Mereka bilang “Penumpang gelap Reformasi”. Hari ini apakah akan diulangi lagi, keledaipun tidak akan jatuh dilubang yang sama, kata pepatah. Tentu saj abangsa ini bukankumpulan keledai itu, saatnya merenung…
Kenapa reformasi yang gegap gempita didukung semua people power seantero negeri tapi tidak menghasilkan sesuatu signifikan yang berarti untuk perbaikan berarti?
Jawabannya, karena gebrakan rakyat dalam temporary hanya mengganti wajah tetapi tidak mengubah system.
Mengganti wajah hanya mengganti pemain, mengganti actor, seringkali actor yang di swich merupakan kroni-kroni setipe yang tidak beda dengan pemain lain di panggung yang sama, dari inner circle yang itu lagi – itu lagi, circle panggung elit politik. Itulah sebabnya reformasi tidak berdampak apapun bagi perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara, kecuali hanya penambahan- penambahan jumlah lembaha negara, penambahan lembaga pengawas penambahan istitusi-institusi yang ujung-ujungnya jadi beban keuangan negara dengan fungsi yang tidak maksimal, bahkan mubadzir.
Sebut saja Kompolnas (Komisi Polisi Nasional) yang dalam kasus Sambo justru bukan mengawasi kinerja POLRI alih-alih malah jadi “Jubir” institusi yang seharusnya diawasinya. KPK (Komisi Pengawas Korupsi) yang ke sini ribut mengalami pelemahan institusi, fungsinya memiliki kesamaan dengan kejaksaan, korupsi tidak semakin berkurang semakin menggila, benarkan korupsi diberantas, atau ada system yang keliru (misliding conception) dalam system hukum bernegara kita?.
Pengawas BPJS, justru memerankan fungsi Public Relation bagi lembaga yang seharusnya justru ia awasi, sehingga polemik yang membelit BPJS tidak kunjung teratasi, Solusi BPJS dari tahun ketahun hanya (overing idea) tawaran kenaikan tarif yang semakin membuat Masyarakat tercekik, alih-alih menentramkan dengan perbaikan tata kelola yang menentramkan. Terakhir banget Bandan Gizi Nasional, tidak cukupkan di submite dibawah Departemen Kesehatan dibawah Menteri Kesehatan dengan organ-organ Direktur Jendral nya, serius nanya ini.
Kekeceawan rakyat mencapai puncaknya ketika pajak-pajak dinaikkan, rekening dorman disandra kepemilikan dirampas, terakhir DPR joget-joget untuk tunjangan rumah, kontras dengan ketercekikan rakyat atas pajak-pajak yang menyempitkan rakyat, ditengan krisis, inflasi, melemahnya pasar, dan daya beli Masyarakat yang semakin melemah.
Apakah reformasi akan digulirkan kembali, apakah reformasi akan kembali diberakhir tragis, dengan kesadaran yang terlambat dengan menyebutnya sebagai “Penumpang gelap Reformasi” atau “reformasi yang di kebiri”, atau sebutan kambing hitam lainnya.
Jika Masyarakat hanya meminta pergantian pemain maka elit politik punya seribu satu wajah pemain Cadangan untuk pengganti pemain aktor kontestasi orkestra dipanggung elit negeri. Tetapi yang perlu diminta adalah perubahan system, perubahan hukum, kawal ketat, jangan ijinkan DPR sahkan RUU lain sebelum RUU vital yang menjamin reformasi ini mengubah system berjalan baik siapaun yang jadi presidennya, siapapun yang jadi KAPOLRI nya, berjalan baik siapun yang jadi BUPATI nya, siapapun Gubernur, siapapun Mentrinya.
Masyarakat dibebani oleh negara disakiti” oleh negara melalu 7 bentuk jalan dalam Hukum Administrasi negara disebut alat-alat negara tersebut diperinci menjadi 7 alat negara (Instrument Pemerintahan ) yaitu, 1.Perundang-undangan, 2. Keputusan Tata Usaha Negara, 3. Perizinan, 4. Master Plan Perencanaan, 5. Instrumen Keperdataan, 6. Tindakan Faktual, 7. Kebijakan (belidsregel).
Perundang-undangan patut diduga menelan korban merugikan Masyarakat paling banyak, perpajakan, Tapera, iuaran BPJS, perizinan tambang, perlindungan Lingkungan hidup, pengaturan Sampah Plastik, pengaturan berbagai bantuan, zonasi sekolah, pengaturan penataan Ruang yang tidak berpihak kepada Masyarakat adat, dll. Dalam ilmu hukum kerugian terhadap yang timbul dari dampak perundangan dapat menempuh upaya perlindungan hukum melalui Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi dengan uji materiel (judicial review), Masyarakat mana yang terlindungi?
Masyarakat yang berduit saja yang bisa mengakses keadilan dengan jalur ini, tidak benar-benar melindungi masyarakat disemua lapisan strata ekonomi. Masyarakat menegah kebawah akhirnya lebih memilih bersabar menerima dan pasrah. Daripada harus pergi keJakarta, jangakan memikirkan harga pengacara untuk mewakili kepentingan mereka, ongkos untuk pergi ke Jakarta saja bagi mereka adalah angka-angka yang prestisius, mending bayar pajak, bayar iuran, atau punglinya sekaian untuk menjamin kemanan walaupun sementara teporer daripada ngongkos ke Jakarta sehinggan keadilan menjadi kata absurt yang tidak terjangkau bagi mereka.
Mungkin akan ada pakar yang menyanggah dengan mengatakan kalau kemampuan ekonomi Masyarakat lemah, bisa beraliansi, patungan, konsolidasi, atau apapun namanya melalui institusi perwakilan organisasi, komunitas, atau melalui NGO (LSM) semisal. Mari bertanya pada diri sendiri apakah semua case dapat melalui jalur itu? Seringkali jalur itu baru berfungsi ketika sudah jatuh korban, sudah ada yang sekarat, sudah ada yang injuri, kritis, bahkan kematian, kerugian parah, dampak massif, dll. Maka dapat disimpulkan bahwa mekanisme sosial politik adalah mekanisme yang mahal ongkos sosialnya karena menunggu ada korban dulu baru meledakkan momentum, naahhh..
Apakah negara ini mau dimanage dengan black box teori, meledak dulu baru memperbaiki diri seperti pesawat yang jatuh? Negara kolaps dulu baru mau berfikir jalan keluarnya, yang artinya menelan banyak korban dulu baru kita berbenah… tentu bukan tatakelola itu seharusnya yang kita maui untuk kita wariskan kepada anak-anak kita. Karena kita tidak mau menempatkan anak-anak diujung tanduk buruknya tata kelola negara, tetapi harus ada perubahan system yang mejamin menggaransi dan mencegah itikad buruk terkonsolidasi siapapun actor/pemain penyelenggara negaranya.
Standar pelayanan harus diterapkan disemua sektor pelayanan disemua lini produk akhir perundang-undangan. Standar pelayanan sebagaimana amanah Pasal 21 UU No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik tanpa syarat, tanpa nanti, tanpa tapi. Standar Pelayanan meliputi 14 komponen yaitu; 1. Dasar hukum, 2. Persyaratan, 3. System mekanisme prosedur, 4. Jangka waktu pelayanan, 5. Tarif/biaya, 6. Produk layanan, 7. Sarana Fasilitas, 8. Kompetensi Pelaksana Pelayanan, 9. Pengawasan Internal, 10. Penanganan pengaduan, 11. Jumlah pelaksana, 12. Jumlah pelayanan, 13. Jaminan kemanan, 14. Evaluasi Kinerja Pelaksana. Terlaksana minimal no 1-5 sudah bagus, no. 1-9 lebih bagus. Penerrapan standar pelayanan diseluruh lini layanan pemerintahan minimal menunjang keterbukaan dan mencegah korupsi. Izin pertambangan minimal dengan standar pelayanan yang harus terpublish di website kementrian, kanwil-kanwil dan departemen. Mempersempin “ruang bermain oknum” mempersempit ruang tawar menawar yang kemudian menjadi pintu pasuk korupsi.
Menambahkan norma saja tentu saja tidak cukup harus dipastikan dimana materi ini dimuat apakah di UU 5 Tahun 1986 jo UU No.9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan perubahannya atau di UU No.30 Tahun 2014 tetang Administrasi Pemerintahan, dengan menyertakan sanksi berupa penetapan bahwa keterlambatan penetapan standar pelayanan harus berkonsekwensi 5% anggaran instansi bersangkutan di tahun anggaran berikutnya. Agar materi pengaturan memiliki daya ikat yang tidak sekedar himbauan tidak bergig oleh atasan masing-masing.
Siapapun presidennya siapapun kepala daerahnya siapapun menterinya siapapun wakil presidennya hukum dan rakyat memaksa mereka untuk tunduk pada kesepakatan bersama yaitu keterbukaan Standar Pelayanan, jangan ada lagi mekanisme “bawah meja” yang terselip dibalik lipatan kesepakatan-kesepakatan gelap ketika hukum tidak mengatur secara lengkap, atau hukum terlewat memasukkannya sebagai materi pengaturan, minimal Standar pelayanan harus, suma-suma harus dipublih dalam laman web. Masyarakat dapat mengaksesnya (aksesability) sehingga menciptakan keterbukaan dan akuntability dan menaikkan level kepercayaan public kepada pemerintah dan negaranya.
Indah Cahyani
Kuliah Hukum Administrasi
Fakultas Hukum
Universitas Trunojoyo Madura

Komentar