Dunia Islam
Beranda » Ibadah Haji: Antara Menjadi Tamu Allah dan Tamu Kerajaan Saudi Arabia

Ibadah Haji: Antara Menjadi Tamu Allah dan Tamu Kerajaan Saudi Arabia

Tulisan berikut ini tak hendak menyudutkan siapa pun. Sebuah upaya untuk memberikan masukan berdasarkan laporan pandang mata, jejak rasa, dan resonansi hati tentang pengalaman dan apa yang dialami oleh sebagian Jemaah Haji Indonesia tahun 2025.

“Antara Menjadi Tamu Allah dan Tamu Kerajaan Saudi Arabia” akan mengulas dan mengajak rekan-rekan beropini dan memberi kesan pada satu peristiwa dan kejadian serta pengalaman yang dirasakan oleh jemaah haji dalam 2 point of view, POV yang berbeda.

Berangkat ke tanah suci untuk menjalankan serangkaian ritual ibadah haji dan umrah bagi seorang muslim adalah sebuah nikmat, anugerah, dan keutamaan yang Allah berikan atas sebuah syariat yang mulia, menjadi penggenap 5 rukun Islam yang utuh, paripurna sebagai seorang muslim dalam rangkaian proses panjang yang mungkin dimulai sejak puluhan tahun silam, sejak niat terpancang, dan ketika uang tabungan haji mulai disetor.

Di dalamnya jutaan hikmah, pelajaran, dan tarbiyah yang begitu tinggi nilainya. Mengajarkan banyak hal yang menghadirkan (( value yang melampaui isi dunia )) dibanding tentang sekedar soal puluhan ataupun ratusan juta rupiah– yg sejatinya juga datang dari Allah– dengan makna dan pengalamannya begitu berharga tentu tak sebanding dengan hanya sekedar suka-duka diantara fasilitas dan kondisi pemondokan, cita rasa makanan, transportasi yang tak sesuai dgn janji, cuaca-iklim ekstrim nan menantang kondisi fisik, layanan, dukungan dan bantuan pemerintah dalam pengelolaannya yang selalu menuai kritik.

Karena atas apa yang dialami dalam 25 atau 40 hari selama menunaikan rangkaian ibadah haji dan umrah, Allah tiada janjikan apa pun selain ampunan dan surga bagi yang dapat meraih predikat mabrur. Maka koreksi dan masukan bagi entitas dan otoritas penyelenggara urusan haji ini tentu bukan dalam rangka menyangga atas rasa syukur kita atas karunia-Nya yang telah diberikan-Nya kepada kita, juga bukan hendak menghilangkan sabar yang tak pernah ingin kita hilangkan dalam setiap berat dan lelah.

Tulisan ini adalah upaya dan usaha kita menjadi bagian dari tegaknya hak dan kewajiban antara user dengan provider, antara ummat dengan ummara, antara tamu dan pelayan dua tanah suci. Ini tentang dunia Islam bagaimana otoritas pengelola hajat muslim sedunia dapat ditunaikan secara fair dan memberikan maslahat bukan saja di dunia tetapi juga long term hingga ke akhirat.

Maka kita tidak sedang menukar akhirat kita dengan sekedar pada hal remeh-temeh fasilitas dunia, namun ini adalah wujud cinta kita agar pemerintah RI, bersama badan pengelenggara urusan haji di kedua belah pihak, termasuk otoritas pemerintah Kerajaan Saudi Arabia dan provider entitas swasta yang terlibat dapat terus berkenan melakukan transformasi dan perbaikan yang terus menerus, terbuka pada setiap cela, kritik dan saran hingga tak pernah luntur komitmen menghadirkan jaminan pelayanan bagi keselamatan dan kenyamanan tamu Allah di tanah suci.

Kita ingin bagaimana kelak saudara-saudara kita, anak dan keturunan kita, dapat kian mudah dan nyaman memenuhi syariat dan panggilan-Nya ke tanah suci ini.

Dengan pengelolaan yang baik dan benar secara syariat sejak mulai dari penyetoran dana haji, pembekalan jemaah, pelaksanaan hingga selesainya penunaian layanan, kita berharap ibadah haji ini akan memberikan dampak kesholehan bukan saja secara personal, pribadi, sosial tetapi bahkan hingga di level dunia.

Baiklah, kita akan mulai dari aspek pribadi dan personal, berhaji menghadirkan banyak aspek tarbiyah yang luar biasa, baik aspek tarbiyah ruhiyah dan jasadiyah:

1. Sabar dan syukur dan setiap keadaan
2. Tidak ada sehelai daun pun yang jatuh tanpa izin dan kehendak-Nya
3. Selalu husnudzon kepada Allah, Dia yang Maha Baik memiliki skenario terbaik dan terindah bagi hamba-Nya
4. Perbedaan pendapat dan ijtihad dalam ibadah membuka cakrawala bahwa syariat Islam itu penuh rahmat
5. Berbangsa-bangsa kita penuh keragaman adalah untuk saling mengenal, menghargai, menghormati dan berkolaborasi sebagai bagian dari ummat yang satu.
6. Menjadi tonggak untuk terus menjadi pribadi yang baik, menghadirkan manfaat
7. Memperlebar spektrum dan ekspektasi kita pada standar kenyaman hidup menjadi lebih substansial dan sederhana

Maka kita patut berterimakasih sebesar-besar kepada pemerintah atas upaya sungguh-sungguhnya sehingga sampai saat ini:

1. Indonesia adalah negara muslim dengan kuota haji terbanyak/terbesar
2. Supporting system penyelenggaraan dan pelayanan haji Indonesia dinilai cukup serius, rapih, dan terintegrasi lintas kementerian. Bukti keseriusan negara untuk hadir menegakkan syariah Islam bagi pemeluknya.
3. Pemerintah hadir dari sejak proses pendaftaran, persiapan, keberangkatan hingga pendampingan dan kepulangan.

Selanjutnya kita pun patut apresiasi yg setinggi-tingginya atas keseriusan pemerintah KSA dengan Saudi Vision 2030 untuk terus meningkatkan pelayanan di dua tanah suci.

1. Perluasan eksponensial terhadap kapasitas Masjidil Haram dengan luas yang fenomenal, gelaran teknologi mutakhir, dan arsitektur megah nan modern
2. Dukungan fasilitas umum yang terus meningkat: hotel, pemukiman, kawasan bisnis, transportasi dan kesehatan yang lengkap
3. Jaminan pelaksanaan syariah haji/umrah yang memenuhi kaidah kesempurnaan ibadah

Belajar dari Pengalaman

Masalah yang banyak dirasakan tahun ini seperti misalkan terpisahkan jemaah haji dengan mahram/pendampingnya baik perbedaan hotel, sektor, daker, rombongan bis hingga provider/syarikah pelaksana layanan haji di KSA ditengarai karena manifest jemaah haji kita yang panjang prosesnya sementara pemeritah KSA tdk bisa negosiasi terhadap perubahan. Mereka hanya mengacu pada manifest terakhir yang masuk dalam time frame batas akhir untuk pengurusan visa.

Sedangkan di tanah air, kita memiliki proses pemutakhiran yang membuka ruang perubahan sejak dari pengurusan istithoah (kesehatan), pelunasan, pembagian kloter dan lain sebagainya. -cmiiw — Sementara di level G to G, pelibatan dan pelaksanaan di lapangan dengan penunjukan melalui syarikah baru dilaksanakan di tahun ini tanpa disertai kesiapan di kedua belah terutama di pihak pemerintah Indonesia. Terbukti dan terlihat di lapangan bagaimana petugas kloter, daker dan lain sebagainya banyak mengalami kebingungan.

Keterlibatan 8 syarikah (private sector) dalam pelaksanaan pelayanan haji tahun ini memang baru pertama kali, tentu masih jauh dari kata sempurna. Tapi disinilah ujung pangkal banyak persoalan teknis yang menjadi kendala dan problem bagi jemaah haji. Mulai soal tertundanya penerbitan kartu nusuk, terpisahnya pasangan/pendamping jemaah haji, tercecernya koper dan tas jemaah sampai persoalan transportasi dan kapasitas di tenda (terutama di Mina) yang banyak dikeluhkan oleh jemaah.

Di satu sisi pelibatan syarikah yang diharapkan dapat mewujudkan peningkatan kualitas pelayanan jemaah haji Indonesia secara profesional, di lapangan justru yang dirasakan jemaah –> syarikah terlalu kaku pada service level agreement (SLA) yang ada tanpa memperhatikan kepentingan dan kenyamanan jemaah. Tidak ada sama sekali prinsip “customer centric” yang berorientasi kepada jemaah. Kaku tanpa kompromi, ketat tanpa toleransi yang win-win solutions. Padahal situasi di lapangan begitu dinamis.

Di balik komitmen tinggi syarikah dalam menghadirkan layanan sesuai kontrak, ternyata sayang teramat disayangkan bahkan untuk kebutuhan dan layanan standar saja banyak problem di sana-sini. Yang paling heboh tentu transportasi Mekkah-Arofah, Arofah-Muzdalifah, dan Muzdalifah menuju ke Mina. Banyak jamaah haji yang akhirnya berjalan kaki dengan bawaan logistik pribadi yang tidak sedikit.

Di Mina misalkan ternyata kemarin ada lokasi yang melimpah kasur dan ruang tendanya, sementara ada tempat lain yang kekurangan. Padahal syarikah di awal telah menyatakan jaminan bahwa fasilitas tenda sesuai jumlah manifest. Maka jika ada kondisi dimana ada ketimpangan jumlah fasilitas yang tidak sesuai harapan maka perlu dievaluasi tata kelola dan teknis distribusinya.

Jika kita melihat pada tahap persiapan sebelumnya keberangkatan terutama jemaah haji mandiri akan mengalami proses dan tahapan yang cukup padat runutannya. Sekiranya manasik dan pembekalan bisa dibuat secara lebih panjang timeframe-nya dan tidak perlu melalui pertemuan-pertemuan kolosal yang terikat tempat dan waktu, misalkan dengan sistem online, lalu materi tidak hanya soal fiqh dan ritual ibadah semata tetapi soal bagaimana menggunakan fasilitas publik, latihan percakapan dasar bahasa Arab, latihan fisik, akhlak dan adab.

Berikut ini beberapa poin yang terbuka untuk dilakukan evaluasi dan perbaikan:

1. Terkait masalah panjangnya antrian dan tentang akad transaksi antar calon jemaah haji dengan pemerintah sebagai pengelola dana haji. Antrian panjang dengan membuka ruang ketidakpastian berangkat (ada kondisi ghoror) menjadi kajian tersendiri yang harus didudukkan di tengah-tengah dalam kacamata tinjauan syariah maupun teknis.

2. Transparansi penggunaan dana tabungan haji jemaah yang masuk dalam tabel antrian harus jelas, untuk apa, kemana, dan bagaimana pengelolaannya. Ketika ada nilai bagi hasilnya, jemaah harus mengetahuinya.

3. Melihat banyak sekali ketidaksiapan jemaah dalam menjalani ibadah secara mandiri termasuk juga tantangan fisik serta kemampuan beradaptasi dan memanfaatkan fasilitas publik di tanah haram, maka perlu dipikirkan untuk dibuat sebuah program pembekalan yang lebih lengkap dan terintegrasi dalam sebuah digital platform/mobile apps. Materi-materi bukan saja soal fiqh (how to ibadah) namun juga soal adab, akhlak, bagaimana menggunakan fasilitas publik yang tersedia di Mekkah-Madinah, latihan percakapan dasar bahasa Arab, latihan dasar untuk menguatkan kaki dan latihan-latihan fisik yang terukur, terencana dan dimonitor bersama progress pembekalan dan pembelajarannya. Di platform digital ini juga ada fitur “ask me”, FAQ, atau forum tanya jawab yang dikelola oleh tim yang terverifikasi keilmuan dan pengalamannya dalam menjalankan ibadah haji/umrah.

4. Platform digital yang disiapkan ini juga diharapkan dapat terintegrasi untuk memudahkan interaksi antar jemaah dengan PPHI. Ada fungsi kontrol, update informasi hingga layanan terpadu lainnya. Tentu bukan sekedar aplikasi yang bisa dimanfaatkan oleh satu pihak saja, namun sebuah super Apps yang mampu menjadi solusi 360° dgn UI/UX yg andal. Ada fitur learning, information, dan juga call center/layanan umum. Semua dokumen-dokumen jemaah juga terdigitalisasi di apps ini.

Di sisi pelayanan selama di tanah suci, mobile apps ini juga menjadi platform digital yang dilengkapi juga fitur emergency call atau panic button yang jika ditekan fiturnya aplikasi akan memberikan alert system kepada petugas Daker untuk responsif dan memberikan pertolongan, pendampingan dan advokasi atas problem dan masalah yang dihadapi jemaah. Panic button ini juga dapat di broadcast ke petugas lain yangvoaling dekat dengan lokasi dan pihak-pihak yang terkait dengan jemaah mulai ketua regu, rombongan hingga ketua kloter. Sehingga semua pemangku kebijakan akan secara otomatis terupdate atas kondisi emergency – pada fitur ini ada semacam dashboard yang bisa dipantau oleh tim daker posisi jemaah berada (share loc automatic).

Aplikasi ini juga dibangun untuk memecahkan problem penumpukan bis maupun jemaah di bus station maupun di shelter shuttle bus di sektor-sektor. Ada sistem ticketing online yang bisa secara real time melihat request tertinggi ke tujuan mana dan dari mana. Dengan sistem informasi dan algoritma yang baik dashboard ini akan membantu petugas dalam mengalokasikan jumlah bis dan awaknya serta supporting system lainnya di aspek transportasi shuttle bus yang disediakan dari dan ke Masjidil Haram. digitalisasi bukan hanya dalam kaitan pendataan siskohaj sebelum keberangkatan namun digitalisasi di sini juga disediakan untuk membantu dalam kaitannya pengelolaan dan pelayanan jemaah.

KSA sudah menerapkan sebuah aplikasi NUSUK yang ke depannya akan kian terintegrasi. Maka dalam hal ini tentu ini menjadi pintu kolaborasi dan integrasi layanan digital yang terpadu dan berbasis pelanggan/user/jemaah haji — -sehingga diharapkan layanan bisa semakin bagus dan bisa lintas daker dan sektor. Semua all in one.

5. Bicara soal Saudi Vision 2030 ini memang jadi ambisi KSA untuk menjadikan tanah suci sebagai pusat spiritual global yang dikelola secara modern dan efisien dengan tetap menjaga kesakralannya sebagai tempat ibadah umat Islam sedunia hendaknya harus melibatkan seluruh negara-negara dengan penduduk muslim dominan agar memastikan bahwa Mekkah dan Madinah bukan hak milik eksklusif KSA. Dua kota suci itu amanah syariah yang tak bisa dipisahkan dengan agama, melampaui otoritas kepentingan politik dan ekonomi satu negara saja.

Penerapan sistem syarikah dalam pelaksanaan haji 2025 di Indonesia merupakan langkah transformasi besar yang bertujuan meningkatkan kualitas pelayanan jemaah.

Dan kami menilai, keberhasilan sistem ini sangat bergantung pada koordinasi yang efektif antara Kementerian Agama, PPIH, otoritas Arab Saudi, dan syarikah, serta evaluasi berkelanjutan untuk memastikan bahwa hak-hak dan kenyamanan jemaah tetap terjaga.

Di level pengelolaan dan pemberian layanan serta fasilitas bagi jemaah haji, syarikah harusnya dapat lebih customer centric. Libatkan tim yang memahami bahasa, karakter dan juga kebiasaan jemaah Indonesia. Ini tentu untuk memudahkan fungsi layanan dan menyelesaikan ragam problem serta masalah yang dihadapi jemah secara kasuistik.

Pembagian dan pendistribusian fasilitas seperti tenda, kasur dan lain sebagainya perlu dibuat adanya penomoran atau QR code yang spesifik untuk tiap-tiap jemaah agar terhindari dari kondisi rebutan kapling, saling klaim, dan berujung tidak termanfaatkan dengan optimal fasilitas yang ada.

Pihak syarikah juga perlu meningkatkan jumlah housekeeping team di tenda Mina agar kebersihan dan kenyamanan jemaah dapat terpenuhi.

Customer centric juga hendaknya bukan semata soal ketersediaan layanan, namun juga kebutuhan dukungan dan bantuan dalam kaitannya opsi pelaksanaan rangkaian ibadah haji itu sendiri. Misalkan jangan sampai ada perbedaan layanan dimana ada syarikah yang bisa memfasilitas jemaah melakukan tarwiyah sementara ada syarikah lain yang sama sekali tidak menyediakan solusi atas opsi dan preferensi jemaah.

Demikian semoga poin-poin di atas bisa menjadi perhatian bersama demi peningkatan kualitas penyelenggaraan layanan haji di negeri tercinta.

Pada akhirnya kita semua tentu berharap atas semua pengalaman yang tak terlupakan dan sangat monumental ini, jemaah haji Indonesia 2025 pulang kembali ke tanah air sebagai sosok dengan versi terbaiknya.

Penulis: Abu Ziyad
Social Observer, Sketchnoter (JKG14)

Berita Terkait

Berita Terbaru

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *