Abdul Ghofur, seorang kawan yang menjadi pegiat filantropi Islam pernah menulis buku bagus berjudul “Tiga Kunci Fundraising: Sukses Membangun Lembaga Nirlaba”. Buku yang ringan saja untuk dibaca. Tapi padat dengan pengalaman. Sebuah buku yang merefleksikan kepedulian dan kecintaan penulis terhandap filantropi Islam dan pemberdayaan masyarakat miskin. Saya, yang saat ini juga terlibat dalam gerakan edukasi filantropi Islam, terutama wakaf, tertarik untuk menyelami lebih dalam bagaimana prinsip, konsep dan strategi di dalamnya bisa diimplementasikan.
Dalam pengertian yang gampang seperti yang dituturkan penulis, fundraising diterjemahkan sebagai pengumpulan uang. Mengapa pengumpulan uang perlu? Tentunya tak dapat dimungkiri bahwa masuknya sejumlah uang akan menopang operasional Lembaga. Keberlangsungan program sangat bergantung kepada kemampuan lembaga itu dalam mengumpulkan donasi untuk mendanainya. Kebutuhan akan tim fundraiser yang andal pada akhirnya menjadi krusial (hal 82).
Dijelaskan lebih lanjut bagaimana fundraising seringkali bukan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan calon konsumen sehingga dibutuhkan energi yang lebih besar untuk persuasif kepada calon konsumen atau donatur. Sementara, fundraising sendiri merupakan teknik menyampaikan gagasan dari produk yang ditawarkan, yang lazim disebut program. Ketertarikan calon konsumen atau donatur dalam mendanai program yang ditawarkan oleh fundraiser seringkali bukan karena mereka butuh. Namun, hal itu karena mereka memahami value yang ditawarkan oleh sebuah program.
Sampai sini, tentu kita paham betul. Pekerjaan fundraising bukan perkara mudah. Begitu juga, mengajak generasi muda untuk terlibat menjadi fundraiser juga sebuah usaha tak mudah pula. Semuanya, karena memang masih rendahnya pemahaman tentang profesi atau pekerjaan tersebut. Satu pengalaman yang muncul, faktanya, banyak fundraiser berhasil melakukan tugasnya bukan karena mereka memiliki pemahaman awal yang memadai, namun adanya keinginan untuk tumbuh dan belajar.
Di dalam Lembaga wakaf, baik sebagai lembaga edukasi wakaf maupun sebagai nazhir (pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya), menghimpun dana adalah merupakan tujuan fundraising yang paling mendasar. Dana dimaksudkan adalah dana wakaf maupun dana operasi pengelolaan wakaf. Termasuk dalam pengertian dana adalah barang atau jasa yang memiliki nilai material.
Tanpa aktivitas fundraising, kegiatan lembaga pengelola wakaf akan kurang efektif. Bahkan lebih jauh dapat dikatakan bahwa aktifitas fundraising yang tidak menghasilkan dana sama sekali adalah fundraising yang gagal meskipun memiliki bentuk keberhasilan lainnya. Karena pada akhirnya apabila fundraising tidak menghasilkan dana maka tidak ada sumber daya, maka lembaga akan menghilangkan kemampuan untuk terus menjaga kelangsungan programnya, sehingga pada akhirnya lembaga akan melemah.
Di sisi lain, tujuan fundraising lembaga wakaf adalah menambah calon wakif, menambah populasi wakif. Nazhir yang melakukan fundraising harus terus menambah jumlah donatur/ wakifnya. Untuk dapat menambah jumlah donasi, maka ada dua cara yang dapat ditempuh, yaitu menambah donasi dari setiap wakif atau menambah jumlah wakif baru. Diantara kedua pilihan tersebut, maka menambah wakif adalah cara yang relatif lebih mudah dari pada menaikan jumlah donasi dari setiap wakif. Dengan alasan ini maka, mau tidak mau fundraising dari waktu ke waktu juga harus berorientasi dan berkonsentrasi penuh untuk terus manambah jumlah wakif.
Agak berbeda dengan lembaga sosial kemanusian murni, lembaga zakat dan Lembaga wakaf (Nazhir) terkait dengan dari mana biaya operasional lembaga di dapatkan. Kedua hal di awal, mereka biasa mengambil sebagian dana donatur untuk operasional lembaga. Sementara, pada Lembaga wakaf, nazhir tidak bisa menggunakan dana wakaf untuk operasional lembaga. Lantas, bagaimana organisasi atau lembaga khusus wakaf (nazhir) bisa dijalankan?
Ustaz Oni Syaroni, Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia dalam sebuah kesempatan menjelaskan dengan lumayan gamblang. Ilustrasinya, berangkat dari sebuah kasus berikut. Misalnya:
Jika si A menerima wakaf tunai Rp 100 juta untuk pembebasan lahan dan membangun ruang kelas untuk dhuafa, apakah boleh mengambil sebagiannya untuk biaya operasional pembebasan lahan dan biaya pembangunan? Jika dibolehkan, berapa persen? Jika tidak dibolehkan, bagaimana solusinya menurut Syariah. Dari kasus ini, penjelasannya sebagai berikut:
Biaya operasional wakaf dapat diambil atau dialokasikan dari hasil pengembangan aset/dana wakaf, dana infak/sedekah/hibah, atau dari infak pewakaf untuk biaya operasional aset yang diwakafkannya. Dengan ketentuan besaran biaya merujuk pada kelaziman dan tidak melebihi 10 persen sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kesimpulan ini bisa dijelaskan dalam poin-poin berikut.
Pertama, biaya operasional aset wakaf itu dapat dialokasikan dari pos dana-dana sosial berikut. (1) Hasil pengembangan dana wakaf. Misalnya, pada 1 Januari 2023 lembaga wakaf menerima wakaf tunai Rp 100 juta dari si A. Selanjutnya, lembaga wakaf menempatkan dana tersebut di deposito bank syariah. Setelah tiga bulan, memberikan imbal hasil Rp 10 juta. Maka, yang berhak digunakan sebagai biaya operasional adalah Rp 10 juta (hasil pengembangan dana wakaf).
(2) Dari infak, sedekah, dan hibah yang tidak terikat. Misalnya, lembaga wakaf yang menerima wakaf tunai Rp 100 juta juga memiliki dana infak tidak terikat senilai Rp 10 juta. Maka, dana Rp 10 juta tersebut boleh dialokasikan sebagai biaya operasional. Sehingga, wakaf yang Rp 100 juta tersebut itu bisa menghasilkan manfaat.
(3) Dari dana infak pewakaf aset tersebut. Misalnya, si A berwakaf Rp 10 juta kepada lembaga wakaf dan ia setuju lima persennya sebagai biaya operasional wakaf. Maka, lembaga wakaf boleh menyisihkan Rp 500 ribu sebagai biaya operasional wakaf.
Hal ini didasarkan pada ketentuan berikut. (a) Dana wakaf tidak boleh digunakan sebagai biaya operasional, baik terkait dengan biaya pengelolaan aset wakaf atau gaji karyawan pengelola wakaf. Sebagaimana hadis Rasulullah SAW, “…tahan pokoknya dan salurkan hasilnya.” (HR an-Nasa’i). Ungkapan ‘tahan pokoknya’ berarti pokok wakaf itu tidak boleh diberikan kepada penerima (mustahik).
Misalnya, lembaga wakaf A yang sedang menghimpun dana wakaf itu telah menerima wakaf tunai Rp 10 juta, maka tidak boleh ada bagian dari Rp 10 juta tersebut digunakan sebagai biaya pembangunan gedung wakaf ataupun gaji tukang bangunan tersebut.
(b) Selama biaya operasional itu dibutuhkan agar aset wakaf bisa dimanfaatkan atau menghasilkan manfaat, maka boleh menggunakan dana infak/sedekah tak terikat dengan kadar yang lazim.
(c) Lembaga wakaf -di masa awal pendiriannya- yang menerima wakaf barang itu membutuhkan biaya operasional. Di sisi lain, syariah telah mengatur bahwa aset wakaf tidak boleh digunakan sebagai biaya operasional. Dengan solusi tersebut dapat memberikan maslahat atau solusi agar aset-aset wakaf itu bisa segera dimanfaatkan mustahik.
(d) Sebagaimana regulasi, “Dalam melaksanakan tugas, nazir dapat menerima imbalan dari hasil bersih pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10 persen.” (UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf). Sebagaimana peraturan BWI, “Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, nazir dapat meminta biaya administrasi dan/atau biaya operasional kepada wakif dengan tidak mengurangi wakaf.” (Peraturan BWI Nomor 1 Tahun 2020).
(e) al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah melansir, “Para ahli fikih telah sepakat bahwa nazir berhak atas upah dan biaya operasional sebagaimana wakaf Umar di Khaibar. Bahwa pengelola wakaf boleh mengambil bagiannya untuk dikonsumsi atau disedekahkan dalam jumlah yang lazim. Menurut ahli fikih, besaran upah pengelola itu didasarkan pada ketetapan pewakaf atau otoritas.” (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, 44/210). Sebagaimana dijelaskan Lembaga Wakaf Kuwait, “Pengelola wakaf boleh diberikan persentase tertentu dari hasil pengembangan wakaf setiap bulan atau setiap tahun sebagai kompensasi atas jasa mengelola wakaf.” Begitulah kira-kira bagaimana lembaga wakaf bisa dijalankan.
(Yons Achmad. Kolumnis, tinggal di Depok.)

Komentar