Dunia Islam
Beranda » Cerita Teknologi Militer Iran Di Tengah Embargo

Cerita Teknologi Militer Iran Di Tengah Embargo

Waktu ke Iran kali kedua di bulan Mei lalu (buat yang telat nyimak, saya ke Iran yang pertama buat piknik sama teman-teman, sedangkan yang kedua karena undangan ke Tehran International Bookfair), saya diajak oleh panitia ke beberapa museum.
Salah satu museum yang sangat menarik berisi gambaran bagaimana Iran mengembangkan teknologi tempur mereka di tengah impitan 45 tahun embargo. Nah, di foto ini, saya berdiri di depan drone spy Amerika yang dijatuhkan Iran, yang lalu dibongkar dan “dicontek”.
Saya ceritakan dengan bahasa awam ala saya sendiri.
Jadi begini. Ada dua cara membangun teknologi. Pertama: penelitian panjang, riset mahal, coba-coba, gagal-ulang, sampai akhirnya lahir inovasi baru. Kedua: “mencuri”. Atau kalau mau pakai istilah yang lebih netral: reverse engineering—membongkar milik orang lain, menirunya, memperbaikinya, dan mengembangkannya dalam versi baru.
Iran, negara yang sepanjang hidupnya dikepung embargo, terlatih dalam cara kedua.
Salah satu kisah paling ikonik dalam dunia reverse engineering terjadi pada tahun 2011. Waktu itu, Amerika mengoperasikan sebuah drone siluman bernama RQ-170 Sentinel. Ini bukan drone sembarangan. Bentuknya mirip pesawat luar angkasa dalam film-film fiksi ilmiah. Warna abu-abu gelap, nyaris tak terlihat oleh radar. Fungsi utamanya: mata-mata. CIA mengandalkannya untuk mengintip program nuklir Iran, dari atas langit.
Tapi, pada Desember 2011, drone siluman kebanggaan Amerika itu tiba-tiba mendarat mulus di sebuah lapangan di Iran. Lewat perang siber, Iran berhasil membajak sistem kendali drone itu. Awalnya, Amerika tentu menyangkal, tapi segera disusul dengan pernyataan Obama yang meratap minta mainannya dikembalikan (saya kepcer berita-berita resminya–bisa di-search juga).
Yang pasti, drone itu sudah utuh di tangan Iran. Bukan pecahan, bukan puing. Drone itu seperti menyerahkan diri. Orang-orang Iran menyebutnya “trofi dari langit.”
Lalu, apa yang dilakukan Iran setelah itu? Mereka membongkarnya pelan-pelan, seperti tukang bengkel membuka mesin motor. Setiap baut dicatat. Setiap kabel difoto. Setiap chip diteliti. Kemudian mereka coba bikin sendiri. Sering dengan bahan yang sangat seadanya–drone uji coba yang pertama banget itu diterbangkan pake jerohan mesin pemotong rumput yang sangat berisik.
Beberapa tahun kemudian, dunia melihat sesuatu yang wow: Iran memamerkan drone baru bernama Shahed 171 Simorgh. Bentuknya mirip RQ-170, seolah-olah kembar. Kalau diperhatikan lebih dekat, RQ-170 masih jauh di atasnya. Tapi Iran tak butuh pesawat sempurna; yang penting bisa diterbangkan, bisa mengintip, dan bisa membawa bom.
Di kemudian hari, keluarga Shahed ini berkembang menjadi berbagai varian. Salah satu yang terkenal belakangan ini adalah Shahed 136—yang disebut “Drone Kamikaze”.
Kita menyaksikan, dari drone Amerika yang jatuh, lahir anak-cucu yang terbang ribuan kilometer untuk tujuan-tujuan baru (bahkan berlawanan dengan niat kakek buyut mereka).
***
Drone bukan satu-satunya karya Iran dalam dunia reverse engineering. Ada satu cerita lain yang lebih tua, lebih dekat ke nadi peperangan: rudal Shahab-3.
Ini dari rudal Nodong milik Korea Utara. Nodong sendiri keturunan dari rudal Scud-B, warisan Perang Dingin buatan Uni Soviet.
Tapi Iran tidak sekadar meniru. Mereka memperbaiki, memperjauh jangkauan, memperbesar daya ledak. Jadilah Shahab-3, rudal balistik jarak menengah dengan jangkauan sekitar 2.000 kilometer. Dengan rudal itu, Iran bisa menjangkau Isrongel, Arab Saudi, dan pangkalan-pangkalan Amerika di TimTeng.
Ada ledakan rasa percaya diri yang lahir dari Shahab-3. Bagi Iran, dunia boleh mengepung, Amerika dan Isrongel boleh mengancam, tapi Iran sekarang punya tombak panjang yang siap dilemparkan kapan saja.
Inilah yang membedakan Iran dengan banyak negara lain. Di banyak tempat, embargo melahirkan kesengsaraan saja. Di Iran, embargo di satu sisi tentu memunculkan omelan sebagian mangsarakat Iran sendiri, tapi di sisi lain justru melahirkan kreativitas tanpa henti.
Mereka paham bahwa dalam dunia yang keras, barangsiapa ditutup aksesnya atas banyak hal (akses pengetahuan, akses material, akses berbagai sunber daya), ya pengetahuan dan teknologi harus dibangun sendiri. Salah satunya dengan “mencuri”.
Membongkar drone musuh, membangun rudal dari bekas rudal orang lain, lalu akhirnya tersenyum sambil berkata, “Nih, kami juga bisa”.
***
Iqbal Aji Daryono. Penulis (Sumber Di sini )

Berita Terkait

Berita Terbaru

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *