Selain mencoba meruntuhkan akidah Islam melalui Paham Pluralisme Agama, program lain liberalisasi Islam yang diusung oleh kelompok liberal adalah dekonstruksi Al-Qur’an dengan meruntuhkan kesakralannya, dari kalamullah menjadi produk budaya. Hal ini ditegaskan oleh Dr. Adian Husaini dalam bukunya, “Liberalisasi Islam di Indonesia.”
Buku itu mengutip pernyataan salah satu tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL): “all scriptures are miracle,” semua kitab suci adalah mukjizat. Artinya, tidak ada kitab suci yang lebih unggul atau lebih suci, termasuk Al-Qur’an. Semua kitab suci tidak sepenuhnya suci atau asli, sehingga harus dikritisi.
Pemahaman dan keyakinan semacam itu tentu bertentangan dengan kesepakatan para ulama yang menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah, lafaz dan maknanya dari Allah. Umat Islam pun sepakat bahwa al-Qur’an adalah kalam (perkataan) Allah yang mulia, sehingga teksnya tidak pantas untuk dikritisi dan maknanya tidak bisa sembarangan ditafsirkan.
Karakteristik Al-Qur’an berbeda dengan Bibel yang memang teksnya ditulis oleh manusia, sehingga dirasa perlu untuk menggunakan metode tafsir Hermeneutika.
Ustadz Adian menjelaskan dua cara muslim liberal menyerang Al-Qur’an. Pertama dengan mengatakan bahwa Al-Qur’an sejak dahulu telah terkena pengaruh budaya Arab. Seorang tokoh JIL menegaskan, di dalam Al-Qur’an, terdapat dua jenis wahyu: 1) verbal (redaksional bikinan Nabi Muhammad Saw; 2) non verbal (konteks sosial waktu itu)
Maksud wahyu jenis pertama adalah penegasan Nabi Muhammad sebagai pengarang Qur’an. Jurnal Justisia Fakultas Syariah, edisi 23 Th XI, 2003 mengungkap: “konteks Arab 14 abad silam telah mengkonstruk Qur’an. Adalah Muhammad saw., seorang figur saleh dan berhasil mentranformasikan nalar kritisnya dalam berdialektika dengan realitas Arab”
Pandangan semacam jelas salah. Prof. Musthafa Al-A’zami dalam bukunya, “Sejarah Teks AL-Qur’an”, menegaskan bahwa tugas Nabi Muhammad hanyalah “menyampaikan”, menyampaikan wahyu dari Allah melalui Malaikat Jibril kepada seluruh umat Muslim (para sahabat), sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an (QS. 2: 129, 3: 164, 2: 151, 75: 16-19).
Selain itu, banyak pula Hadits yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad sering membaca Qur’an bersama malaikat Jibril, dan didengar pula oleh beberapa sahabat seperti Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ubayy bin Ka’ab, dan Utsman bin ‘Affan.
Terlebih, kata Prof. Al-A’zami, kata yang dipakai adalah “mu’arada”, saling membaca. “Jibril membaca satu kali dan Nabi Muhammad mendengarnya. Demikian pula sebaliknya,” jelasnya. Maka mustahil Nabi Muhammad mengarang Al-Qur’an yang disampaikan oleh Jibril.
Lagi pula, jika Al-Qur’an adalah bahasa Nabi Muhammad, lantas mengapa para musyrikin Arab dibuat takjub dengan kalam al-Qur’an? Hal itu jelas menunjukkan kalau mereka belum pernah mendengar hal serupa seperti sebelumnya, bahkan sampai menuduh Nabi sebagai penyihir.
Adapun maksud wahyu jenis kedua, adalah bahwa teks dan makna Al-Qur’an terpengaruh oleh akal dan budaya masyarakat Arab Quraisy pada waktu itu, sebagaimana ditulis dalam buku Ijtihad Islam Liberal: “… Al-Qur’an sendiri dalam beberapa hal sebetulnya juga bisa menjadi ‘perangkap’ bangsa Quraisy sebagai suku mayoritas.”
Dr. Henri Shalahuddin dalam bukunya, “Al-Qur’an Dihujat”, mempertanyakan, jika Al-Qur’an terpengaruh budaya Arab, mengapa tantangan dalam Surat al-Isra’ ayat 88 belum juga terjawab? Padahal saat itu sudah banyak para penyair dan pakar bahasa Arab di sana. Ia juga mempertanyakan, jika Al-Qur’an memang telah terpengaruh budaya Arab dan menjunjung superioritas suku Quraisy,
“kenapa orang-orang kafir Quraisy saling melarang satu sama lainnya untuk mendegarkan Al-Qur’an seperti yang dikisahkan dalam QS. Fussilat: 26? Yaitu ketika al-Tufayl ibn ‘Amru al-Dusi, seorang penyair kenamaan di kalangan Arab datang ke Makkah untuk menemui Nabi Muhammad.”
Cara kedua kaum liberal menyerang Al-Qur’an adalah dengan menuduh Mushaf Utsmani tidak lagi benar. Motif Utsman bin Affan dalam memerintahkan pembukuan Al-Qur’an dan pembakaran seluruh mushaf selainnya, kata mereka, bersifat politis, karena haus kekuasaan. Utsman disebut ingin mempertahankan hegemoni kaum Quraisy. Kata jurnal tadi:
“… yang paling mencelakakan adalah pembukuan Qur’an dengan dialek Quraisy, oleh Khalifah Usman Ibnu Affan yang diikuti dengan klaim otoritas mushafnya sebagai mushaf terabsah dan membakar (menghilangkan pengaruh) mushaf-mushaf milik sahabat lain. Imbas dari sikap Usman yang tidak kreatif ini adalah terjadinya militerisme nalar Islam untuk tunduk/mensakralkan Qur’an produk Quraisy… pembukuan Qur’an hanya siasat bangsa Quraisy, melalui Usman, untuk mempertahankan hegemoninya atas masyarakat Arab (dan Islam… Dan hanya orang yang mensakralkan Qur’anlah yang berhasil ter-perangkap siasat bangsa Quraisy tersebut.”
Pandangan itu jelas keliru. Adnin Armas dalam bukunya, “Menyangkal Pemikiran Para Penggugat Mushaf Utsmani”, mengutip pendapat Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari’ yang mengatakan bahwa alasan Utsman melakukan kodifikasi adalah “karena perbedaan qiraat yang sangat tajam.”
Ulama Mus’ab bin Sa’d juga menjelaskan bahwa ketika itu, semua Sahabat ijma’ dengan keputusan Utsman. Ali bin Abi Thalib bahkan berkata, “Seandainya ia (Utsman bin ‘Affan) belum melakukannya (kodifikasi al-Qur’an), maka aku yang membakarnya.” Ia juga mengatakan, “Seandainya aku yang berkuasa, niscaya aku akan berbuat mengenai Mushaf sebagaimana yang ‘Utsman buat.”
Berangkat dari liberalisasi Al-Qur’an inilah, kaum liberal mampu melancarkan program ketiganya, yakni liberalisasi Syariat Islam dengan melakukan konstekstualisasi ijtihad. Dengan al-Qur’an disebut sebagai produk budaya, Al-Qur’an bisa ditafsirkan sesukanya. Syariat Islam pun bisa rusak karena tidak ada lagi yang bersifat tetap (Qath’i).
“Gagasan-gagasan mereka bisa berlangsung sangat liar tanpa batasan dan teori yang jelas. Mereka bisa menyusun teori konteks itu sekehendak hati mereka,” tegas Ustadz Adian.
Hukum yang sudah disepakati secara ijma’ oleh para ulama, khususnya para imam mujtahid, dapat mereka ubah sesukanya dengan bersandar pada “tafsir konteks” yang jelas berbeda dengan konsep “Asbabun Nuzul” dalam khazanah keilmuan Islam.
Contohnya seperti peghalalan nikah beda agama (NBG). Dalam buku “Fiqih Lintas Agama”, dalil yang dipakai oleh tokoh feminis supaya NBG halal, adalah karena dahulu umat Islam masih sedikit. Sementara dalam bukunya yang lain, Muslimah Reformis, dalil yang dipakai adalah karena dahulu Kaum kafir Quraisy sangat memusuhi Nabi dan pengikutnya. “Konteksnya adalah peperangan antara kaum mukmin dan kaum kafir,” ujarnya.
“larangan Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim sudah menjadi Ijma’ dengan dalil-dalil yang sangat meyakinkan (surat Al-Mumtahanah: 10),” tegas Ustadz Adian dengan merujuk pula buku Ensiklopedi Ijmak yang diterjemahkan salah satunya oleh KH. Sahal Mahfudz
Contoh lainnya adalah penghalalan dan legalisasi homoseksual. Begitu liarnya penafsiran yang dilakukan, dalam buku “Indahnya Kaum Sesama Jenis”, dikemukakan: “Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya… Tuhan pun sudah maklum bahwa proyek-Nya menciptakan manusia sudah berhasil, bahkan kebablasan.”
Oleh karena itu, jangan sampai keislaman kita menjadi rusak karena mengikuti alur paham liberal yang menyelewengkan Al-Qur’an dan merusak syariat agama Islam. Menjadi Islamlah karena Allah dan nabi Muhammad, dan ikutilah para ulama yang jelas otoritasnya dan telah berjasa dalam menafsirkan, menyusun dan menyampaikan syariat Islam secara tepat.
“Yang merusak umatku adalah orang alim yang durhaka dan ahli ibadah yang bodoh. Seburuk-buruk manusia yang buruk adalah ulama yang buruk dan sebaik-baik manusia yang baik adalah ulama yang baik” (HR. Al-Darimi)
(Tulisan ini merupakan rangkuman dari pelajaran Islamic Worldview pertemuan 2 di Pesantren At-Taqwa Depok untuk kelas 1 SMA oleh Ustadz Fatih Madini)
Aflaha Man Tazakka
(Santri SMA Pesantren At-Taqwa Depok, 16 tahun)

Komentar