Pemimpin oposisi Yair Golan menyalahkan kecerobohan politik pemerintah dan penolakannya mengakhiri perang di Gaza.
Oleh : Jason Burke di Yerusalem
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, pada Minggu menyebut pengakuan Palestina oleh Inggris sebagai “hadiah absurd bagi terorisme”.
Dalam pernyataannya kepada para menteri yang dirilis oleh kantornya, ia mengatakan Israel harus “berjuang baik di PBB maupun di semua front lain melawan propaganda fitnah yang ditujukan kepada kita, dan melawan seruan untuk menciptakan negara Palestina yang akan membahayakan keberadaan kita dan merupakan hadiah absurd bagi terorisme”.
Dalam sebuah unggahan di X, kementerian luar negeri Israel menulis bahwa pengakuan Palestina oleh Inggris sebagai negara “tidak lain hanyalah hadiah bagi Hamas jihadis”.
“Para pemimpin Hamas sendiri secara terbuka mengakui: pengakuan ini adalah hasil langsung, ‘buah’ dari pembantaian 7 Oktober. Jangan biarkan ideologi jihad menentukan kebijakan Anda,” demikian bunyi unggahan tersebut.
Pejabat Israel telah mengemukakan argumen ini dalam beberapa pekan terakhir untuk mencoba menghalangi momentum yang terus berkembang di Inggris, Prancis, Kanada, Portugal, dan negara lain menuju pengakuan.
Yaakov Amidror, mantan penasihat keamanan nasional Netanyahu, mengatakan Hamas kini dapat mengatakan kepada warga Palestina bahwa tanpa serangan 2023, yang menewaskan sekitar 1.200 orang, pengakuan Palestina oleh Inggris dan negara lain tidak akan terjadi.
“Itu akan dipahami sebagai hadiah bagi mereka, dan Starmer telah kehilangan segala pengaruh yang dimilikinya … dan [negara Palestina] toh tidak akan pernah terwujud,” kata Amidror, analis di lembaga konservatif Jerusalem Institute for Strategy and Security serta Jewish Institute for National Security of America di Washington.
“Israel bertekad untuk menghancurkan organisasi teroris bernama Hamas. Beberapa teman kita di dunia memutuskan bahwa Hamas harus bertahan dan Israel harus meninggalkan Jalur Gaza, sambil membawa sandera kita … Ada jurang di sini yang tidak bisa dijembatani hanya dengan kata-kata manis.”
Namun jajak pendapat berturut-turut di Israel menunjukkan tingginya permintaan akan diakhirinya konflik Gaza melalui negosiasi. Dukungan terhadap pemerintahan koalisi Netanyahu, yang paling sayap kanan dalam sejarah Israel, semakin menurun sejak perdana menteri pekan lalu menyerukan agar warga Israel menerima isolasi internasional yang semakin besar dan menjadikan Israel sebagai “super-Sparta”.
Puluhan ribu orang berdemonstrasi di Israel pada akhir pekan menentang pemerintah dan mendesak adanya kesepakatan untuk memulangkan para sandera Israel yang ditawan Hamas di Gaza sejak serangan 2023.
Koalisi kelompok keluarga sandera pada Minggu menyatakan mengutuk “pengakuan tanpa syarat berbagai negara atas negara Palestina sambil menutup mata terhadap fakta bahwa 48 sandera masih berada dalam tawanan Hamas pasca pembantaian 7 Oktober”.
Pemimpin partai oposisi Demokrat, Yair Golan, mengatakan pengakuan Inggris adalah kegagalan politik serius Netanyahu dan menteri keuangannya yang sayap kanan, Bezalel Smotrich.
“Ini adalah hasil langsung dari kecerobohan politik Netanyahu: penolakan untuk mengakhiri perang dan pilihan berbahaya berupa pendudukan serta aneksasi,” kata Golan. “Isu negara Palestina tanpa militer bisa dan seharusnya menjadi bagian dari kesepakatan regional yang luas yang dipimpin Israel dan menjamin kepentingan keamanan kita.”
Pertanyaan sekarang adalah bagaimana Israel merespons. Analis di Israel memperkirakan Netanyahu baru akan mengambil keputusan setelah kunjungannya ke Washington pada akhir bulan ini.
Smotrich dan Itamar Ben-Gvir, menteri keamanan nasional sayap kanan, menyerukan aneksasi besar-besaran atas Tepi Barat yang diduduki.
“Zaman ketika Inggris dan negara lain menentukan masa depan kita sudah berakhir … Satu-satunya respons terhadap langkah anti-Israel ini adalah kedaulatan atas tanah air bersejarah bangsa Yahudi di Yudea dan Samaria, serta menghapus secara permanen ilusi negara Palestina dari agenda,” kata Smotrich di X. II The Guardian

Komentar