Kolom
Beranda » Perpecahan KAMMI dan Momentum Kebangkitan Gerakan

Perpecahan KAMMI dan Momentum Kebangkitan Gerakan

Isu perpecahan yang menimpa Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) belakangan ini memantik diskusi serius tentang arah gerakan mahasiswa Islam. Kabar pemecatan Ketua Umum Ahmad Jundi oleh sejumlah pengurus melalui rapat pleno daring, serta penunjukan pejabat ketua umum baru, menjadi perbincangan hangat. Meski KAMMI Pusat membantah dan menyebutnya hoaks, munculnya isu ini menunjukkan adanya masalah serius di tubuh organisasi.

KAMMI lahir pada 1998 sebagai motor perubahan. Ia menjadi lokomotif mahasiswa Islam yang mengawal agenda reformasi. Namun kini, wajah KAMMI tidak sekuat dulu. Konflik internal memperlihatkan adanya krisis konsolidasi dan pergeseran orientasi. Jabatan dan kepentingan elit kerap mengalahkan idealisme. Sementara basis mahasiswa yang dulu menjadi kekuatan utama semakin jauh dari perhatian.

Fakta lain yang mencolok, KAMMI kini tidak lagi mendominasi kepemimpinan BEM di kampus-kampus besar. Padahal, dulu pos-pos strategis di lembaga kemahasiswaan adalah bukti pengaruh KAMMI. Hilangnya posisi ini menandakan turunnya daya tawar organisasi. Mahasiswa pun mulai memandang KAMMI bukan lagi pelopor, melainkan organisasi biasa yang sulit bersaing dengan HMI, PMII, IMM dan lainnya.

Situasi ini harus menjadi alarm. Perpecahan tidak boleh dibiarkan menjadi krisis berkepanjangan. Sebaliknya, ini harus menjadi momentum pembenahan besar. KAMMI harus kembali kepada jati dirinya sebagai gerakan dakwah, intelektual, dan sosial. Ia harus hadir untuk menjawab problem mahasiswa dan persoalan bangsa, bukan hanya mengurus konflik elit.

Pembaruan ide dan format gerakan mutlak diperlukan. Gagasan KAMMI harus kembali kokoh di atas nilai keumatan dan kebangsaan. Tradisi diskusi dan produksi pemikiran harus dihidupkan. Kader tidak cukup hanya berteriak di jalanan, tetapi harus siap melahirkan solusi berbasis data dan riset.

Format gerakan juga harus berubah. Di era digital, KAMMI perlu membangun kekuatan di ruang media sosial dan mengelola narasi publik. Namun, penguasaan dunia maya tidak boleh mengorbankan basis di kampus. Kaderisasi harus diperkuat dengan pola yang relevan: pelatihan kepemimpinan, literasi digital, dan keterampilan hidup yang membuat kader siap bersaing di era modern.

Kesadaran bahwa mahasiswa adalah basis riil KAMMI juga penting. Mereka bukan sekadar objek rekrutmen, tetapi komunitas yang harus dilayani. Itu berarti KAMMI harus hadir dengan advokasi atas isu-isu mahasiswa: biaya kuliah, fasilitas kampus, dan hak akademik. Program seperti bimbingan karier, ruang diskusi, dan akses beasiswa akan memberi manfaat nyata. Di sinilah kolaborasi dengan alumni menjadi strategis. Alumni dapat membuka jejaring, memberi mentoring, dan dukungan profesional agar KAMMI kembali relevan.

Lebih jauh, KAMMI harus berani merumuskan strategi besar agar tidak semakin terpinggirkan. Strategi ini tidak hanya untuk bertahan, tetapi juga untuk membuat lompatan yang memungkinkan KAMMI melampaui organisasi lain seperti HMI atau PMII, baik di kampus maupun dunia pasca kampus. Itu berarti memperkuat basis, menguasai ruang digital, dan menghadirkan kader unggul yang siap menjadi pemimpin di berbagai lini kehidupan.

Jika ini tidak dilakukan, KAMMI akan terus kehilangan pengaruh dan ditinggalkan basisnya. Tetapi jika krisis ini dijadikan titik balik, KAMMI berpeluang lahir kembali sebagai kekuatan yang benar-benar hadir untuk umat, bangsa, dan dunia mahasiswa. Termasuk menunaikan cita-cita menjadi lokomotif kejayaan Indonesia 2045.

 Arif Susanto

Berita Terkait

Berita Terbaru

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *