Dalam seminar yang diselenggarakan ICMI Orsat Jatinegara di Perpustakaan Nasional, 24 Juni 1995, Hussein Umar, Sekjen Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia menguraikan kebijakan Orde Baru terhadap Gerakan islam di Indonesia.
Ia membagi kebijakan pemerintah terhadap umat Islam dalam dua babak. 1967-1987, pemerintah melakukan deideologisasi, depolitisasi dan sekulerisasi. “Deideologisasi politik dan depolitisasi Islam adalah bagian dari kebijakan kekuasaan yang mencerminkan sikap Islamofobia,“katanya dalam seminar yang dibuka Pangdam Jaya Mayjen TNI Wiranto itu.
Ia melukiskan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada babak itu sebagai berikut,“Terjadi rekayasa terhadap kekuatan-kekuatan sosial umat seperti golongan buruh, tani dan nelayan sehingga mengalami proses likwidasi. Dalam suasana Islamofobia itu kegiatan dakwah kalangan buruh, tani dan nelayan mengalami kelesuan dan kemandegan untuk masa yang lama, lebih dua dasawarsa dengan segala akibatnya bagi pembinaan umat. Ormas tani dan nelayan yang mengemban tugas-tugas dakwah juga mengalami Nasib yang sama.
Untuk masa yang lama, terjadi kekosongan dakwah di kalangan petani di pedesaan dan nelayan di daerah-daerah pantai miskin. Pada gilirannya di belakang hari mereka menjadi sasaran pemurtadan dengan memanfaatkan faktor kemiskinan, kebodohan, tekanan dan intimidasi.
Organisasi mahasiswa Islam mengalami nasib yang sama karena dilarang menghadirkan ormas mahasiswa di lingkungan kampus. Ormas pelajar Islam pun tersingkir dari sekolah lanjutan pertama dan sekolah lanjutan atas dengan lahirnya OSIS. Untuk masa yang lama, terjadi kevakuman kegiatan dakwah di kampus dan sekolah, sampai bangkitnya dakwah melalui masjid-masjid kampus.
Sikap kurang bersahabat terhadap Islam diperburuk dengan munculnya kasus pelanggaran busana jilbab, penghapusan libur bulan puasa, penerbitan sekitar 12 jilid buku PMP yang bertentangan dengan aqidah, penyelenggaraan SDSB, penjualan minuman keras, lokalisasi pelacuran dan sebagainya.“
Saat itu, peran CSIS (Centre for Strategic and International Studies) dan Benny Moerdani memang keterlaluan di Indonesia. Sehingga sekulerisasi dan deislamisasi menggejala di tanah air. Di zaman Benny umat Islam mengalami tragedi Lampung, Tanjung Priok, Aceh dan lain-lain.
Maka ketika Pak Harto memberhentikan Benny sebagai Panglima TNI pada 1988, masyarakat banyak yang bersyukur. Saat itu Pak Harto mengangkat Feisal Tanjung yang dianggap lebih akomodatif terhadap umat.
Bergesernya pemihakan Pak Harto kepada umat Islam, sebenarnya terjadi sejak pembentukan ICMI 1993. Saat itu ia setuju Habibie sebagai ketuanya. Bukan hanya itu, Pak Harto juga merestui pembentukan Koran Islam Republika yang merupakan koran aspirasi umat. Lahirnya koran ini membuat gegap gempita umat luar biasa. Sehingga banyak masyarakat yang menghimpun dana untuk diberikan kepada Republika.
Tahun 1988, Pak Harto pergi haji dan kemudian menampakkan kemesraannya kepada umat Islam. Sehingga ICMI makin berkibar, Bank Muamalat didirikan (1991), mendirikan Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila yang membangun ratusan masjid di Indonesia, merintis UU Zakat dan lain-lain.
Saat itu juga muncul isu rombongan ABRI Hijau yang dikomandani oleh Prabowo Subianto dan ABRI Merah Putih yang dikomandani oleh Wiranto. Isu ini menjadi panas, hingga Prabowo dituduh menyebabkan kerusuhan Mei 1998 yang menyebabkan Pak Harto turun dan akhirnya Prabowo dipecat Habibie.
Kedekatan pak Harto kepada ICMI dan umat Islam menjadikan panas CSIS dan berbagai kelompoknya. Sehingga kemudian mereka merancang agar Pak Harto turun selekasnya. Pembentukan PRD, demo-demo mahasiswa dan pembakaran Jakarta, tidak lepas dari peran CSIS saat itu. Ada salah seorang peneliti CSIS yang mengaku kepada sahabat penulis, bahwa merekalah yang merancang penurunan pak Harto itu.
Maka jangan heran saat ini, pemberian gelar pahlawan kepada Pak Harto mendapat tantangan keras dari kelompok-kelompok yang sejak awal memang tidak suka Pak Harto mendekat dengan umat Islam. Harian Kompas dan Tempo termasuk yang tidak setuju gelar pahlawan disematkan kepada Pak Harto.
Pak Harto mesti dicari-cari kesalahannya, misalnya karena membunuh jutaan orang komunis, menumpuk kekayaan trilyunan dan sebagainya. Padahal tuduhan membantai jutaan orang komunis itu tidak terbukti. Tidak pernah ada kuburan orang komunis di tanah air sampai jutaan dan juga tidak terbukti pak Harto punya kekayaan trilyunan seperti dituduhkan Majalah Time (Amerika Serikat).
PKI atau kaum komunis di Indonesia adalah penyebab kerusakan dan pembunuhan banyak jenderal dan kaum Muslim. Mereka beraksi sejak 1948 di Madiun. Bila kemudian kaum Muslim dan TNI membalas perang yang dilakukan PKI, maka yang salah adalah PKI. Mereka yang memulai. Jumlah korban diduga hanya ribuan, bukan jutaan seperti tuduhan tokoh PKI atau tokoh-tokoh yang pri PKI.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebut bahwa Soeharto ikut dalam peristiwa‐kunci seperti Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, serta terlibat dalam pertempuran di Ambarawa dan Semarang, bahkan menjadi komandan pada operasi pembebasan Irian Barat. Menurut Fadli, jasa‐jasa tersebut memenuhi salah satu kriteria yang diperlukan tokoh untuk mendapatkan gelar pahlawan.
Fadli juga menekankan bahwa era Soeharto ditandai program pembangunan lima tahun (Repelita), penurunan kemiskinan, dan peningkatan akses pendidikan—yang menurutnya menjadi bagian dari jasa besar bagi bangsa.
Fadli menyatakan bahwa pengusulan nama‐nama calon pahlawan telah melalui kajian sejak tingkat kabupaten, kota, provinsi hingga Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP). Ia menyebut bahwa nama Soeharto telah diusulkan sebanyak tiga kali dan “memenuhi syarat” dari berbagai layer.
Walhasil, bagi umat Islam yang faham sejarah, maka penganugerahan Pak Harto sebagai pahlawan nasional adalah hal yang patut disyukuri. Bagi kalangan yang pro PKI memang Pak Harto adalah musuh atau bajingan. Karena Pak Harto bersama Pak Nasution adalah dua petinggi negara yang melumpuhkan pemberontakan PKI 1965.
Pak Harto diturunkan kelompok CSIS dan gengnya pada 1998, ketika ia tengah mesra-mesranya berangkulan dengan umat Islam. Insya Allah Pak Harto adalah husnul khatimah di akhir masa pemerintahannya. Wallahu azizun hakim. II
Nuim Hidayat, Direktur Forum Studi Sosial Politik

Komentar