Nasional
Beranda » Ijazah Presiden Jokowi: Antara Fitnah dan Kewajiban Transparansi Publik dalam Pandangan Islam

Ijazah Presiden Jokowi: Antara Fitnah dan Kewajiban Transparansi Publik dalam Pandangan Islam

Isu mengenai keaslian ijazah Presiden ketujuh Joko Widodo kembali mengemuka ke ruang publik. Bagi sebagian pihak, ini dianggap hanya fitnah dan hoaks. Namun, bagi sebagian lainnya, ini adalah persoalan serius yang menyangkut integritas pemimpin, legalitas kekuasaan, dan hak rakyat untuk tahu. Dalam perspektif Islam, hal ini tak bisa dipandang sebagai perkara pribadi semata. Sebab, ketika seseorang pernah menjabat sebagai pemimpin negara, maka ia tidak lagi sekadar individu biasa, melainkan figur publik yang menyandang amanah besar. Pertanggungjawabannya tidak hanya kepada manusia, tetapi juga kepada Allah

Pemimpin Adalah Amanah, Bukan privilege

Al-Qur’an menegaskan:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…”(QS. An-Nisa’: 58)

Ayat ini secara jelas menyatakan bahwa jabatan adalah amanah.
Maka setiap proses yang mengantarkan seseorang pada jabatan tersebut, seperti persyaratan administratif (termasuk ijazah), haruslah sah, jujur, dan dapat diverifikasi.

Jika muncul keraguan atau pertanyaan dari rakyat, maka itu adalah hak rakyat untuk mendapatkan klarifikasi, bukan sekadar disuruh diam atau dibungkam dengan label “fitnah”.

Etika Tabayyun sebagai Klarifikasi Sebelum Menghakimi

Islam sangat tegas dalam menuntun umatnya untuk bersikap adil terhadap kabar yang beredar.
Allah SWT berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu seorang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti (tabayyun)…”(QS. Al-Hujurat: 6)

Ayat ini mengajarkan pentingnya verifikasi dan tabayyun, bukan asal menyalahkan atau melabeli pihak yang bertanya.

Dalam konteks ijazah presiden Jokowi, jika benar bahwa ijazah tersebut asli dan sah, maka bisa menjelaskan secara terbuka dalam forum akademik, menghadirkan bukti, dan mempersilakan publik menilai.
Sikap ini jauh lebih islami daripada sekadar membalas dengan ancaman hukum atau pelabelan negatif.

Rakyat Punya Hak untuk Tahu

Kekuasaan bukanlah ruang eksklusif yang kebal dari pertanyaan publik.

Dalam Islam, rakyat memiliki hak untuk mengetahui dan mengkritisi kebijakan serta kelayakan pemimpinnya.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”

(HR. Bukhari dan Muslim)

Pertanyaan tentang legalitas ijazah bukan sekadar urusan dokumen.
Ia berkaitan langsung dengan keabsahan pemimpin dalam memegang jabatan yang sangat strategis.
Oleh karena itu, jawaban yang diberikan pun harus sepadan yaitu ilmiah, transparan, dan dapat diuji oleh publik.

Belajar dari Umar bin Khattab

Khalifah Umar bin Khattab pernah dikritik di hadapan publik karena mengenakan pakaian dari kain rampasan perang yang tampaknya melebihi jatah.

Apa yang beliau lakukan? Umar tidak marah.

Ia tidak menyebut rakyatnya penyebar hoaks. Ia justru berdiri dan menjelaskan bahwa kain tambahan itu berasal dari jatah anaknya. Itulah kepemimpinan Islam. Terbuka terhadap pertanyaan. Siap memberikan penjelasan. Tidak mudah tersinggung oleh rakyat.

Menjawab dengan Ilmu, Bukan Emosi

Bila presiden jokowi ingin menjaga wibawa, maka jawab kritik dengan data, bukan dengan label. Jika jokowi membalas keraguan dengan forum ilmiah yang terbuka, justru itu akan memperkuat legitimasi.

Tapi bila setiap kritik dijawab dengan pembungkaman, maka publik akan makin curiga bahwa ada yang ditutupi.
Allah SWT berfirman:

“Janganlah kalian menyembunyikan kesaksian, barang siapa yang menyembunyikannya maka sungguh hatinya berdosa.”(QS. Al-Baqarah: 283)

Demokrasi yang Islami Membutuhkan Transparansi

Diakhir paragraf ini,perlu di tekankan bahwa negara ini bukan milik satu orang atau satu golongan.
Kekuasaan yang adil memerlukan akuntabilitas, dan Islam telah jauh lebih dulu mengajarkan nilai-nilai itu.
Jika benar, jelaskan.Jika salah, akui dan perbaiki.

Tapi jangan pernah menganggap bahwa pertanyaan rakyat adalah musuh negara.
Kebenaran tidak butuh perlindungan dari label, tapi butuh pembuktian dengan ilmu dan kejujuran.

Wallahu a‘lam bissawab.

Rahmat Noval,S.T,M.T
Direktur Akademi Dakwah Indonesia Kota Depok

Berita Terkait

Berita Terbaru

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *