Dunia Islam Kolom
Beranda » Ketika Hamas Terima Solusi Dua Negara dan Israel Menolaknya

Ketika Hamas Terima Solusi Dua Negara dan Israel Menolaknya

Hamas kini jadi sorotan dunia. Amerika dan Israel adalah dua negara yang sangat membenci Hamas. Mereka menuduh Hamas adalah teroris. Negara-negara Eropa dan Arab pun ikut-ikutan. Indonesia pun sampai saat ini tidak mengizinkan Hamas punya kantor resmi di sini. Hanya Qatar, Malaysia, Turki dan Iran yang bersikap ramah terhadap Hamas.

Mengapa Hamas ditakuti Israel dan Amerika? Hamas, singkatan dari Harakat al-Muqawamah al-Islamiyah (Gerakan Perlawanan Islam), didirikan pada 14 Desember 1987 di Gaza. Lahirnya Hamas erat kaitannya dengan meletusnya Intifada Pertama (pemberontakan rakyat Palestina) melawan pendudukan Israel.

Pendiri utama Hamas adalah Syekh Ahmad Yasin, seorang ulama karismatik yang punya hubungan erat dengan gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Sebelum menjadi organisasi politik dan militer, Hamas berawal dari jaringan dakwah, pendidikan, serta kegiatan sosial yang dibangun oleh Ikhwanul Muslimin di Gaza sejak 1970-an. Melalui masjid, sekolah, dan lembaga amal, mereka menanamkan nilai Islam sekaligus menumbuhkan kesadaran perlawanan terhadap pendudukan.

 

Momentum lahirnya Hamas datang ketika rakyat Palestina bangkit dalam Intifada 1987. Syekh Yasin bersama tokoh lain seperti Abdul Aziz al-Rantisi, Mahmud Zahar, dan sejumlah aktivis Islam mendeklarasikan berdirinya Hamas. Mereka menegaskan bahwa perjuangan membebaskan Palestina harus berlandaskan Islam, berbeda dengan kelompok nasionalis sekuler seperti Fatah yang mendominasi Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).

 

Dalam piagam pendiriannya tahun 1988, Hamas menolak keberadaan Israel dan menegaskan Palestina sebagai tanah wakaf Islam yang tidak boleh diserahkan kepada pihak lain. Hamas juga memadukan perlawanan bersenjata dengan aktivitas pendidikan dan sosial: mendirikan sekolah, klinik, hingga lembaga amal yang memberi dukungan luas di kalangan rakyat.

 

Seiring waktu, Hamas berkembang menjadi kekuatan politik utama di Palestina. Pada 2006, mereka menang dalam pemilu legislatif  yang demokratis di Palestina.  Sebuah titik balik besar yang memicu konflik internal dengan Fatah. Sejak 2007, Hamas memegang kendali pemerintahan di Jalur Gaza.

 

Setelah Hamas menang dalam pemilu legislatif Palestina 25 Januari 2006, Amerika Serikat, Israel, dan Uni Eropa segera mengambil langkah boikot. Sat itu Hamas melalui partai politiknya, meraih 74 dari 132 kursi di Dewan Legislatif Palestina, mengalahkan Fatah yang selama ini dominan. Kemenangan ini mengejutkan banyak pihak karena Hamas dianggap bukan hanya gerakan militer, tetapi juga berhasil meraih dukungan rakyat lewat layanan sosial, pendidikan, reputasi antikorupsi, dan sikap tegas terhadap Israel.

Saat itu Israel blingsatan. Ia menolak berhubungan dengan pemerintahan yang dipimpin Hamas. Amerika Serikat dan Uni Eropa juga menghentikan bantuan langsung kepada Otoritas Palestina. Mereka menuntut Hamas untuk: mengakui keberadaan Israel, meninggalkan perlawanan bersenjata dan menghormati perjanjian dan telah ditandatangani PLO sebelumnya.   Hamas menolak syarat itu karena dianggap bertentangan dengan prinsip perjuangan mereka.

 

Akibat boikot dari Israel, Amerika dan Uni Eropa ini maka Kesulitan keuangan besar melanda pemerintahan Palestina, karena sekitar setengah anggarannya bergantung pada bantuan luar negeri. Israel menahan pajak dan bea cukai yang seharusnya disalurkan ke Otoritas Palestina.

 

Tekanan internasional itu akhirnya memperdalam konflik internal antara Hamas dan Fatah, yang akhirnya meletus menjadi bentrokan bersenjata pada 2007. Pada Juni 2007, Hamas akhirnya mengambil alih Jalur Gaza setelah konflik berdarah dengan Fatah. Sejak itu, Palestina terbelah dua: Hamas menguasai Gaza, sementara Fatah memerintah di Tepi Barat.

 

Pada saat itu Hamas terus ditekan oleh Amerika dan Israel. Sehingga akhirnya terbentuk Kelompok Quartet (30 Januari 2006), yang menetapkan bahwa bantuan kepada pemerintah Palestina mendatang dengan tiga syarat : non-violence (tidak menggunakan kekerasan), recognition of Israel (mengakui negara Israel) dan acceptance of prior agreements and obligations (menghormati kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya).

 

Mengapa Hamas menggunakan kekerasan bersenjata melawan Israel? Karena Israel sendiri yang memulai.  Sejak 1948, ribuan orang Palestina dibunuh dan ratusan ribu warga Palestina terusir dari tanah mereka (Nakba). Pendudukan Israel setelah 1967 (Perang Enam Hari) memperburuk situasi: pemukiman ilegal, penyitaan tanah, blokade, dan pembatasan gerak rakyat Palestina. Hamas berargumen bahwa karena diplomasi dan perundingan tidak membuahkan hasil adil, maka “perlawanan bersenjata” adalah jalan terakhir.

 

Selain itu, dalam Piagam Pendirian Hamas (1988) tercantum bahwa bahwa “Palestina hanya bisa dibebaskan melalui jihad fi sabilillah.” Mereka menolak kompromi politik atau pengakuan terhadap Israel pada masa awal berdiri. Bagi Hamas, perlawanan bersenjata adalah kewajiban agama sekaligus nasional.

 

Syekh Ahmad Yasin (Pendiri Hamas/almarhum), menyatakan bahwa Palestina sebagai tanah wakaf Islam yang tidak boleh dikompromikan. Ia menyatakan,”Tidak ada yang bisa menghentikan jihad melawan pendudukan Israel kecuali berakhirnya pendudukan dan kembalinya hak-hak rakyat Palestina.”

 

Abdul Aziz al-Rantisi (almarhum), tokoh Hamas menyatakan, perlawanan bersenjata adalah satu-satunya bahasa yang dimengerti Israel. Mereka tidak akan pernah memberi kami kemerdekaan melalui negosiasi.”

 

Khalid Mishaal, mantan Kepala Biro Politik Hamas menyatakan bahwa Hamas tidak menentang perundingan sepenuhnya, tetapi menolak menyerahkan hak-hak dasar Palestina. Pada tahun 2012, setelah serangan Israel di Gaza, ia menyatakan, “Selama ada pendudukan, akan ada perlawanan, baik dengan senjata maupun cara lain. Perlawanan adalah hak yang sah menurut semua hukum internasional.”

 

Ismail Haniyah (almarhum), juga mantan Kepala Biro Politik Hamas pernah menyatakan bahwa Hamas tidak akan meletakkan senjata. Pada tahun 2021 ia menyatakan,”Senjata kami adalah perisai yang melindungi rakyat, dan pedang yang membebaskan tanah kami. Kami tidak akan pernah mengakui legitimasi pendudukan Israel.”

 

Yahya Sinwar (almarhum), tokoh Hamas pada 2017 menyatakan,”Tidak ada yang bisa melucuti senjata perlawanan. Senjata itu adalah jaminan kebebasan rakyat kami dan akan terus berada di tangan pejuang.”

 

Intinya jika Israel terus menerus melakukan serangan ke Palestina, memperluas pemukiman ilegal serta membunuh dan memenjarakan orang-orang Palestina, maka Hamas tidak akan meletakkan senjata.

 

Sejak pendirian negara Israel 1948, Israel terus menerus melakukan pembantaian kepada rakyat Palestina.  Korban saat itu sekitar 10.000–15.000 warga Palestinayang  terbunuh. Sedangkan warga Palestina yang terusir, sekitar 750.000. Mereka menjadi di Gaza, Tepi Barat, Lebanon, Yordania, dan Suriah. Ratusan desa Palestina dihancurkan dan dikosongkan untuk diambil alih Israel.

 

Pada 29 Oktober 1956, terjadi Pembantaian Kafr Qasim. Saat itu polisi perbatasan Israel membantai 48 warga sipil Palestina (termasuk perempuan dan anak-anak) di desa Kafr Qasim.

 

Pada tahun 5-10 Juni 1967, dalam Perang Enam Hari melawan Mesir, Yordania dan Suriah, Israel menang telak. Lewat bantuan militer dari Amerika dan Perancis, negara zionis itu berhasil merebut Tepi Barat, Yerusalem Timur, Jalur Gaza, Sinai, dan Dataran Golan. Korban jiwa Palestina dan tentara negara Arab lebih dari 20.000 orang. Saat itu juga terjadi pengusiran/pengungsian baru.  Sekitar 300.000–400.000 warga Palestina mengungsi dari Tepi Barat & Gaza.  Maka menurut catatan PBB, hingga awal 1970-an total pengungsi Palestina sudah mencapai lebih dari 1 juta orang.

 

Tercatat kemudian, negara penjajah Israel melakukan serangan-serangan besar ke Gaza Palestina. Pada 2008–2009 dalam Operasi Cast Lead (Perang Gaza Pertama), Israel menyerang Gaza selama 3 minggu. Sekitar 1.400 warga Palestina terbunuh, sebagian besar warga sipil (termasuk ratusan anak-anak).

 

Pada 2012, Israel meluncurkan Operasi Pillar of Defense.  Serangan udara 8 hari ke Gaza. Sekitar 170 warga Palestina tewas, sebagian besar warga sipil.

 

Pada 2014, Israel meluncurkan Operasi Protective Edge (Perang Gaza Kedua). Ia meluncurkan serangan darat dan udara 50 hari. Negara zionis Yahudi itu menewaskan sekitar 2.200 warga Palestina dan  lebih dari 500 di antaranya anak-anak. Saat itu ribuan bangunan hancur, dan 500.000 orang mengungsi.

 

Pada 2021, Israel meluncurkan perang 11 Hari.  Israel melancarkan serangan besar setelah adanya eskalasi di Sheikh Jarrah dan Masjid Al-Aqsa. Sekitar 260 warga Palestina terbunuh, termasuk 67 anak-anak.

 

Melihat kejahatan Israel yang terus menerus kepada kaum Muslim Palestina, maka Hamas pada 7 Oktober 2023 melakukan serangan besar ke Israel. Serangan itu dinamakan Taufan al Aqsha. Jumlah korban Israel yang tewas sekitar 1200 orang dan yang terluka sekitar 8000 orang. Sekitar 240 orang ditahan atau diculik Hamas. Lokasi-lokasi yang diserang Hamas adalah Be’eri, Re’im, Nahal Oz, Kfar Aza, Ofakim, Nir Oz dan Alumim.

 

Tentu saja Israel marah besar kepada Hamas. PM Israel Benjamin Netanyahu akhirnya membalas serangan Hamas ini dengan perang besar kepada Gaza. Netanyahu dan para pemimpin militer Israel tidak peduli apakah perang itu akan menelan warga sipil, wanita, anak-anak, petugas medis atau wartawan. Hati gelap dan rasa dendam mereka juga mengakibatkan tidak peduli apakah perang mereka membawa korban puluhan ribu orang dan mengakibatkan terjadinya genosida.

 

Korban keganasan penjajah Israel ini mengakibatkan 65.502 orang penduduk Gaza meninggal dunia.  Termasuk 19.424 anak-anak, 230 wartawan, dan 1700 petugas medis (dokter, perawat, apoteker, paramedis, dan profesi medis lainnya), menurut Al Jazeera. Menurut PBB, jumlah wanita yang meninggal dunia, 9.735 orang. Bangunan gedung di Gaza yang hancur sekitar 360.000 ribu (70%), termasuk 36 rumah sakit, 823 masjid dan ratusan sekolah/kampus.

 

Israel bukan hanya haus darah membunuh dengan senjata. Tapi ia juga membuat kelaparan massal di Gaza. Israel membatasi masuknya bantuan makanan dan obat-obatan dari PBB. Pada Februari 2025, Israel dan Amerika membentuk GHF (Global Humanitarian Fundation). Lembaga ini mengontrol ketat bantuan makanan dan obat-obatan yang masuk ke Gaza. Hingga 16 September 2025, Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan bahwa jumlah orang yang tewas akibat kelaparan/malnutrisi telah mencapai 428 orang, termasuk 146 anak-anak. Secara keseluruhan, Israel kini mengontrol sekitar 80 persen wilayah Gaza.

 

000

 

Sejak 1988, Hamas mengadakan jihad gerakan perlawanan bersenjata kepada Israel, pada 2017  Hamas ‘mengubah strategi’.  Pada 1 Mei 2017, di Doha Qatar, Ketua Biro Politik Hamas, Khalid Mishaal membacakan dan meluncurkan Piagam/Dokumen Politik Hamas 2017.  Dalam konferensi pers internasional itu, Mishaal mempresentasikan dokumen berisi 42 pasal yang dikenal sebagai “وثيقة المبادئ والسياسات العامة” (Document of General Principles and Policies).

 

Dalam dokumen itu, Hamas menerima pendirian negara Palestina yang sepenuhnya merdeka dan berdaulat, dengan Yerusalem sebagai ibu kota, berdasarkan garis 4 Juni 1967 (Gaza, Tepi Barat dan Yerusalem). Meski demikian, Hamas menegaskan tidak akan pernah mengakui Israel sebagai entitas sah.

Selain itu, disebutkan bahwa emua pengungsi Palestina berhak kembali ke tanah asal mereka. Hak ini dianggap mutlak dan tidak bisa diganggu gugat. Yerusalem dianggap sebagai ibu kota Palestina, dan Masjid Al-Aqsa memiliki status sentral dalam perjuangan.

 

Hamas juga menyatakan bahwa semua bentuk perlawanan, termasuk perlawanan bersenjata, adalah hak sah melawan pendudukan. Hamas menekankan perlawanan mereka ditujukan kepada proyek Zionisme dan pendudukan Israel, bukan kepada agama Yahudi atau orang Yahudi sebagai komunitas.

 

Sikap Hamas yang melunak ‘menerima solusi dua negara ini’, dianggap oleh Amerika dan Israel sebagai strategi Hamas saja.  PM Benjamin Netanjahu menyatakan,“Hamas is attempting to fool the world. But they still call for the destruction of Israel.” (Hamas berusaha menipu dunia. Mereka tetap menyerukan kehancuran Israel).

 

Gedung Putih dan Departemen Luar Negeri AS tidak melihat ada perbedaan substansial pada sikap Hamas. Menurut pejabat AS, dokumen itu hanyalah “make-up” untuk memperbaiki citra Hamas di Barat. AS tetap memasukkan Hamas dalam daftar organisasi teroris.

 

Beberapa pejabat Fatah menyambut hati-hati. Mereka menilai dokumen ini “kemajuan positif” karena membuka jalan bagi konsensus nasional soal negara Palestina 1967. Namun, Fatah juga menekankan bahwa Hamas tetap harus menerima proses politik yang diakui internasional.

 

Mesir dan Qatar saat itu menyambut baik karena dianggap bisa mempermudah rekonsiliasi antar faksi Palestina (Hamas-Fatah). Qatar memberi ruang agar Hamas terlihat lebih moderat di mata dunia.

 

Uni Eropa mencatat dokumen ini sebagai perubahan retorika positif, terutama poin yang memisahkan “Yahudi” dari “Zionisme” (tidak lagi memakai bahasa antisemit eksplisit seperti Piagam 1988). Namun UE tetap mendesak Hamas menerima perundingan damai formal.

 

Kepala Biro Politik Hamas, Khalil al-Hayya dalam wawancaranya dengan Associated Press  (25 April 2024) di Turki menyatakan,“Hamas ingin bergabung dengan Organisasi Pembebasan Palestina [PLO] … membentuk pemerintahan bersatu untuk Gaza dan Tepi Barat. Jika sebuah negara Palestina yang berdaulat dibentuk di sepanjang garis pra-1967, dan pengungsi Palestina bisa kembali sesuai resolusi internasional, maka sayap militer kami akan dibubarkan.”  Ia juga menyatakan Hamas bersedia menyetujui gencatan senjata selama lima tahun atau lebih dengan Israel, dan bahwa mereka akan meletakkan senjata serta bertransformasi menjadi partai politik jika sebuah negara Palestina merdeka didirikan di sepanjang batas pra-1967.

 

“Semua pengalaman orang-orang yang berjuang melawan penjajah, ketika mereka menjadi merdeka dan memperoleh hak serta negara mereka, apa yang dilakukan kekuatan ini? Mereka berubah menjadi partai politik dan pasukan pertahanan mereka menjadi tentara nasional,” kata al-Hayya.

 

Begitu pula sebelumnya, pejabat senior Hamas, almarhum Ismail Haniyah  pada 1 November 2023, menyatakan,“Kami siap untuk negosiasi politik menuju solusi dua negara dengan Yerusalem sebagai ibu kota Palestina, asalkan perang dihentikan, koridor kemanusiaan dibuka, dan bantuan bisa masuk Gaza.”

 

Perkembangan lebih lanjut, pada 12 September 2025 lahir Piagam New York, yang kemudian diadopsi oleh Majelis Umum PBB. Ini adalah deklarasi internasional yang mendukung solusi dua negara untuk konflik Israel-Palestina. Deklarasi ini menyerukan penghentian permusuhan secara permanen, pembebasan semua sandera, pembentukan negara Palestina yang berdaulat di samping Israel, dan pengakuan terhadap hak-hak Palestina. Deklarasi ini juga mengutuk serangan 7 Oktober 2023 oleh Hamas dan menyerukan pelucutan senjata kelompok tersebut. Sebanyak 142 negara anggota PBB mendukung deklarasi ini, sementara 10 negara menentangnya

 

Ironisnya, ketika Hamas dan dunia internasional setuju dengan solusi dua negara, Israel (dan Amerika) menolaknya.  Netanyahu dalam beberapa pidatonya menegaskan bahwa ia tidak akan membiarkan terbentuknya negara Palestina yang berdaulat penuh. “Negara Palestina akan menjadi ancaman bagi eksistensi Israel,” ujarnya dalam kampanye 2015. Sikap ini berlanjut hingga kini, dengan perang besar yang meluluhlantakkan Gaza dan  kebijakan perluasan permukiman ilegal di Tepi Barat.

 

Pada Januari 2024, Netanyahu menyatakan,”Dalam masa depan, negara Israel harus menguasai seluruh wilayah dari Sungai (Yordan) hingga Laut (Mediterania).” Dalam Pidato di Sidang Umum PBB, 26 September 2025 lalu, ia menyatakan,“Saya menolak solusi dua negara. Itu kegilaan belaka… Penolakan terhadap solusi dua negara bukan hanya kebijakan saya, tetapi kebijakan rakyat saya dan Negara Israel.”

 

Netanyahu secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap visi “Greater Israel” dalam sebuah wawancara dengan i24NEWS pada Agustus 2025. Dalam wawancara itu, ia merasa dirinya berada dalam “misi sejarah dan spiritual” dan sangat terhubung dengan visi Tanah Perjanjian dan Greater Israel.

Sementara itu, Bezalel Smotrich, Menteri Keuangan Israel pada Februari 2024 menyatakan,”Kami tidak akan pernah setuju pada gagasan negara Palestina, terutama setelah pembantaian 7 Oktober. Negara Palestina adalah ancaman eksistensial bagi Israel.” Ia juga menyatakan,” “Sebuah negara Palestina akan menjadi negara teroris yang akan membahayakan eksistensi Israel dan tekanan internasional untuk mendirikannya adalah ketidakadilan skala historis.”

Itamar Ben-Gvir, Menteri Keamanan Nasional Israel pada Februari 2024 menyatakan,“Pendirian negara Palestina berarti pendirian negara Hamas.” Ia menyebut solusi dua negara sebagai “mimpi buruk” dan menegaskan bahwa seluruh tanah antara sungai Yordan dan Laut Mediterania adalah milik Israel.

Knesset, parlemen Israel juga menolak pembentukan negara Palestina jika itu dipaksakan dari luar Israel. Netanyahu berkata bahwa Knesset bersatu menolak pendirian negara Palestina yang dikenakan pada mereka.

 

000

 

Amerika Serikat ‘selalu’ mendukung kebijakan Israel. Amerika (dan Inggris) yang merupakan ibu dari negara Palestina, menempatkan Israel sebagai keamanan utamanya. Maka jangan heran dukungan politik dan militer selalu diberikan kepada Israel.

 

Sejak serangan Hamas 7 Oktober 2023, AS telah mengucurkan sekitar US$17,9 miliar dalam bantuan militer kepada Israel hingga 2024 (tahun ke tahun), termasuk pembelian amunisi, senjata, dan perlengkapan perang.  Di antara bantuan tersebut: peralatan dari stok militer AS, senjata dari katalog militer, pendanaan untuk memperkuat pertahanan rudal (iron dome, dan sistem lainnya).

 

Pada Agustus 2024, AS menyetujui penjualan senjata senilai US$20 miliar kepada Israel: bagian dari paketan ini termasuk lebih dari 50 pesawat tempur F-15, rudal udara ke udara (AMRAAM), amunisi tank, mortir, kendaraan militer. Penjualan darurat senjata senilai sekitar US$2,7 miliar disetujui Maret 2025, termasuk bom, warhead, kit pemandu bom, dukungan logistik dan teknis lainnya.  AS juga mendanai penggantian amunisi dan peluru untuk sistem pertahanan udara seperti Iron Dome, David’s Sling, dan sistem pertahanan lainnya.

 

AS dan Israel punya Memorandum of Understanding (MoU) yang menjamin bantuan tahunan militer sekitar US$3,8 miliar hingga 2028.  Dukungan ini meliputi juga pelatihan, kolaborasi intelijen, dan teknologi militer canggih. AS menjadi pemasok utama senjata dan sistem pertahanan Israel. Sebagian besar impor senjata Israel di tahun-tahun terakhir datang dari AS.

 

Selain dukungan militer, AS juga mendukung Israel secara politik/diplomatik.  AS sering menggunakan hak veto di Dewan Keamanan PBB untuk memblokir resolusi anti-Israel. Dukungan diplomatik juga diberikan lewat pembentukan atau izin penjualan senjata meski ada kritik atas korban sipil dan pelanggaran HAM.

 

Pada 18 September 2025, Amerika Serikat memveto resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata segera dan tanpa syarat di Gaza, serta akses bantuan kemanusiaan dan pembebasan sandera. Resolusi tersebut didukung oleh 14 dari 15 anggota Dewan Keamanan, menjadikannya veto keenam AS terkait konflik ini sejak dimulainya perang pada Oktober 2023.

 

Pada 29 September 2025 lalu, Presiden AS Donald Trump mengumumkan rencana perdamaian 20 poin untuk mengakhiri konflik di Gaza, yang dikenal sebagai “Inisiatif Gaza Baru”.  Beberapa poin penting dari usulan Trump ini adalah :

  • Gencatan Senjata dan Penarikan Pasukan: Gencatan senjata segera akan diberlakukan, diikuti dengan penarikan bertahap pasukan Israel dari Gaza
  • Pengembalian Sandera: Semua sandera, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal, akan dikembalikan dalam waktu 72 jam setelah kesepakatan gencatan senjata tercapai.
  • Amnesti dan Demiliterisasi: Anggota Hamas yang menyerahkan senjata dan berkomitmen pada perdamaian akan mendapatkan amnesti. Gaza akan didemiliterisasi sepenuhnya.
  • Pemerintahan Transisi: Gaza akan dipimpin oleh badan pemerintahan teknokratik di bawah pengawasan internasional, termasuk “Dewan Perdamaian” yang dipimpin oleh Trump dan mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair.
  • Zona Ekonomi Khusus: Pembangunan ekonomi akan dipimpin oleh para ahli dari kota-kota Timur Tengah yang sukses, dengan pembentukan zona ekonomi khusus untuk memulihkan perekonomian Gaza.
  • Penolakan Hamas terhadap Peran Pemerintahan: Rencana ini melarang Hamas dari peran pemerintahan di Gaza dan mengharuskan reformasi oleh Otoritas Palestina untuk memungkinkan penentuan nasib sendiri bagi Palestina di masa depan.

 

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyambut gembira dan menerima rencana Trump sepenuhnya.  Sementara itu, Otoritas Palestina di Tepi Barat juga mendukungnya.  Negara-negara Arab dan Muslim secara umum menyambut baik inisiatif ini, meskipun beberapa pihak menginginkan klarifikasi lebih lanjut mengenai implementasinya.

 

Kepala Biro Politik Hamas, Khalil al-Hayya, menyatakan bahwa kelompoknya akan mempelajari rencana tersebut dengan itikad baik dan bertanggung jawab sebelum memberikan tanggapan resmi.

 

Seorang jurnalis Amerika asal Libanon, Ali Harb membuat lima catatan untuk usulan 20 poin perdamaian dari Presiden Trump itu. Pertama, bagaimana Gaza akan diperintah? Proposal membayangkan “pemerintahan transisi sementara berupa komite Palestina teknokratis dan apolitis” yang akan mengawasi urusan wilayah tersebut. Namun, tidak dijelaskan bagaimana panel ini dibentuk atau siapa yang memilih anggotanya.

 

Selain itu, rencana tersebut menyebutkan bahwa Trump dan Tony Blair, mantan Perdana Menteri Inggris, akan memimpin “Dewan Perdamaian” yang akan mengawasi komite pemerintahan. Tetapi rencana itu tidak menjelaskan sifat hubungan antara dewan ini dengan komite Palestina, atau pada tingkat apa keputusan sehari-hari akan dibuat.

 

Kedua, apakah Otoritas Palestina (PA) akan terlibat? Rencana Trump menyatakan otoritas transisi akan mengendalikan Gaza sampai “Otoritas Palestina menyelesaikan program reformasinya” dan “dapat mengambil alih kendali Gaza dengan aman dan efektif”. Namun, masih belum jelas siapa yang akan memverifikasi kesiapan PA atau tolok ukur apa yang harus dipenuhi agar PA bisa mengelola wilayah tersebut. Tidak ada jadwal waktu, hanya pernyataan yang samar.

 

Bahasa dalam proposal juga memperlakukan Gaza sebagai entitas independen, bukan bagian dari Palestina yang harus disatukan dengan sisa wilayah Palestina yang diduduki. Sementara itu, Netanyahu, yang mengatakan ia menyetujui proposal itu, hampir menutup kemungkinan kembalinya PA ke Gaza. “Gaza tidak akan dikelola oleh Hamas, maupun oleh Otoritas Palestina,” kata Perdana Menteri Israel, berdiri di samping Trump.

 

Ketiga, bagaimana pasukan internasional akan dibentuk? Rencana tersebut menyebut Gaza akan diamankan oleh “Pasukan Stabilitas Internasional sementara”, tetapi dari mana pasukan ini akan datang dan apa mandatnya?

Tidak jelas negara mana yang bersedia mengirim pasukan ke Gaza, atau negara mana yang diterima dalam rencana tersebut. Proposal juga tidak menjelaskan tanggung jawab dan aturan keterlibatan pasukan perdamaian ini.

 

Apakah mereka akan bertindak sebagai tentara, kepolisian, atau pasukan pengamat? Apakah mereka ditugaskan menghadapi Hamas? Apakah mereka bisa melawan pasukan Israel untuk melindungi warga Palestina?

 

Keempat, kapan Israel akan mundur? Proposal menyatakan Israel akan mundur dari Gaza “berdasarkan standar, tonggak, dan jadwal yang terkait dengan demiliterisasi”. Sekali lagi, ketentuan ini tidak menetapkan jadwal penarikan Israel atau standar jelas bagaimana dan kapan hal itu terjadi. Selain itu, disebutkan Israel akan tetap memegang “perimeter keamanan” di Gaza sampai wilayah itu “benar-benar aman dari ancaman teror yang bangkit kembali”. Tetapi tidak ada keterangan siapa yang akhirnya akan memutuskan kapan syarat-syarat tersebut terpenuhi.

 

Kelima, apakah kemerdekaan Palestina termasuk kemungkinan? Dalam konferensi persnya, Trump mengatakan beberapa sekutu “dengan bodohnya mengakui negara Palestina… tetapi saya kira mereka melakukan itu karena sangat lelah dengan situasi yang terjadi”. Proposal hanya menyinggung kemungkinan kemerdekaan Palestina dengan syarat-syarat yang samar dan berlapis ketidakpastian.

 

“Selama pembangunan kembali Gaza berlangsung dan program reformasi PA dijalankan dengan setia, kondisi mungkin akhirnya siap untuk jalur yang kredibel menuju penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan Palestina, yang kami akui sebagai aspirasi rakyat Palestina,” demikian bunyi rencana itu.

 

Jadi, pembangunan Gaza dan reformasi PA menjadi syarat. Bahkan setelah itu, pembicaraan tentang negara Palestina “mungkin” bisa dilakukan, tetapi tidak dijamin. Proposal juga tidak mengakui hak atas kemerdekaan Palestina, melainkan hanya mengakui bahwa kemerdekaan adalah sesuatu yang diperjuangkan rakyat Palestina. Seperti ketentuan lainnya, poin ini juga dibungkus dengan ketidakjelasan dan ambiguitas.

 

Walhasil, Hamas sendiri masih mempelajari dengan serius usulan Trump yang sangat menguntungkan Israel ini. Hamas tentu berdialog dengan pemimpin negara-negara yang saat ini terus melindunginya, seperti Turki, Iran, Qatar dan Malaysia.

 

Semoga Allah memberikan yang terbaik kepada Hamas dan Palestina. Semoga kehinaan terus melanda pemimpin Israel dan Amerika yang mendukung pembantaian 65ribu kaum Muslim Gaza saat ini. Allah Maha Perkasa, Allah Maha Bijaksana. Wallahu azizun hakim. II Nuim Hidayat, Direktur Forum Studi Sosial Politik. Data-data di artikel ini dibantu AI.

 

Berita Terkait

Berita Terbaru

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *