Oase
Beranda » Cara Hidupkan Pikiran yang Tenang

Cara Hidupkan Pikiran yang Tenang

Banyak cara menghidupkan pikiran yang tenang. Salah satunya dengan misalnya sehari hidup tanpa kesimpulan. Tanpa menarik sebuah kesimpulan. Membiarkan peristiwa yang dihadapi, tontonan yang kita lihat, juga fenomena perilaku keseharian sebagai apa adanya. Berhenti sejenak untuk tidak melakukan penghakiman, tidak buru-buru menarik kesimpulan. Membiarkan hidup apa adanya.
Kita mungkin seringkali bersikap begini. Melihat seseorang yang membuang sampah sembarangan lewat jendela mobil, menarik kesimpulan “Kurang punya adab”, melihat ibu-ibu dengan gelang emas banyak sekali di tangan “Suka pamer,” anak Punk ngamen hanya dengan tepuk-tepuk tangan tanpa alat musik “Pemalas,” laki-laki yang duduk tenang di kereta sementara ada ibu-ibu yang berdiri bergelantungan “Egois”. Mohon maaf. Mungkin bukan kita, tapi saya sering menyimpulkan begitu.
Penghakiman dan penarikan kesimpulan demikian, setelah saya renungkan, hanya akan mengganggu pikiran saja. Saya merenung kembali, setelah saya melakukan penghakiman, setelah saya menarik kesimpulan, walau tentu saja semena-mena saja, apa yang saya dapatkan? Tidak ada. Satu hal yang masuk, bahkan hanya sekadar prasangka saja. Tentu prasangka-prasangka yang buruk. Ini tentu tidak baik untuk jiwa yang sehat.
Kembali merenung lebih dalam. Ternyata, dalam hidup, saya juga telah sibuk membuat kesimpulan-kesimpulan. Bahkan menilai orang dari apa yang telah saya rasakan sekian lama berinteraksi dengan orang tersebut. Orientasinya adalah masa lalu. Menilai orang karena dia telah berbuat baik yang menjadikan kita berutang budi sampai mati atau telah berbuat buruk kepada kita yang membuat kekecewaan mendalam. Menilai seseorang pada titik itu. Ah rupanya, kondisi demikian sebenarnya tak perlu terjadi.
Saya melihat, ada cara yang lebih sehat. Kita cukup berinteraksi dengan orang-orang di sekitar, tak sekadar melihat masa lalu, tapi pikiran apa yang sekarang ada. Kita berinteraksi dengan pikiran-pikiran serta pandangan orang saja. Fokus dengan itu, bukan sejarah masa lalu. Dengan begitu, karena setiap orang berubah pandangan dan perilakunya, adil mencermati konteks pembicaraan-pandangan sekarang, menjadikan sesuatu lebih obyektif.
Konon dalam filsafat terapan, terutama dalam “Teori Transformasi Kesadaran,” fenomena “ajaran” demikian dikenal sebagai kesadaran yang tak memilih (choiceless awareness). Sesuatu yang merupakan inti terdalam dari batin manusia. Kesadaran yang tak memilih ini tidak menganalisis apapun. Ia tidak menghakimi apapun sebagai baik atau buruk. Ia tidak membuat kesimpulan apapun tentang apapun. Saya rasa hal ini cukup menarik perhatian untuk dipraktikkan.
Dalam konteks kenegaraan, saya kira ada gunanya juga. Termasuk dalam skala yang lebih besar, menyikapi betapa amburadulnya performa negeri kita ini. Alih-alih terus terjebak berlagak menemukan akar masalah dan kesimpulan yang salah, tentu lebih baik berbagai perspektif saja, terutama sesuai dengan bidang kita. Tentu, hal demikian bisa menghadirkan dunia yang lebih obyektif dan adil.
Secara pribadi, sepertinya juga bisa menjaga kesehatan mental. Pikiran menjadi lebih tenang, memberikan kesempatan untuk beristirahat, tanpa penghakiman, tanpa menarik kesimpulan. Hasilnya dan tentu saja harapannya, menjadikan segala masalah kejiwaan seperti stress, depresi, frustrasi lenyap secara alami. Menyenangkan bukan hidup demikian? []
Yons Achmad. Penulis Biografi. Tinggal di Depok.

Berita Terkait

Berita Terbaru

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *