Kolom
Beranda » One Piece sebagai Simbol Perlawanan Gen Z

One Piece sebagai Simbol Perlawanan Gen Z

Fenomena bendera One Piece yang berkibar dalam demonstrasi besar di Indonesia, Nepal, Filipina, hingga Prancis, bukanlah hal sepele. Dari kacamata antropologi gerakan sosial, simbol budaya pop seperti ini menandai pergeseran cara generasi muda menyampaikan protes politik. Mereka tidak lagi mengandalkan bahasa formal politik atau jargon ideologi lama, melainkan mengadopsi bahasa populer yang akrab, cair, dan global.

Di Indonesia, simbol One Piece muncul bersamaan dengan tuntutan “17+8” yang belum terpenuhi. Generasi muda yang lahir dalam era digital menjadikan anime dan manga sebagai bagian dari keseharian. Ketika frustrasi terhadap korupsi dan gaya hidup pejabat yang mewah meluap, mereka meminjam imajinasi bajak laut Luffy untuk melambangkan perlawanan terhadap otoritas yang dianggap menindas. Dalam hal ini beroperasilah apa yang disebut sebagai cultural appropriation, situasi di mana simbol budaya populer dipinjam untuk memberi makna baru sesuai konteks perjuangan.

Nepal menghadirkan cerita yang rada mirip, sekaligus lebih anarkis. Demonstrasi di sana pecah bukan hanya karena krisis ekonomi, tetapi juga akibat kasus hukum yang tidak ditindaklanjuti dan pemblokiran 26 media sosial. Secara simbolis, Gen Z Nepal terinspirasi oleh aksi di Indonesia dan mengibarkan bendera One Piece sebagai simbol perlawanan lintas batas. Fenomena ini menunjukkan terjadinya “transnational protest culture” yang bermakna bahwa meskipun konteks berbeda, generasi yang sama mengadopsi simbol bersama untuk mengekspresikan solidaritas dan kesamaan nasib.

Di Filipina, kemarahan publik dipicu skandal proyek banjir fiktif dan gaya hidup elite politik yang asyik melancong saat rakyat tenggelam. Di jalan-jalan Manila, simbol-simbol pop culture menjadi alat mobilisasi yang mudah dikenali. Bendera bajak laut bukan hanya ikon hiburan sebenarnya, tetapi juga metafora bahwa rakyat ingin merampas kembali kekayaan negara yang dikorupsi elite, sebuah “harta karun demokrasi” yang hilang.

Prancis memperlihatkan dimensi lain. Gerakan “Block Everything” memprotes kebijakan pemotongan anggaran sebesar €44 miliar (sekitar Rp. 748 triliun dalam 1 Euro Rp. 17.000). Di sana, bendera One Piece berkibar sebagai tanda perlawanan terhadap elite politik yang dianggap keras kepala. Kita lihat, dalam hal ini terjadi proses re-signification, yakni ikon Jolly Roger, yang dahulunya sebagai lambang bajak laut, kini dihidupkan ulang sebagai bendera perlawanan rakyat melawan kebijakan penghematan yang menyakitkan.

Fenomena ini menunjukkan bahwa Gen Z menjadikan budaya global sebagai bahasa politik baru. Mereka tumbuh dalam dunia digital, terbiasa mengekspresikan diri dengan meme, emoji, dan referensi anime. Dengan mengibarkan bendera One Piece, mereka menyampaikan pesan sederhana namun kuat: “kami bersatu melawan ketidakadilan.”

Gerakan Gen Z di atas menegaskan kepada kita bahwa setiap protes membutuhkan simbol yang mempersatukan. Saat ini, karakter fiksi telah bertransformasi secara gagah sebagai ikon perlawanan. Hal-hal fiksi tidak lagi diperlakukan sebagai fiksi an sich, akan tetapi sebagai ‘perwakilan rasa dan pikiran’ para demonstran. Jika tuntunan mereka tidak terpenuhi, sangat mungkin demonstrasi serupa atau bahkan lebih massif dapat terjadi dalam hari-hari yang akan datang.

Kehadiran bendera One Piece yang berkibar di jalan-jalan Jakarta, Kathmandu, Manila, hingga Paris tidak cukup hanya dilihat sebagai ‘ekspresi biasa’, akan tetapi harus dilihat sebagai ‘representasi kolektif’ massa yang merasakan ketidakadilan karena kebijakan yang tidak berpihak pada mereka.

Yanuardi Syukur (Doktor Antropologi UI)

Berita Terkait

Berita Terbaru

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *