Tak sengaja, melintas dalam timeline saya, rekaman Nirvana membawakan lagu “The Man Who Sold the World” di MTV Unplugged 1993. Terbayang waktu itu saya baru saja menjadi mahasiswa baru. Tetiba, mantan PM UK David Cameron muncul di channel Council on Foreign Relations (CFR) dengan peringatannya, “I wish Gen Z in Britain and France and across Europe, and maybe even here, were more militant about arguing that government was mortgaging their future”… Hmm, ada apa lagi ini?
Ketika David Bowie menulis “The Man Who Sold the World” pada tahun 1970, dunia sedang berubah cepat. Revolusi sosial 1960-an yang menjanjikan kebebasan, kesetaraan, dan cinta universal mulai redup; digantikan oleh kekecewaan, perang, dan industri hiburan yang menelan makna. Lagu ini lahir sebagai renungan pribadi Bowie, tetapi seiring waktu, ia menjadi cermin eksistensial bagi setiap generasi yang merasa kehilangan arah di tengah perubahan besar.
Dua dekade kemudian, Nirvana membawakan lagu tersebut dalam MTV Unplugged (1993) dan terkenal. Konteks dan maknanya kemudian bergeser dan bereinkarnasi, dari renungan eksistensial pribadi (versi Bowie) menjadi jeritan generasi baru yang kecewa pada dunia lama. Lagu tersebut terdengar lebih getir, lebih personal, dan lebih politis — seakan dunia yang dijual itu bukan lagi metafor batin, melainkan kenyataan sosial yang dialami generasi baru.
Kurt Cobain, seperti Bowie dua dekade sebelumnya, berhadapan dengan “the man”; tetapi dalam bentuk yang lebih konkret; industri musik yang eksploitatif, budaya konsumsi yang memanfaatkan penderitaan artis, dan dunia dewasa yang menjanjikan kebebasan tetapi menjerat. Dengan kata lain, Cobain menyanyikan kembali Bowie bukan untuk menghormatinya, tetapi untuk memperingatkan dunia bahwa sejarah sedang berulang.
Di tangan Nirvana, lagu ini menjadi sindiran balik kepada generasi Baby Boomers; generasi yang dulu memberontak di tahun 60-an, tetapi kemudian justru menjadi bagian dari sistem yang mereka lawan.
Kini, lebih dari lima puluh tahun kemudian, lagu itu menemukan relevansi di tangan Generasi Z; generasi yang tidak menjual dunia, tetapi mewarisi dunia yang telah dijual. Dunia yang diwariskan kepada mereka penuh janji palsu kemajuan, namun diliputi krisis utang, krisis iklim, kesenjangan ekonomi, keletihan digital, dan ketidakpastian masa depan.
Jika Bowie menggambarkan alienasi spiritual, dan Cobain alienasi sosial, maka Gen Z menghadapi alienasi total, spiritual, sosial, dan digital sekaligus. Versi Nirvana dengan nada suram dan jujur memperlihatkan transisi sejarah; dari eksperimentasi Bowie ke keputus-asaan Cobain, lalu kini ke kesadaran Gen Z yang berjuang untuk “reclaim the world” — mengambil kembali kendali atas masa depan mereka. Kini gelombang sejarah itu datang kembali.
Waspadalah para Elit… Gen Z ingin mengatakan: “We never lost control”…
Haryo Setyoko

Komentar