Sosok peneliti Klimatologi di Pusat Riset Iklim dan Atmosfer, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) ini sempat viral usai memprediksi hujan ekstrem dan badai dahsyat (severe storm) di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi beberapa waktu lalu. Siapakah dia? Sosok ini akrab dipanggil Prof. Erma Yulihastin. Ahli klimatologi dan perubahan iklim, lahir di Lamongan pada 4 Juli 1979. Selama mahasiswa, selain kuliah, dirinya juga aktif di Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Sebuah gerakan mahasiswa yang tak hanya fokus pada politik kontemporer, tetapi juga menaruh perhatian pada kegiatan ilmiah (akademis).
Dengan latar belakang pendidikan dari ITB (Sarjana Geofisika dan Meteorologi 2002, Magister Sains Kebumian 2014 dan Doktor Bidang Sains Atmosfer 2020), dia mengembangkan riset-riset berkaitan dengan cuaca ekstrem dan mengembangkan model prediksinya untuk wilayah Indonesia dan Asia Tenggara. Melalui 55 karya tulis ilmiah dan 46 artikel populer, serta kontribusinya dalam pembinaan kader ilmiah, Erma memperoleh pengakuan dan penghargaan, serta menjadi inspirasi bagi peneliti muda.
Sosok wanita yang hobi berenang ini dikukuhkan menjadi profesor riset bidang kepakaran cuaca dan iklim ekstrem pada Kamis, 25 April 2024, di Gedung B.J. Habibie BRIN, empat tahun setelah ia memperoleh gelar Doktor di bidang Sains Kebumian pada 22 April 2020.
Erma juga dikenal sebagai ahli klimatologi yang aktif melakukan komunikasi mitigasi kebencanaan berkaitan dengan cuaca ekstrem salah satunya dengan sering membagikan informasi analisis cuaca dan iklim ekstrem lewat media sosial X dan IG pribadinya. Tindakan ini dianggapnya berguna untuk meningkatkan kewaspadaan dan literasi masyarakat akan fenomena cuaca ekstrem yang berpotensi melanda wilayah Indonesia, jika tidak diantisipasi sedari awal.
“75 persen wilayah Indonesia diisi dengan perairan, namun dari riset yang saya temui, mitigasi dan pemantauan untuk fenomena cuaca iklim masih sangat minim di Indonesia. Artinya kita perlu meningkatkan alat dan sarana pemantauan serta dukungan data center khusus atmosfer agar bisa menghasilkan teknologi prediksi cuaca dan iklim yang akurat untuk Indonesia bahkan Asia Tenggara,” ujar Erma.
Ditambah lagi, kata Erma, pemahaman terkait interaksi antara komponen laut-atmosfer yang memicu cuaca ekstrem di Indonesia juga masih sedikit. Kondisi ini membuat segenap pihak mengabaikan ancaman yang sudah menunggu di depan mata.
“Perlu adanya perbaikan akurasi model akan prediksi cuaca global, supaya lebih detail dan membantu masyarakat dalam pemantauan, mitigasi, dan adaptasi terhadap cuaca ekstrem,” ucap Erma.
Erma juga mengkaji tentang pemanfaatan kecerdasan buatan atau AI untuk pemodelan cuaca ekstrem di Indonesia. Riset tentang ini sedang dilakukan Erma dan tim di BRIN dengan kolaborator utama dari Malaysia dan Cina, serta Amerika Serikat dan Australia.
“Tahun ini kami mengajukan proposal kolaborasi yang melibatkan tiga negara antara Indonesia-Malaysia-Cina dengan periset dari lembaga riset dan perguruan tinggi untuk memprakarsai penerapan deep learning AI dalam memprediksi cuaca ekstrem yang berdampak luas dapat mengancam negara-negara di Asia,” katanya.
Dengan mendirikan pusat studi cuaca ekstrem tersebut, dibutuhkan High Performance Computing (HPC) yang kini telah dimiliki oleh BRIN dan Cina Academic of Science (CAS). Menurutnya, butuh waktu sekitar lima tahun lagi untuk menyelesaikannya hingga dapat menghasilkan sistem prediksi yang paling akurat dan optimal di Asia.
Selain itu, pemodelan prediksi cuaca ekstrem menurutnya harus terintegrasi dengan prediksi jangka menengah dan panjang yaitu prediksi musim dan iklim agar dapat optimal mendukung kebijakan dan strategi perencanaan pemerintah di berbagai sektor.
“Kami mengembangkan berbagai tools DSS yang spesifik salah satunya dalam mendukung target pemerintah pusat untuk mewujudkan swasembada pangan dan energi. Misalnya saja, pertanian kita harus presisi dan cerdas iklim sehingga butuh prediksi musim dan iklim yang sangat akurat.” paparnya.
Pengembangan DSS yang ia lakukan di BRIN selama ini telah berkolaborasi dengan swasta dan diimplementasikan untuk mendukung kinerja korporasi di bidang perkebunan dan holtikultura seperti PT. Mitra Tanam Sejahtera dan PT. East West Seed Indonesia.
Dijelaskan lebih lanjut, data prediksi cuaca, musim, iklim yang kopel dengan resolusi spasial yang sangat tinggi harus diproduksi secara mandiri oleh Indonesia karena data-data tersebut sangat strategis dan dibutuhkan secara luas di berbagai sektor kehidupan. Apalagi di tengah situasi krisis iklim global yang semakin memburuk, kemandirian bangsa Indonesia sebagai produsen data-data atmosfer dan laut adalah kunci agar mitigasi bencana hidrometeorologi dapat dilakukan secara efektif dan efisien.
“Efisien karena kita tak perlu lagi beli data-data prediksi dari luar negeri,” tegasnya. Sebaliknya, jika Indonesia berperan sebagai produsen big data prediksi atmosfer dan laut, Indonesia juga bisa membantu negara-negara lain di Asia Tenggara melalui data-data prediksi tersebut. “Data-data yang sangat strategis tersebut juga dapat menjadi outcome untuk mendongkrak perekonomian Indonesia.” ujarnya.
Oleh karena itu, komitmen pemerintah untuk fokus membangun data center dan AI menurutnya sudah selaras dengan kebutuhan dan tantangan zaman agar Indonesia menjadi negara maju produsen big data dan AI. “Data center berupa HPC yang didedikasikan khusus untuk dapat menghasilkan prediksi cuaca dan iklim di Asia Tenggara sangat mendesak dan memiliki nilai strategis untuk segera didirikan di Indonesia.” harapnya.
Di tengah kiprahnya dalam melakukan riset-riset berkelas dunia, sebagai Ketua Kelompok Riset, ia juga membina talenta periset jenjang di bawahnya, mulai dari pertama, muda, dan madya. Ia juga mengajar 25-30 mahasiswa dari sepuluh universitas yang tersebar di Indonesia melalui program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). “Kelompok Riset saya tiap semester telah menerima MBKM hingga angkatan ketujuh sejauh ini.” ujarnya bangga.
Di luar tantangan eksternal yang membutuhkan penyesuaian, Erma mengungkap tantangan dari internal seperti demotivasi alias jenuh.
Solusinya, Erma, yang berkantor di Kawasan Sains Teknologi Samaun Samadikun, Cisitu, Bandung, ini aktif membuat tim-tim periset untuk mengeksekusi program riset, memimpin coaching penulisan publikasi ilmiah, dan aktif memimpin diskusi di kelompok risetnya bersama sesama periset untuk saling berbagi pengetahuan dan keterampilan, serta saling memotivasi.
Menurut Erma, dunia periset membutuhkan passion, ketekunan, dan kegigihan yang perlu terus-menerus dijaga karena apa yang dikerjakan lebih banyak berasal dari hasil inisiatif diri sendiri, bukan atas arahan dari pihak lain ataupun atasan. “Pintar saja tak cukup, kita juga dituntut untuk sangat kreatif dan selalu punya banyak ide.” paparnya.
Untuk tantangan eksternal, Erma menyebut surutnya dukungan dana publikasi dari pemerintah pada awalnya dirasakan telah memicu “demotivasi” di kalangan periset. Namun, para periset lambat laun mulai beradaptasi bahkan dengan cepat mampu menguasai skill menulis dan menghasilkan publikasi global dalam jumlah yang meningkat secara dramatis sehingga mampu mengerek indeks inovasi global Indonesia dari 83 ke 57. “BRIN bisa dikatakan adalah pabrik penghasil publikasi dan paten terbesar di Indonesia.” kenangnya.
Sebagai periset, penelitian adalah hal yang paling berkesan karena dapat memberikan dampak besar, baik untuk ilmu pengetahuan maupun masyarakat.
Salah satu contoh adalah penelitiannya berjudul “Variasi Fase Siklus Diurnal Curah Hujan di Pesisir Utara Jawa Barat dan Kaitannya dengan Fenomena CENS (Atmosfer)-Cold Tongue (Laut)”. Studi ini mengungkap bagaimana hujan dini hari di daratan berkaitan dengan fenomena cuaca ekstrem.
Inilah kisah sosok kita kali ini. Dengan beragam potensi, keahlian dan fakta lapangan. Menjadikan kita memahami bagaimana kondisi ideal seringkali tak kita dapatkan. Untuk itu, justru inilah peluang kolaborasi. Membuka ruang kolaborasi, kerja-kerja bersama dengan publik luas. Demi Indonesia yang maju dan lebih baik lagi.
(Yons Achmad/ERABARU.ID)

Komentar