Sastra dan Budaya
Beranda » Mohd Affandi: Menghidupkan Kembali Nilai Islam dalam Sastra

Mohd Affandi: Menghidupkan Kembali Nilai Islam dalam Sastra

Komunitas NuuN bekerjasama dengan Fakultas Komunikasi dan Bahasa Modern UPM (Universitas Putra Malaya) menyelenggarakan ‘Peluncuran Proyek Komunitas Bersama Komunitas NuuN’. Acara ini dilaksanakan di Pesantrem Mahasiswa al-Hikam Depok. Dalam acara ini terdapat tiga pemateri yakni; Sdri. Nudra Shafini Halis Azhan; Dr. Muhammad Zarif Hassan; Profesor Madya Dr. Mohd. Zariat Abdul Rani. Ketiganya secara umum membahas seorang tokoh bernama Mohd. Affandi sebagai pencetus persuratan baru.
Pemateri pertama adalah Nudra Shafini Halis Azhan dengan judul Mohd. Affandi dan Gagasan Persuratan Baru: Satu Pengenalan. Menurut Mohd Affandi Hassan—selanjutnya Affandi—dalam penulisan sastra, umat muslim tak lepas dari sebuah taklif yakni amanat amr ma’ruf nahi munkar, jelas Nudra.
Affandi lahir di Pasir Mas Klantan, Malaysia. Ketertarikannya terhadap sastra telah tumbuh sedari kecil. Kecintaannya terhadap dunia sastra itulah membuatnya mampu menganalisa, serta membuat solusi dari permasalahan sastra saat ini. Pergelutannya dengan dunia sastra terjalin dalam waktu yang lama. Semasa itulah dirinya meneliti perkembangan dan permasalahan sastra yang ada.
Melalui penelitiannya tersebut, Affandi menemukan masalah dalam kesusastraan modern. Permasalahan tersebut ialah “terdapat dimensi sekuler dalam sastra modern”, tegas Nudra Shafini. Lanjutnya, adanya dimensi sekuler dalam sastra menyebabkan agama hilang dari dunia kesusastraan. Akibatnya ” Seseorang menulis bukan lagi untuk menyampaikan ilmu yang benar, tetapi hanya untuk bercerita semata”.
Oleh karena itulah Mohd Affandi Hassan mencetus gagasan Persuratan Baru, sebagai upaya mengembalikan tujuan sastra pada tujuan awalnya. Dengan begitu sastra dijadikan sebagai alat penyampai ilmu yang benar, bukan romansa cerita belaka.
Pemateri kedua disampaikan oleh Dr. Muhammad Zarif Hassan—selanjutnya Zarif— dengan tema presentasi Taklif Ilmu yang Benar: Prinsip Asas Gagasan Persuratan Baru. Permasalahan yang dialami oleh Masyarakat melayu adalah sekularisme. Sekularisme itu membuat Masyarakat terpinggirkan dari nilai agama dalam kehidupannya. Sehingga—menurut Mohd Affandi—menyebabkan kelesuan intelektual. Termasuk di dalamnya bidang persuratan (baca: kesusasteraan).
Salah satu tawaran yang diberikan Affandi dalam uraian Zarif adalah konsep Takllif. Taklif secara bahasa bermakna tanggung jawab, sementara secara literal adalah keterikatan manusia kepada pencipta. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah apa yang ditanggung? Apa yang dijawab? Jawabannya adalah yang ditanggung amanah dan yang dijawab adalah apa yang nanti ditanyakan di Padang Mahsyar.
Affandi mengutip penjelasan Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas—selanjutnya Al-Attas—bahwa tanggung jawab manusia itu merujuk kepada perjanjian azali. Yang asalnya telah Allah jelaskan dalam surat Al-A’raf ayat 172: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”.
Melalui ayat ini—dalam uraian Al-Attas—manusia memiliki hutang kepada Tuhan karena telah Allah ciptakan. Oleh karenanya seorang manusia dalam segala aktivitasnya mesti menunjukkan ketundukan kepada Allah. Memang manusia diberikan opsi untuk memilih dalam kehidupannya. Namun dalam islam kita memiliki konsep ikhtiar yang ini mesti berdasar kepada kebaikan. Maka Amanah manusia yang mesti ditunaikan dalam kehidupannya. Demikian maksud Affandi dalam persuratan baru bahwa apa yang kita karang itu tidak boleh bertentangan dari nilai-nilai agama, Ungkap Zarif.
Pemateri ketiga disampaikan Profesor Madya Dr. Mohd. Zariat Abdul Rani—selanjutnya Zariat—menyampaikan materi dengan tema Wacana, Cerita dan Ruang Naratif: Gaya Penulisan Karya Kreatif Menurut Persuratan Baru. Zariat membuka pembahasan dengan mengatakan bahwa kritik sastra yang telah dimasuki nilai sekularisasi di alam Melayu sebenarnya pertama kali telah dibahas oleh Al-Attas. Dalam Bukunya Islam dalam Sejarah Kebudayaan Melayu al-Attas mengatakan bahwa penjajah kolonial menulis sejarah dengan menafikan kebenaran Islam. Ini-lah titik awal nilai sekularisasi di alam Melayu yang kemudian berdampak juga pada dunia sastra.
Sastra yang dibawa oleh Barat berasas konsep fiksi. Dimana Barat sebagai tempat permulaan sekularisasi, sekitar abad 15 mereka melepaskan nilai agama dari kehidupan. Puncaknya pada abad 19 mereka menemukan pengganti sumber ilmu yaitu yang disebut sebagai sains. Yakni ilmu yang diverifikasi oleh panca indra. sehingga realitas yang sah dibataskan pada empiris, ungkap Zariat.
Pada abad ini juga—lanjut Zariat—Darwin menemukan bahwa manusia berasal dari monyet, berdasarkan hasil observasinya.
Temuan ini merupakan pengganti dari apa yang selama ini diyakini oleh Barat bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan. Oleh karenanya dunia akdemisi, sesuatu yang dianggap ilmiah adalah berdasar empiris. Sehingga dalam dunia sastra baik dan benar itu bukan ditentukan oleh wahyu, tapi oleh pandangan masing-masing manusia. Sebagai contoh seorang pelacur dalam novel yang memberikan makan kepada hewan adalah seorang yang baik, karena kita sebagai manusia melihat dia melakukan perbuatan baik. Dari sini kita melihat bahwa telah lepas nilai moral agama dari dunia sastra.
Profesor Universitas Putra Malaya itu menutup bahwa hal ini berbeda dengan sastra yang sebenarnya telah hidup di alam Melayu. Dahulu ulama-ulama menulis sastra berupa hikayat, syair, akan disertakan sebuah syarah. Syarah dengan muatan nilai wahyu itu merupakan panduan untuk memahami sastra tersebut. Sehingga pemahaman masyarakat terhadap karya sastra tidak subjektif, tidak berdasarkan siapa yang membaca. Affandi dalam persuratan Baru itu bertujuan mengembalikan kembali nilai sastra di alam Melayu kepada asalnya yakni dengan panduan nilai wahyu seperti yang dahulu dilakukan oleh ulama-ulama Nusantara.
Muhammad Ali Sina Al Basyiri & Farros Halim
(Mahasiswa STID Muhammad Natsir)

Berita Terbaru

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *