Semarang – Suasana Cafe Pelangi, Jl. Singosari 45 Semarang, Senin malam (10/11/2025), berubah menjadi ruang diskusi intelektual yang hangat dan penuh semangat. Pimpinan Nasional Keluarga Alumni KAMMI (KAKAMMI) menggelar peringatan Hari Pahlawan dengan tema besar: “Membangun Semangat Kepahlawanan Dalam Refleksi 200 Tahun Perang Diponegoro Sebagai Upaya kolaborasi untuk Menjayakan Indonesia. Kegiatan ini digelar dalam format hybrid, dengan seat offline terbatas dan ratusan peserta lainnya mengikuti secara daring melalui Zoom Meeting.
Dua narasumber utama dengan kapasitas akademik dan pengalaman yang mumpuni hadir memberikan perspektif berharga. Prof. Dr. Alamsyah, S.S., M.Hum., Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, membuka paparan dengan menekankan kembali figur Diponegoro sebagai pemimpin multidimensi—seorang bangsawan santri yang memadukan spiritualitas Islam dengan keberanian militer.
“Perang Jawa bukan sekadar perlawanan fisik, tetapi pertempuran ide dan martabat. Diponegoro bukan hanya tokoh sejarah, tetapi simbol integritas moral dan visi kepemimpinan yang relevan hingga sekarang,” tegas Prof. Alamsyah, disambut anggukan peserta.
Narasumber kedua, Dr. M. Shokeh, S.Pd., M.Si., Ketua PW KAKAMMI Jawa Tengah yang juga Kaprodi Sejarah Univ Negeri Semarang membawa peserta menyelami akar sejarah Perang Diponegoro dan dampaknya bagi konstruksi nasionalisme Indonesia. Ia menjelaskan bahwa perang besar selama lima tahun di Jawa Tengah dan Timur menjadi fondasi moral nasionalisme abad ke-20. Dalam paparan yang tajam, Dr. Shokeh menegaskan bahwa konsep “Ratu Adil” yang selama ini dipahami sebagai figur penyelamat bukan untuk ditunggu, melainkan diaktualkan dalam prinsip kepemimpinan yang adil, etis, dan visioner.
“Nilai-nilai keadilan, keberanian, dan pengabdian adalah energi moral bangsa. Kita tidak membutuhkan sosok penyelamat tunggal. Kita membutuhkan generasi muda yang mampu memimpin dengan nurani dan keberanian menghadapi kompleksitas zaman,” ujarnya.
Acara semakin menarik ketika Yudha A. Wiranagara, S.Sos., S.H., M.H., Wakil Ketua KAKAMMI sekaligus penyelenggara, memberikan tanggapan yang kuat dan menggugah. Yudha menegaskan bahwa refleksi sejarah tidak boleh berhenti pada romantika masa lalu.
“Semangat Diponegoro bukan untuk dikagumi saja. Ini adalah panggilan, agar generasi hari ini berani mengambil posisi sebagai pelanjut tongkat estafet bangsa. Era sekarang adalah VUCA world—volatility, uncertainty, complexity, ambiguity. Tanpa karakter kepahlawanan, kita mudah terseret dalam arus ‘zaman edan’ seperti digambarkan Ranggawarsita,” kata Yudha.
Ia juga menegaskan bahwa KAMMI dan KAKAMMI memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan kader-kadernya yang mampu berkolaborasi dan siap menjadi pemimpin yang bersih, kritis, dan solutif untuk menjayakan negeri
Diskusi interaktif berlangsung dinamis, dipandu moderator Muhammad Rafli, kader KAMMI UIN Jakarta. Peserta baik offline maupun online aktif mengajukan pertanyaan terkait relevansi Perang Diponegoro dengan isu-isu modern seperti krisis moral, korupsi, degradasi budaya, dan tantangan globalisasi. Beberapa peserta bahkan menegaskan pentingnya pendidikan sejarah yang berbasis nilai, bukan sekadar hafalan.
Acara ditutup dengan ajakan bersama untuk menjadikan Hari Pahlawan bukan sekadar seremoni, tetapi momentum membangun budaya kepemimpinan yang berani, adil, dan religius—persis seperti warisan yang ditinggalkan Pangeran Diponegoro.
KAKAMMI berhasil menciptakan ruang refleksi yang hidup: memori sejarah disandingkan dengan tantangan masa depan, membangkitkan harapan bahwa generasi muda Indonesia siap menyambut tantangan zaman dengan semangat kepahlawanan yang autentik.(IH)

Komentar