Secara resmi, zakat kini dimasukkan ke dalam arsitektur keuangan syariah nasional. Dalam dokumen strategi Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), zakat ditempatkan bersama bank syariah, asuransi syariah, pasar modal, dan sukuk negara dalam satu ekosistem keuangan syariah. Berbeda dengan bank syariah dkk yang masuk ranah Keuangan Komersil Syariah, zakat (ZisWaf) masuk dalam Islamic Social Finance. Di atas kertas, ini tampak strategis. Tapi di balik itu, rawan terjadi pergeseran: Zakat dipahami sebagai bagian dari industri keuangan, bukan lagi sebagai ibadah sosial yang mengurus Manusia.
Dampaknya nyata. Lembaga zakat hari ini banyak yang meniru pola korporasi. Mereka bicara fundraising, branding, target kinerja, dan audit keuangan, tapi semakin jarang bicara tentang mustahik dan dampak sosial transformatif. Fokus bergeser: dari memberdayakan mustahik menjadi memuaskan muzakki dan memikat investor sosial. Yang dilaporkan: jumlah miliar yang dihimpun dan disalurkan—bukan berapa keluarga miskin yang bangkit mandiri.
Inilah bentuk gagal paham esensial terhadap zakat. Zakat bukan dana kelolaan, melainkan instrumen pembebasan. Zakat bukan produk ekonomi, melainkan ibadah yang menuntut kepekaan sosial dan ketulusan niat. Ketika zakat dipaksa tunduk pada logika industri, maka ruhnya perlahan hilang—yang tersisa hanya kemasan finansial yang hampa nilai.
Sudah saatnya lembaga zakat keluar dari jebakan industri. Kembalilah mengurus orang, bukan angka. Kembalilah menjadi pelayan mustahik, bukan pemuja performa. Karena zakat adalah jalan ibadah, bukan jalur bisnis.
Rano Karno Bilal.

Komentar