, Dosen Antropologi Universitas Khairun

Komentar