Satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran menjadi sorotan publik. Harapan besar terhadap kebangkitan ekonomi Indonesia kini dibayangi kekhawatiran atas lonjakan beban fiskal dan ketidaksiapan sumber daya manusia menghadapi transformasi ekonomi digital.
Keluarga Alumni KAMMI (KAKAMMI) menggelar diskusi publik bertajuk “Refleksi dan Proyeksi: 1 Tahun Pemerintahan Prabowo–Gibran”dengan tema “Memacu Pertumbuhan Ekonomi: Telaah Kebijakan Ekonomi Pemerintahan Prabowo”, Sabtu (1/11). Acara yang berlangsung secara daring melalui Zoom ini menghadirkan ekonom dan Wakil Rektor Universitas Paramadina, Dr. Handi Risza, M.Ec, sebagai narasumber utama.
Wakil Ketua KAKAMMI, Yudha A Wiranagara,S.Sos. SH,.MH, mengatakan diskusi ini bertujuan mengajak publik untuk tetap kritis namun konstruktif terhadap kebijakan pemerintah.
“KAKAMMI ingin menghadirkan ruang intelektual yang berimbang. Kita tidak hanya mengkritik, tapi juga menawarkan perspektif solutif agar kebijakan ekonomi pemerintah benar-benar berdampak bagi kesejahteraan rakyat, KAKAMMI mendesak Pemerintah Realistis di 2026” ujar Yudha.
Ia juga mengingatkan bahwa tantangan ekonomi tahun 2026 tidak hanya soal angka, tetapi juga soal moral dan integritas kebijakan publik.
“Kebijakan ekonomi tidak boleh kehilangan ruh keadilan sosial. APBN harus menjadi alat keberpihakan terhadap rakyat kecil, bukan sekadar alat akumulasi kekuasaan ekonomi,” tegasnya.
Diskusi publik yang berlangsung dua jam itu dihadiri ratusan peserta dari kalangan akademisi, aktivis, dan masyarakat umum. Antusiasme peserta menunjukkan tingginya perhatian publik terhadap arah ekonomi nasional di bawah pemerintahan baru.
Sementara, pembicara utama, dalam pemaparannya, Handi menilai arah kebijakan fiskal tahun 2026 berpotensi menghadapi tekanan berat. Program ambisius seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) sebesar Rp335 triliun, pembentukan Danantara Fund senilai US$20 miliar (sekitar Rp326 triliun), serta 80.000 Koperasi Merah Putih dengan total dana Rp400 triliun, menurutnya berpotensi membebani APBN secara signifikan.
“Defisit APBN 2026 diproyeksikan melebar ke 2,68 persen dari PDB atau sekitar Rp689 triliun. Ini naik dari target sebelumnya 2,48 persen. Kalau tidak hati-hati, tekanan fiskal ini bisa menekan ruang belanja produktif pemerintah,” ujar Handi dalam diskusi tersebut.
Ia menilai strategi pemerintah perlu lebih realistis dan fokus pada perbaikan efisiensi investasi. Rasio efisiensi investasi (ICOR) Indonesia yang mencapai 6,5 dinilai terlalu tinggi dibandingkan negara ASEAN lain yang berkisar antara 4,0 hingga 5,0.
“ICOR kita tinggi karena kebocoran anggaran, regulasi yang rumit, dan inefisiensi birokrasi. Pemerintah harus memperbaiki tata kelola investasi dan mempercepat reformasi birokrasi agar dana publik benar-benar produktif,” tegas Handi.
Handi juga menyoroti rendahnya kualitas sumber daya manusia. Sebanyak 38,8 persen tenaga kerja Indonesia masih lulusan SD ke bawah, dan indeks pendidikan nasional masih tertinggal dibanding negara tetangga.
“Kalau pendidikan dan keterampilan tenaga kerja tidak segera dibenahi, bonus demografi bisa jadi bumerang. Kita butuh strategi SDM yang konkret, bukan sekadar program populis,” tambahnya.
Menutup acara, Yudha, perwakilan KAKAMMI menegaskan komitmennya untuk terus menjadi mitra kritis pemerintah, mengawal kebijakan publik agar tetap berada di jalur proporsional: membangun ekonomi yang tangguh, berkeadilan, dan berpihak pada rakyat.

Komentar