Salah satu perbedaan yang penting antara pemerintah Jokowi dan Prabowo adalah dalam hal Deislamisasi dan Dehabibisasi. Selama hampir 10 tahun pemerintahannya, Jokowi melakukan Deislamisasi. Memenjarakan tokoh-tokoh dan aktivis Islam, seperti Habib Rizieq, Munarman, Ustadz Farid Okbah, Dr Anung al Hamad, Dr Zain Najah dan lain-lain. Selain itu, Jokowi juga melakukan pembubaran organisasi massa Islam yang solid, yaitu FPI dan HTI. Bukan hanya itu, dai-dai yang berceramah di kantor-kantor pemerintahan pun dipilih. Hanya dai yang pro pemerintah yang boleh berceramah. Agenda deradikalisasi yang anggarannya milyaran, hanya ditujukan kepada umat Islam. Seolah-olah umat Islam ‘selalu salah’ dalam kacamata pemerintahan Jokowi.
Dehabibisasi yang dilakukan Jokowi dan kroninya, juga terlihat nyata. Habibie pernah menggagas mobil nasional (Timor), tapi Jokowi meninggalkannya. Jokowi lebih fokus membuka pasar untuk pabrikan mobil asing, terutama Jepang, Korea, dan belakangan China (mobil listrik, baterai EV).
Habibie mendirikan IPTN yang sukses membuat pesawat N-250. Di era Jokowi, proyek pesawat R80 (yang merupakan kelanjutan mimpi Habibie dan dirintis PT Regio Aviasi) tidak didukung anggaran negara. Jokowi menyebut proyek itu harus dibiayai swasta, bukan APBN. Akibatnya, R80 mandek. Begitu juga PT PAL dan PT Pindad tidak didukung pengembangannya. Jokowi lebih fokus ke proyek infrastruktur fisik (jalan tol, bendungan, kereta cepat) ketimbang riset teknologi tinggi.
Prabowo nampaknya tidak mau mengulangi kesalahan Jokowi. Ia tidak fokus pembangunan infrakstruktur sebagaimana Jokowi. Prabowo lebih mengutamakan penanggulangan kemiskinan di tanah air daripada pembangunan jalan tol, bandara, kereta cepat dan lain-lain. Dukungan terhadap warisan Habibie terlihat, ketika dalam pelantikannya 20 Oktober 2024 lalu Ia menggunakan kendaraan MV3 Garuda Limousine buatan PT Pindad. Prabowo memang dikenal cukup dekat dengan Habibie.
Dalam masalah politik internasional, Prabowo juga mendapat pujian. Presiden ke 8 ini terlihat tampil percaya diri dan berbicara mengesankan dalam forum-forum internasional. “Prabowo berhasil menaikkan posisi tawar Indonesia di mata dunia. Ia punya karisma yang membuat negara lain mau mendengar,” kata pengamat hubungan internasional, Hikmahanto Juwana.
Hal itu terlihat juga tentang kepedulian Prabowo terhadap Nasib umat Islam di Gaza Palestina. Prabowo mengirim bantuan makanan lewat tiga pesawat langsung ke Gaza. Selain itu, ketika Israel menyerang Qatar (9/9), tiga hari kemudian Prabowo datang langsung menemui Emir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad Al-Thani di Istana Lusail, Doha pada 12 September 2025.
Selain itu, gaya politik Prabowo yang ingin merangkul semua pihak, banyak yang salut kepadanya. Ia bukan hanya merangkul mantan-mantan presiden sebelummnya, seperti SBY, Megawati dan Jokowi. Tapi ia juga merangkul beberapa jenderal (purnawirawan) di masa lalu yang ‘memusuhinya’, seperti Wiranto, Luhut, Hendropriyono, Agum Gumelar dan lain-lain. Prabowo memang berprinsip, musuh satu terlalu banyak.
Kebijakan-kebijakan Prabowo yang berbeda dengan Jokowi, bukan berarti mendapat tanggapan positif semua dari masyarakat. Beberapa kebijakan presiden ke 8 ini, ada yang mendapat kritikan keras dari masyarakat. Diantaranya kebijakannya tentang MBG, Makan Bergizi Gratis.
Badiul Hadi, seorang ekonom menyatakan bahwa mengatakan pemerintah “sebenarnya tidak siap” menjalankan MBG karena ada penurunan anggaran per porsi. Dari awal direncanakan Rp 17.500 turun ke Rp 15.000, kemudian ke Rp 10.000. Rocky Gerung mengkhawatirkan pemangkasan anggaran yang dilakukan untuk memuluskan MBG, akan berdampak terhadap ekonomi daerah. Dan ini sekarang terjadi.
Untuk tahun 2026, anggaran MBG diperkirakan lebih dari 300 trilyun. Saiful Mujani, Guru Besar Ilmu Politik UIN Jakarta mengkritik bahwa MBG dipukul rata ke semua wilayah/anak sekolah, bukan hanya mereka yang sangat membutuhkan. Ia mempertanyakan apakah proyek ini justru menjadi alat politik, bukan semata-mata program kesejahteraan publik. Ia mengungkap kekhawatiran bahwa pemerintah “ngejar target untung untuk kroni” melalui MBG. Kritikan juga mengalir karena pemerintah lebih memperhatikan makanan, daripada kesejahteraan guru, kualitas guru, prasarana sekolah dan lain-lain.
Kebijakan Prabowo menganugerahkan tanda kehormatan kepada 141 tokoh dalam rangka peringatan HUT ke-80 Republik Indonesia lalu, juga banjir kritikan. Rocky Gerung menilai pemberian penghargaan tersebut lebih didasarkan pada pertimbangan politik ketimbang kontribusi nyata terhadap bangsa. Wiranto dan A.M. Hendropriyono yang diberikan penghargaan juga dianggap kontroversial, karena keterlibatan mereka dalam pelanggaran HAM di masa lalu. Selain itu, pemberian penghargaan kepada tokoh-tokoh politik seperti Puan Maharani, Ahmad Muzani, dan Zulkifli Hasan juga dipertanyakan. Kritikus menilai bahwa langkah ini berpotensi memperkuat dominasi politik tertentu dan mengurangi independensi lembaga negara.
Di tengah-tengah pujian dan kecaman kepada Prabowo, Habib Rizieq menyatakan dukungannya kepada Prabowo karena telah mengganti Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menkopolkam Budi Gunawan. Menurut Habib, Sri Mulyani adalah tukang palak dan senangannya terus menerus memalak masyarakat. Sedangkan Budi Gunawan, menurutnya terlibat dalam pembunuhan enam laskar FPI di KM 50.
Walhasil, menarik melihat sikap dua tokoh Islam senior terhadap Presiden Prabowo. Yaitu Habib Rizieq Shihab dan Profesor Amien Rais. Keduanya bersikap pertengahan, apresiatif dan kritis. Atau dengan kata lain berprinsip amar makruf nahi mungkar. Hal-hal makruf yang dilakukan presiden, perlu didukung dan hal-hal mungkar yang dilakukan presiden, perlu dkritisi. Sebagai rakyat, jadilah ‘watchdog’ untuk presiden, jangan jadi pak Turut. Wallahu alimun hakim.
Nuim Hidayat, Direktur Forum Studi Sosial Politik

Komentar