Dalam Islam, dunia dipahami sebagai ‘tempat sementara’, ‘sarana meraih kehidupan akhirat yang kekal’, ‘kesenangan yang memperdaya’, ‘ladang ujian’, ‘tempat mengumpulkan bekal untuk akhirat’, ‘permainan dan senda gurau’, dan ‘tanda-tanda kebesaran-Nya.’ Berbagai makna tersebut menyadarkan jiwa bahwa dunia adalah empat yang fana’, bukan baqa’, dan dunia ini adalah satu sarana dalam perjalanan manusia menuju akhirat.
Kesementaraan dunia ini kita rasakan terutama saat orang yang kita kenal kembali ke hadirat-Nya. Siang tadi misalnya, istriku mengabarkan wafatnya Ustadz Alimuddin, S.Ag, salah seorang warga Pesantren Darul Istiqamah Maccopa, Kab. Maros yang saya kenal sangat bersemangat dalam mengajarkan Al-Qur’an bagi anak-anak. Orangnya tidak banyak bercerita, akan tetapi banyak mengajar generasi muda agar mencintai Al-Qur’an.
Beberapa waktu lalu, saya juga mendengar kabar serupa saat mengirim pesan kepada seorang dosen di seberang pulau yang ikut serta dalam ‘program menulis’ yang saya buat. Saat japrian, dari ujung sana rupanya yang balas adalah anak pertamanya, dan bertanya apakah saya mendengar kabar terkait ibunya. Saya bidang, ‘belum,’ dań beliau mengajarkan terkait kabar tersebut.
Beberapa tahun yang lalu, saya juga dapat kabar serupa saat kontak seorang penulis yang ikut serta dalam buku yang kita buat. Terkadang, saya berpikir, sungguh kehidupan ini adalah misteri yang tidak ada dari kita yang tahu kepastiannya. Ada seorang kawan saya yang waktu itu bertemu di Margonda, saat menemani kawan kita lainnya yang menunggu jurnalis televisi. Kita bercerita ringan, sambal ngopi. Beberapa minggu kemudian saya dapat kabar, bahwa kawan yang di Bekasi itu beliau telah tiada.
Kadang saya suka mengingat beberapa tokoh yang terkenal di media, tapi kemudian pergi. Setelah kepergiannya, orang tidak lagi membicarakannya. Padahal, saat hidup ia banyak memberikan humor atau sejenisnya kepada publik. Manusia seakan cepat sekali melupakan manusia lainnya yang telah tiada secara fisik.
Maka, teringatlah kita dengan QS. Al-An’am (6:32): “Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?”. Jika dikontekskan dengan kehidupan kita, sungguh banyak permainan dan senda gurau kehidupan yang kita lihat, dengar, bahkan rasakan. Itulah kenapa dunia juga disebut sebagai ‘panggung sandiwara’, dimana cerita dan tokohnya mudah berubah.
Bumi sebagai tempat kita hidup adalah tempat untuk kita berjalan mencari rezeki dan dalam semua perjalanan dan hasil perjalanan itu, kita diingatkan untuk mengingat-Nya. Artinya, berapa pun rezeki, capaian atau prestasi yang kita raih, itu semua haruslah membuat kita insaf bahwa Allah saja yang menjadi tempat kita bersyukur, bahwa itu semua atas kemurahan-Nya belaka. Maka, kemuliaan, kebaikan, atau apapun hal baik dan menyenangkan yang kita dapat janganlah membuat kita lalai dari mengingat-Nya.
Dalam QS. Al-Mulk (67:15), Allah SWT berfirman: “Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. Dunia yang terhampar luas ini, adalah tempat kita berjalan untuk mencari rezeki; maka janganlah kita membatasi diri bahwa ‘rezekiku hanya ada di geografi ini, di kota ini, atau di wilayah ini’. Rezeki Allah tersedia dalam hamparan luas di atas bumi ini.
Dimana kita hidup, di situ kita harus bermakna. Menjadilah kita seperti ‘air hujan yang menyirami bumi dan menyuburkan tanaman’. Jadilah kita pribadi yang menumbuhkan kebaikan pada lingkungan dan pada masyarakat dimana kita hidup. Menjadi ‘sinar terang bagi masyarakat sekitar kita.’ Teringat saya akan sebuah cerita ringan di Maryland beberapa tahun lalu. Saat itu, masyarakat Indonesia belum punya masjid, tapi semangat untuk menghadirkan masjid terus ada dalam diri para perantau tersebut. Akhirnya, saat ada rumah ibadah yang tidak terpakai sebab tidak ada lagi jemaahnya, masyarakat Islam tersebut kemudian mengumpulkan biaya untuk membeli tanah tersebut. Karena biaya terkumpul kurang, akhirnya perwakilannya menghubungi pemerintah di Jakarta, dan terkumpullah biaya untuk itu, dan jadilah ia semua ‘islamic center’ sekaligus masjid yang diresmikan oleh presiden Indonesia saat itu.
Artinya, hidup di dunia yang luas ini harus membuat kita bersemangat untuk menghadirkan kebaikan dimanapun kita berada. Sebaliknya, kita dilarang keras untuk menciptakan kehancuran di bumi. Dalam QS. Al-Baqarah (2:205), Allah SWT melarang perusakan di bumi, karena Allah tidak menyukai kerusakan–apapun jenis kerusakan tersebut. Islam mengajarkan agar kita menciptakan perbaikan (ishlah) pada manusia dan alam.
Beberapa waktu lalu, saya hadir dalam sebuah restoran di Jakarta. Sebelumnya adalah supermarket. Perubahan dari supermarket ke restoran menunjukkan bahwa ‘di dunia ini, semua dapat berpindah kepemilikan’; artinya, tidak ada ada yang kekal. Di tahun-tahun lalu, saya juga pernah mampir ke sebuah hotel di Bukittinggi; dulunya adalah rumah keluarga besar kami, yang kemudian beralih kepemilikan ke tangan orang lain setelah jual-beli. Ayahku bercerita bahwa saat ramai PRRI, ia membawa dan memastikan agar sertifikat tanah tersebut tidak hilang. Tapi, ketika saatnya berpindah tangan, memang tidak ada lagi yang bisa menahannya.
Di dunia ini, segala sesuatu dapat berpindah dengan cepat atau lambat. Mulai dari skala kecil seperti diri kita yang fana ini, hingga peradaban besar, semuanya dapat hilang, atau berganti. Tapi, Allah SWT mengingatkan tentang ‘kebaikan yang tidak akan hilang’, yakni amal shaleh. Artinya, kalau di dunia kita perbanyak amal shaleh, itu adalah modal bagi timbangan di hari kemudian. Modal agar nanti di hari penghisaban timbangan kita lebih berat pada kebaikan.
Akhirnya, dunia yang kita tinggali ini adalah tempat yang fana. Bahkan wadah tempat jiwa kita berada adalah pinjaman semât dari Sang Pemilik Kehidupan, yani Allah SWT. Untuk itu, baik bagi kita untuk terus memperbaiki diri, terus memperbanyak kebaikan, dan tidak lupa saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran sebagaimana firman-Nya:
وَالْعَصْرِۙ ١
Demi masa,
اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ ٢
sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian,
اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِࣖ ٣
kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran.
Yanuardi Syukur

Komentar