Memulihkan pendidikan di Gaza sama mendesaknya dengan bantuan kemanusiaan. Pendidikan dapat membantu anak-anak mulai pulih dari trauma.
Oleh : Nada Hamdona
Penulis dan Guru dari Gaza
Ketika gencatan senjata di Gaza diumumkan, saya merasakan berbagai emosi yang bercampur aduk. Saya merasa bahagia karena akhirnya bom berhenti, tetapi juga cemas bahwa serangan bisa dimulai lagi kapan saja. Saya merasa optimistis bahwa kami bisa kembali ke kehidupan normal, tetapi juga khawatir bahwa ketenangan ini mungkin hanya sementara.
Sebagai seorang guru bahasa Inggris, saya sangat berharap pendidikan dapat segera dipulihkan. Pendidikan adalah satu-satunya cara untuk menghidupkan kembali harapan dan membantu anak-anak mulai mengatasi trauma akibat dua tahun genosida. Pendidikan dapat memberikan rasa normal dan tujuan hidup. Karena itulah, pendidikan harus menjadi prioritas utama Gaza.
Sebelum genosida dimulai, saya mengajar bahasa Inggris untuk siswa sekolah dasar dan menengah di sebuah pusat pendidikan dan sekolah negeri untuk anak perempuan di Kota Gaza. Sekolah tersebut hancur pada minggu-minggu pertama perang; pusat pendidikan juga rusak parah.
Keluarga saya dan saya terpaksa mengungsi dari rumah. Beberapa bulan kemudian, saya mulai mengajar di sebuah tenda — inisiatif lokal yang dijalankan oleh para relawan. Tidak ada meja di dalam tenda; murid-murid saya — berusia antara enam hingga dua belas tahun — duduk di lantai. Kondisi belajar sangat sulit, tetapi saya bertekad untuk membantu mereka melanjutkan pendidikan.
Menjelang akhir Desember 2024, pena, buku, dan buku catatan benar-benar menghilang dari toko dan pasar. Sebuah buku catatan bisa berharga 20 hingga 30 shekel (sekitar Rp 100.000 – Rp 150.000), jika pun tersedia. Ini jelas di luar jangkauan sebagian besar keluarga.
Ketika kelangkaan kertas, buku, dan pena semakin terasa, beberapa murid datang ke kelas tanpa apa pun untuk ditulis. Ada yang mengumpulkan sobekan kertas dari reruntuhan rumah dan membawanya ke kelas; ada juga yang menulis huruf kecil-kecil di balik lembaran kertas lama yang disimpan keluarganya. Karena pena sangat langka, beberapa anak terpaksa berbagi satu pena untuk menulis bersama.
Karena menulis dan membaca, yang merupakan dasar pendidikan, menjadi sangat sulit dilakukan, kami para guru harus mencari cara alternatif untuk mengajar. Kami melakukan hafalan kelompok, bercerita secara lisan, dan bernyanyi bersama.
Meskipun kekurangan perlengkapan, anak-anak menunjukkan semangat luar biasa untuk terus belajar. Melihat mereka berjuang menulis di atas potongan kertas bekas membuat saya terharu sekaligus bangga — keteguhan mereka untuk belajar di tengah segala keterbatasan justru menginspirasi saya.
Saya memiliki sebuah buku catatan khusus yang diberikan oleh nenek saya bertahun-tahun lalu. Buku itu dulunya berisi impian dan rahasia pribadi saya. Setelah perang, saya mulai menulis di dalamnya tentang ledakan bom, keluarga tunawisma yang tidur di jalan, kelaparan yang belum pernah saya alami sebelumnya, dan penderitaan akibat hilangnya kebutuhan dasar.
Suatu hari di bulan Agustus, ketika hampir semua murid datang tanpa selembar kertas pun, saya tahu apa yang harus saya lakukan. Saya mengambil buku catatan saya dan mulai merobek halamannya satu per satu, lalu membagikannya kepada murid-murid saya.
Dengan jumlah murid yang begitu banyak, halaman buku saya habis dalam satu hari. Setelah itu, anak-anak harus kembali menulis di atas sobekan kertas dan kardus bekas.
Gencatan senjata mungkin telah menghentikan bom, tetapi murid-murid saya masih tidak memiliki kertas dan pena. Bantuan kemanusiaan memang mulai berdatangan kembali ke Gaza — makanan, obat-obatan, dan bahan untuk tempat tinggal — semua itu penting. Namun, kami juga sangat membutuhkan perlengkapan pendidikan dan dukungan untuk mengembalikan jalannya pendidikan bagi 600.000 anak sekolah di Gaza.
Buku, pena, dan kertas bukan sekadar perlengkapan sekolah. Mereka adalah penyelamat hidup yang dapat membantu anak-anak Gaza mengalahkan perang, kehancuran, dan kehilangan yang luar biasa. Barang-barang sederhana itu adalah alat penting yang menopang keteguhan hati dan keinginan mereka untuk hidup, belajar, dan melihat masa depan yang lebih cerah.
Anak-anak bisa pulih dari trauma perang dan menemukan kembali rasa aman melalui pendidikan. Belajar memberi mereka kembali struktur, kepercayaan diri, dan harapan — hal-hal yang diperlukan untuk pemulihan psikologis dan penyembuhan masyarakat.
Kita harus memberi anak-anak yang kehilangan dua tahun masa belajar kesempatan untuk menulis, belajar, dan bermimpi kembali. II Al Jazeera

Komentar