Kira-kira, bagaimana menjelaskan usaha Roy Suryo saat dirinya terus berusaha membongkar ijazah Jokowi yang dinilainya palsu? Saya merenung sejenak. Bagaimana kalau kita mencobanya lewat perspektif psikologi komunikasi. Kali ini meminjam perspektif psikoanalisis, di mana dikenal sebagai sebuah teori yang menjadi usaha untuk bisa menjelaskan tentang hakikat dan kepribadian manusia. Saya akan mencoba membaca bagaimana manusia (subjek) membentuk dirinya sendiri.
Sebagai langkah awal, saya akan coba “semena-mena” meminjam konsep psikoanalis Lacanian. Di mana tokoh ini (Jacques Lacan ) pernah membagi pengalaman manusia dalam tiga ranah. Yaitu “The Imaginary” (ranah imaji, identifikasi dan citra diri), “The Symbolic” (ranah penggunaan bahasa, hukum, moral, struktur sosial) dan “The Real” (sebagai tahap “Yang Nyata”, juga bisa jadi tempat muaranya semua trauma).
Drama “The Imaginary”. Kita akan melihat bagaimana sosok Roy Suryo mengidentifikasi dirinya. Sepertinya, dirinya akan berusaha menjadikan sosok bercitra “Pahlawan” dengan cara terus menerus membongkar abis dan meyakini bahwa ijazah Jokowi adalah palsu. Dengan demikian, dirinya bisa jadi sangat berharap sorak sorai, tak hanya ketika berhasil, akan tetapi juga dalam proses berjalannya usaha itu. Sebagai “orang panggung”, orang politik, yang paham publikasi, usaha itu akan terus dilakukan. Apalagi ditambah beragam dukungan, yang entah itu asli atau “fake” terus berdatangan.
Drama “The Symbolic”. Kita bisa melihat bagaimana bahasa-bahasa yang digunakan Roy Suryo. Banyak lontaran yang disampaikan Roy Suryo soal tuduhan ijazah palsu Jokowi ini. Misalnya, dirinya bilang “Saya bukan wakili saya sendiri, Dokter Rismon tidak mewakili Dokter Rismon sendiri, Dokter Tifa juga tidak. Kami mewakili seluruh rakyat Indonesia yang menginginkan perubahan atas negeri ini ya.” Ucapan demikian mencerminkan kepercayaan diri yang tinggi bahwa dirinya dkk, memang bakal menjadi “Pahlawan” dan bakal memenangkan pertempuran.
Drama “The Real”. Ia adalah dunia yang tidak bisa terbaca, disimbolkan oleh Roy Suryo, ia juga sepertinya gagal membaca “The Liyan”. Awalnya begitu percaya diri karena sebuah kasus misalnya “Pencemaran nama baik” hanya orang bersangkutan yang bisa melaporkan. Tak dinyana tak disangka, ternyata Jokowi turun tangan dan melaporkan Roy Suryo. Kini, alih alih Jokowi yang menjadi tersangka, justru dirinya dkk yang kemudian menjadi tersangka.
Sampai di sini, saya tak akan menyimpulkan atau melakukan penghakiman. Sementara, di negeri “Konoha” terkadang memang kebenaran dan kejujuran tak selalu menang. Seringkali, siapa yang kuat, dialah yang memenangkan pertempuran. Kalau melihat Jokowi, jangan ditanya kekuatannya semasa menjabat. Bahkan sudah lengser sekalipun, siapa yang berani mengusik, digilasnya tanpa ampun. Apa boleh buat, begitulah wajah “Dunia bekerja”.
Apakah saya menuliskan hal ini sebagai upaya untuk menakut-nakuti atau mendemarketisasi mereka yang mencoba perjuangkan kejujuran, kebenaran yang mereka yakini? Tidak. Saya hanya mencoba sedikit berefleksi, mencoba melawan sebuah kekuatan, tak ada salahnya mengukur diri. Salah perhitungan, bisa hancur lebur kita. Tapi, kalau risiko itu sudah dipahami, maka, lanjutkan perjuangan. Tak perlu merengek dan minta dikasihani kalau nasib berkata lain. Tak sesuai “Imaji” dan harapan semula kita.
Yons Achmad. Pengamat Komunikasi.

Komentar