Mauluddin mengaduh. Ia menjadi korban pemukulan oleh siswanya. Korban dipukul di ruang Bimbingan Konseling (BK) saat memanggil siswa berinisial MF (18) yang sering bolos. Bersama MF, hadir pula orangtuanya, seorang anggota polisi (Aiptu Rajamuddin). Sang ayah hanya diam berdiri, ketika anaknya menyerang gurunya.
Seorang guru di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Lamongan viral karena menggebrak meja dan membentak siswa. Kejadian itu terjadi saat siswa mempertanyakan kenapa data mereka tidak terinput di sistem PDSS (Pangkalan Data Sekolah dan Siswa) untuk SNBP (Seleksi Nasional Berbasis Prestasi). Karena video viral dan aduan masyarakat, guru tersebut kemudian dinonaktifkan dari jabatan Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum.
Seorang guru SD (inisial MN, usia 53) dikeroyok oleh orang tua siswa. Tuduhannya: pelecehan terhadap murid. Jumlah korban pelecehan menurut polisi 3 siswa. Ketua PGRI setempat menyatakan sangat menyesalkan pengeroyokan dan mendorong proses hukum berlangsung secara adil.
Banyak kejadian saat ini guru dipolisikan atau diserang orang tua murid karena melakukan kekerasan kepada murid. Seringkali murid yang menjadi penyebab kekerasan itu tidak diselidiki secara detail terlebih dahulu, tapi guru sering langsung disalahkan. Di sekolah swasta atau negeri, guru kini banyak menjadi korban akibat orang tua yang ikut campur dalam penanganan murid di sekolah.
Ketika Islam mengalami puncak kejayaan dalam sejarah, banyak teladan agung tentang bagaimana para tokoh Islam menghormati gurunya. Imam Syafi’i, misalnya, dikenal memiliki adab luar biasa kepada gurunya, Imam Malik. Ketika duduk di hadapan Imam Malik, Syafi’i muda tidak berani membalik halaman kitab dengan suara keras, takut mengganggu kekhidmatan majelis ilmu. Ketawadhuan ini kelak menjadikannya salah satu imam besar dalam fikih.
Begitu pula Imam Ahmad bin Hanbal, yang memiliki penghormatan mendalam kepada gurunya, Imam Syafi’i. Imam Ahmad pernah berkata, “Aku tidak pernah shalat kecuali aku mendoakan Imam Syafi’i.” Betapa besar rasa terima kasih yang ia tanamkan kepada orang yang memberinya cahaya ilmu. Jika tokoh seagung Ahmad saja merendahkan diri di hadapan gurunya, bagaimana mungkin generasi kini justru merasa lebih tinggi dari guru yang mendidik mereka?
Dalam dunia tasawuf, kisah teladan juga begitu kaya. Jalaluddin Rumi, penyair agung, pernah berjalan kaki menempuh perjalanan panjang hanya untuk bertemu gurunya, Syams Tabrizi. Baginya, seorang guru bukan sekadar pemberi pengetahuan, tetapi cahaya yang menuntun jiwa. Ketika Rumi kehilangan Syams, ia menggubah ribuan syair yang menjadi warisan spiritual dunia hingga hari ini.
Dalam sejarah politik Islam, sikap menghormati ulama atau guru juga terlihat dalam diri para penguasa. Khalifah Harun al-Rasyid, penguasa Dinasti Abbasiyah yang memerintah wilayah luas dari Afrika Utara hingga Persia, pernah berdiri memegangkan tinta untuk Imam Malik ketika sang imam menulis. Ketika ditanya mengapa khalifah sebesar itu mau melayani seorang ulama, Harun menjawab, “Dengan memuliakan ulama, aku memuliakan agama dan memuliakan diriku sendiri.”
Di masa kini ada tradisi menarik di luar negeri. Di Jepang, hampir semua sekolah—dari SD hingga SMA—memulai dan mengakhiri pelajaran dengan tradisi rei (membungkuk) kepada guru. Murid berdiri, dipandu ketua kelas, lalu membungkuk sambil berkata: “Onegaishimasu” (mohon bimbingannya) dan “Arigatou gozaimasu” (terima kasih).
Di Korea Selatan, setiap 15 Mei, murid-murid memberikan bunga carnation, surat tangan, atau hadiah kecil kepada guru. Tradisi ini masih sangat kuat hingga kini, dan merupakan bentuk penghormatan resmi secara nasional. Sekolah-sekolah juga mengadakan acara khusus untuk memuliakan guru.
Di tanah air, seperti di Pesantren Gontor, Lirboyo, Tebuireng, dan Sidogiri, santri tidak berani berjalan di depan gurunya kecuali sangat mendesak. Santri berdiri ketika guru atau kiai masuk kelas. Ada juga tradisi tabarrukan: mencium tangan ustaz atau kiai sebagai bentuk penghormatan dan meminta keberkahan ilmu.
Beberapa waktu lalu, di SMK Negeri di Padang, siswa-siswa bergotong royong membantu membangun ulang rumah gurunya yang ambruk akibat cuaca ekstrem. Program ini digagas OSIS dan didukung sekolah.
Di Tulungagung, siswa SMP mengantar jenazah gurunya sambil menangis dan membawa foto almarhum. Di Jember, ratusan siswa berdiri berbaris di depan sekolah memberi penghormatan terakhir saat ambulans jenazah melintas.
Di Bandung, ada murid SD yang setiap hari menunggu gurunya di gerbang sekolah, lalu membawakan tas sang guru. Ketika ditanya, ia menjawab polos: “Karena guru sudah seperti ibu kedua.”
Tentang memuliakan guru ini, para ulama menyatakan,
Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumiddin berkata, “Seorang murid wajib menghormati gurunya lebih daripada penghormatannya kepada kedua orang tuanya. Sebab kedua orang tua adalah sebab keberadaan dirinya di dunia, sedangkan guru adalah sebab keselamatan dirinya di akhirat.”
Imam Syafi’i dikenal dengan ungkapan,“Barang siapa tidak memuliakan guru dan tidak menjaga kehormatan ulama, maka ia tidak akan mendapatkan keberkahan ilmu.”
Imam Ahmad bin Hanbal berkata,“Aku mendoakan Imam Syafi’i dalam shalatku setiap hari selama 40 tahun.” Ia juga berkata,“Manusia lebih membutuhkan ilmu daripada makanan dan minuman, dan ilmu tidak akan diperoleh kecuali dengan adab.”
Syekh Abdul Qadir al-Jilani dalam Futuh al-Ghaib berkata,“Tidak akan memperoleh ilmu orang yang meremehkan guru atau mengangkat diri di atas gurunya.”
Nuim Hidayat, Direktur Forum Studi Sosial Politik

Komentar