Belakangan ini, terjadi gejolak serius di tubuh Nahdlatul Ulama (NU). Dalam Risalah Rapat Harian Syuriah PBNU (20 November 2025), Rais Aam PBNU KH. Miftachul Akhyar dan dua wakilnya secara resmi meminta Yahya Cholil Staquf mundur dari jabatan Ketua Umum (Ketum) PBNU.
Beberapa poin utama yang menjadi dasar desakan ini adalah :
1. Undangan narasumber Zionis: Dalam kegiatan Akademi Kepemimpinan Nasional (AKN NU), Gus Yahya disebut mengundang pemikir yang terkait “jaringan Zionisme Internasional” (Peter Berkowitz), yang menurut Syuriah dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Ahlussunnah wa al-Jamaah dan muqaddimah Qanun Asasi NU.
2. Tata kelola keuangan: Rapat Syuriah menyebut indikasi pelanggaran keuangan dalam struktur PBNU, termasuk potensi pelanggaran syariah dan aturan Anggaran Rumah Tangga NU (Pasal 97-99), yang dianggap membahayakan eksistensi badan hukum NU.
3. Isu nama baik: Syuriah menilai tindakan itu mencemarkan nama baik NU, dan mengusulkan sanksi.
Dalam risalah rapat harian Syuriah itu ditegaskan, jika dalam waktu tiga hari Gus Yahya tidak mengundurkan diri, risalah menyatakan Syuriah akan memberhentikannya.
Gus Yahya sendiri menyatakan bahwa dia sudah bertemu dengan jajaran Syuriah dan mengklaim bahwa sebagian dari mereka “menyesal” karena kurang mendapat informasi utuh sebelumnya. Ia juga menyatakan tidak akan mundur dan akan terus menjalankan amanah kepemimpinan itu hingga 2027.
NU sebagai organisasi memiliki dua institusi penting: dewan syuriah (ulama) dan dewan tanfidziyah (eksekutif). Kadang, gesekan muncul bila arah kepemimpinan tanfidzi (seperti Ketum) dinilai tidak sejalan dengan otoritas moral dan doktrinal Syuriah (Rais Aam). Sejarah panjang NU menunjukkan bahwa konflik internal ini bukan hal baru, tetapi skala dan intensitasnya bisa sangat kritikal jika nilai-nilai dasar dianggap dipertaruhkan.
Salah satu aspek paling sensitif dan kontroversial dari kepemimpinan Yahya Staquf adalah hubungannya dengan Israel. Yahya pernah berkunjung ke Israel pada 2018. Ia datang sebagai pembicara dalam forum American Jewish Committee (AJC).
Ia menyatakan saat itu: “Saya berdiri di sini untuk Palestina … menghormati kedaulatan Palestina sebagai negara merdeka.” Menurut penjelasannya, kehadirannya bukan mewakili NU secara kelembagaan, melainkan atas nama pribadi.
Selain itu ia juga bertemu dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Pada kesempatan itu, Yahya mengakui pertemuannya dengan Netanyahu dan tokoh-tokoh lain selama di Yerusalem. Meski Yahya menyatakan bahwa dalam berbagai pertemuan di Israel itu ia menyatakan dukungannya kepada Palestina, tapi Israel sangat diuntungkan dengan kehadiran Yahya Staquf. Kehadiran tokoh Islam NU ini dianggap sebagai legitimasi negara Israel yang memang sedang membutuhkan pengakuan dari negeri-negeri Islam.
Dalam risalah Syuriah PBNU, kehadiran pemikir Zionis Peter Berkowitz dalam AKN NU menjadi satu poin utama. Yahya menanggapi tuduhan ini dengan menegaskan bahwa keterlibatannya dengan pihak-pihak Israel adalah demi perdamaian dan pembelaan Palestina, bukan dukungan terhadap Zionisme.
Tindakan Yahya ke Israel itu akhirnya diikuti oleh lima tokoh muda Nahdliyin yang pergi menemui Presiden Israel Isaac Herzog (2024). Di sini Gus Yahya meminta maaf atas insiden tersebut.
Karena itu Syuriah NU mendesak agar Yahya Staquf mengundurkan diri dari kursi Ketua Umum PBNU. Pengunduran diri ini diharapkan bisa membuka ruang dialog ulang antara Syuriah dan Tanfidziyah PBNU. Konflik internal bisa dijembatani lewat muktamar, musyawarah ulama, dan restrukturisasi kepemimpinan.
Dengan kepekaan tinggi terhadap isu Palestina-Israel, pemimpin yang terus-menerus menjadi sorotan terkait hubungan dengan Israel bisa menjerat NU dalam kontroversi berulang. Mundur bisa meredam kritik dari internal maupun eksternal. Hal itu juga bisa menjaga citra NU sebagai organisasi yang tetap berpegang pada nilai-nilai kemanusiaan dan solidaritas terhadap Palestina, tanpa dicap “membela Zionisme”.
Konflik antara Syuriah dan Tanfidziyah di NU pernah terjadi juga di zaman kepemimpinan Gus Dur (1984). Saat itu Kiyai Ahmad Shiddiq yang duduk sebagai Ketua Syuriah menyatakan bahwa kepemimpinan Gus Dur sudah batal. Beberapa kiyai menyebut imamnya kentut.
Tapi konflik ini akhirnya bisa ditengahi dan Gus Dur tetap sebagai Ketua Umum. Meskipun banyak pihak mendesak agar Gus Dur dilengserkan.
Gus Dur sendiri juga dikenal dekat dengan zionis Israel. Bahkan ketika menjadi presiden, ia ingin membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Tapi karena penolakan kuat dari umat Islam, Gus Dur membatalkannya. Meski demikian di era Gus Dur terjadi hubungan dagang dengan Israel (2000). Yaitu ketika Luhut Binsar Pandjaitan menjabat sebagai Menteri Perdagangan.
Seperti diketahui karena jasa-jasa Gus Dur ke Israel, ia akhirnya dianugerahi Shimon Peres Award. Gus Dur memang dikenang sebagai tokoh perdamaian oleh Israel dan dikenal juga sebagai penentang keras radikalisme/fundamentalisme Islam.
Maka, jangan heran Yahya Staquf dan lain-lain kemudian mengikuti jejak Gus Dur ke Israel. Selama para kiyai dan tokoh NU tidak berani menyalahkan tindakan Gus Dur yang mendukung Israel, maka selama itu pula akan muncul tokoh-tokoh muda NU yang akan menjalin hubungan dengan Israel.
Kritik lain juga muncul kepada Yahya Staquf. Yaitu ia banyak mengangkat caretaker (pemimpin sementara) di berbagai daerah. Kebijakan Gus Yahya mengangkat banyak caretaker ini memang secara hukum organisasi diperbolehkan. Tetapi karena skala dan frekuensinya berlebihan, membuat banyak pihak menilai terjadi sentralisasi berlebihan. Di samping itu muncul persepsi bahwa PBNU menjadi terlalu politis serta memicu ketegangan antara tanfidziyah dan syuriah di berbagai tingkat.
Beberapa kiai syuriah menyampaikan keberatan kepada pengurus PBNU sekarang ini. Kritik itu antara lain banyak keputusan-keputusan strategis (keuangan/tambang) tidak cukup dimusyawarahkan. Kedua, terlalu dekat dengan kekuasaan dan konglomerat. Ketiga, arah NU terlalu duniawi dan kehilangan ruh perjuangan.
Banyak aspek sebenarnya permintaan dari para kiyai syuriah NU agar Gus Yahya mengundurkan diri. Tapi mungkinkah Yahya bersedia? Kekuasaan itu enak lho. Wallahu alimun hakim.
Nuim Hidayat, Direktur Forum Studi Sosial Politik

Komentar