Filantropi
Beranda » Zakat dan Arah Kepedulian yang Bijak

Zakat dan Arah Kepedulian yang Bijak

Di banyak pelosok, zakat hadir dalam rupa sederhana: paket sembako untuk keluarga miskin, bantuan pangan bagi yang lapar, santunan untuk janda renta dan anak yatim yang kehilangan penopang hidup. Saat bencana datang, lembaga zakat pun bergerak cepat—mendirikan tenda, menyalurkan selimut, hingga mengatur logistik darurat. Semua ini adalah wajah nyata kepedulian, denyut yang membuat umat tetap merasa bersama.
Namun, jika direnungi lebih dalam, santunan yang terbatas waktu sering hanya meredakan lapar sesaat. Tenda darurat tak mampu bertahan lama, dan santunan janda atau yatim tetap menuntut kesinambungan. Lebih jauh, negara pun telah memiliki program sosial serupa: bantuan pangan, subsidi tunai, perlindungan sosial, hingga perangkat resmi penanggulangan bencana. Ketika zakat hanya mengulang peran itu, risiko tumpang tindih dan kurangnya efektivitas tak terhindarkan.
Refleksi ini mengajak kita menata ulang arah zakat. Bukan berarti meninggalkan bantuan pangan, santunan yatim, atau respon bencana. Semua itu tetap mulia dan mendesak. Tetapi zakat seharusnya juga menyalakan suluh yang lebih panjang: program pendidikan, keterampilan, dan pemberdayaan ekonomi. Di situlah zakat bisa mengangkat martabat mustahik dari penerima santunan menjadi pemberi manfaat.
Pada akhirnya, kita harus jujur bahwa dana zakat sangat terbatas. Bila terlalu larut pada santunan jangka pendek, potensi besar untuk mengubah kehidupan bisa terlewatkan. Karena itu, zakat perlu menyeimbangkan antara menjawab kebutuhan darurat dan menyiapkan pijakan kokoh agar mustahik dapat berdiri dengan mandiri.
Rano Karno Bilal. Pegiat Filantropi Islam.

Berita Terkait

Berita Terbaru

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *