Pernahkah kita memperhatikan suasana masjid ketika pengajian digelar atau saat waktu shalat berjamaah tiba? Betapa banyak masjid yang sunyi, pengajian yang sepi, dan shaf-shaf shalat yang tidak penuh. Bagi sebagian kita, ini mungkin hanya pemandangan biasa. Tapi bagi hati yang masih peduli, kondisi ini menyisakan keprihatinan yang mendalam.
Padahal aktivitas-aktivitas tersebut tergolong ringan. Tidak perlu tenaga besar atau biaya mahal. Cukup melangkahkan kaki, duduk, dan mendengarkan. Tapi sayangnya, bahkan untuk sekadar datang pun terasa berat. Sungguh ironi! Padahal Allah ﷻ dan Rasul-Nya ﷺ telah menjanjikan pahala yang besar bagi siapa saja yang mengisi waktu dengan ilmu dan amal. Dalam sebuah hadits, Rasul ﷺ bersabda:
“Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
Jika ibadah ringan seperti ini saja terasa berat, maka bagaimana dengan ibadah yang lebih menuntut pengorbanan, seperti zakat, infak, sedekah dan berhaji? Padahal, janji Allah ﷻ bagi mereka yang berinfak sangatlah jelas: balasan yang berlipat ganda dan keberkahan dunia-akhirat.
“Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji.” (QS. Al-Baqarah: 261)
Fenomena ini memperlihatkan bahwa banyak dari kita masih beribadah secara mekanis—belum tumbuh dari kesadaran. Kita melakukan ibadah karena kebiasaan lingkungan, bukan karena telah mengenal Allah ﷻ atau menyadari identitas kita sebagai hamba. Akibatnya, ibadah terasa berat, kering, bahkan kadang dipandang sebagai beban.
Inilah akar persoalan kita: *berislam karena warisan, bukan karena pencarian*. Kita lahir sebagai muslim, tapi belum tentu mengenal siapa Tuhan yang kita sembah, atau memahami untuk apa kita hidup. Maka jangan heran jika ada yang secara administratif beragama, tapi secara spiritual kosong.
Tanpa kesadaran ruhiyah, ibadah tak akan mampu membentuk pribadi yang kuat. Apalagi melahirkan jiwa-jiwa pejuang yang ikhlas dan sabar dalam memperbaiki diri maupun umat. Sebab keikhlasan itu bukan muncul tiba-tiba. Ia tumbuh melalui proses panjang: dari mengenal Tuhan, mencintai kebenaran, lalu membiasakan diri berbuat baik dalam suka dan duka.
Kesalehan bukanlah hasil instan dari momen musiman. Bukan karena datangnya Ramadan lalu tiba-tiba jadi baik. Bukan pula karena musim haji lalu mendadak taat. Kesalehan itu bertumbuh—dari proses pembelajaran yang berkelanjutan dan kebiasaan yang dirawat terus-menerus.
Maka solusinya bukan menunggu hidayah datang mendadak. Tapi *aktif menjemputnya*: belajar agama dengan serius, merenung, lalu mempraktikkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. Dan jangan jalani semua itu sendirian. Kita butuh berjamaah, agar semangat tetap terjaga dan langkah tetap istiqamah.
Kesimpulan:
Kesalehan bukan warisan, tapi hasil kesadaran. Ia dibangun perlahan dari ilmu, diamalkan dalam amal, dan dijaga dalam kebersamaan. Mari hidupkan kembali masjid, makmurkan majelis ilmu, dan tumbuhkan keikhlasan dalam berislam. Karena itulah awal dari kehidupan yang sejati.
Wallahu’alam, semoga bermanfaat!
Makkah Al Mukarramah, Ahad, 15 Juni 2025/19 Dzulhijjah 1446H.
(Irwan Hernanda/Erabaru.id)

Komentar