Imam Syafi’i, di masa mudanya, termasuk pelajar miskin yang tidak mampu membeli pena dan kertas. Ketika tengah belajar kepada Imam Malik di Madinah, ia menulis menggunakan air liur di telapak tangannya. Imam Malik kesal dan menegurnya karena dianggap tidak sopan.
Imam Syafi’i pun menjelaskan alasannya. Untuk membuktikan keseriusannya, Imam Malik memintanya untuk menyebutkan hadits-hadits yang tadi diajarkan. Ternyata, Imam Syafi’i mampu menyebutkan puluhan hadits itu beserta sanad-sanadnya.
Dalam kitabnya, Qiimatuz Zaman ‘Indal Ulama’, Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah menuturkan banyak sekali kisah ulama yang begitu haus akan ilmu, yang sangat menghargai waktu dan usia demi ilmu.
Suatu ketika Ibrahim ibn Jarrah menjenguk Abu Yusuf yang sedang terbaring lemah karena sakit. Tiba-tiba Abu Yusuf bertanya kepada Ibrahim: “Lebih utama mana, lempar jumrah sambil berkendara atau sambil berjalan?” “Aku tidak tahu,” ucap Ibrahim. Ia pun menjawab pertanyaannya sendiri: “Kalau sambil berdoa, lebih utama yang berjalan.” Selang beberapa saat ia keluar dari rumahnya, Ibrahim mendengar bahwa Abu Yusuf telah wafat.
Ahli fikih Isham bin Yusuf dikisahkan pernah membeli pena seharga satu dinar agar dapat segera mencatat apa yang didengarnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh guru Imam Bukhari, Syaikh Muhammad bin Salam.
Ketika tengah sibuk menulis hadits yang didiktekan, penanya patah. Ia pun berseru kepada kawan-kawannya, siapa pun yang mau menjual penanya, akan langsung ia bayar 1 dinar. Satu dinar setara dengan 4, 25 gram emas, sekitar 8-9 juta rupiah. Harga yang begitu fantastis untuk satu buah pena.
Anak seorang Ahli Hadits bernama Abu Hatim Ar-Razi mengatakan, “Kapan pun ayahku makan, berjalan, pergi buang hajat di kamar mandi, sampai masuk ke rumah untuk mencari sesuatu, aku selalu memperdengarkan bacaanku kepadanya.” Ada pula seorang ulama yang setiap kali buang hajat, berkata kepada anaknya, “Tolong bacakan kitab ini dan keraskan suaramu supaya aku bisa mendengarnya.”
Semasa pembelajarannya, Imam Nawawi konsisten belajar 12 pelajaran setiap hari, meliputi ilmu fiqih, ushul fiqih, hadits, bahasa, dan ushuluddin. Ia mengatakan, “Aku memberi catatan pada semua pelajaran itu. Aku mencatat persoalan-persoalan yang belum terjawab, ungkapan-ungkapan yang belum jelas, dan bahasa-bahasa yang belum tervalidasi.”
“Selama dua tahun, aku hampir tidak pernah membaringkan tubuhku,” ungkapnya juga.
Ada ulama seperti Ibn Rusyd yang hidupnya dihabiskan untuk mengkaji ilmu kecuali dua hari: ketika ayahnya wafat dan ketika ia menikah. Ada ulama semacam Ibnu Taymiyah yang ketika sakit parah di bawah pengawasan dokter, tetap saja sibuk belajar karena merasa bahagia dan tenang dengan ilmu.
Ada ulama yang mempunyai kebiasaan, setiap kali berjalan, selalu fokus membaca buku, sampai-sampai tidak jarang ia jatuh karena tersandung. Ada ulama yang tetap fokus menulis ketika sedang berada di atas hewan tunggangannya sampai menjadi sebuah buku. Ada ulama yang ketika sedang mandi, rela keluar sejenak untuk menulis ilmu yang baru saja diperoleh usai berpikir, sebelum luput dari ingatannya.
Ada ulama yang begitu menyesali waktu makan karena membuat aktivitas keilmuannya terhenti sejenak. Ada ulama yang meminta saudaranya menyuapi makanannya supaya ia tetap bisa belajar. Ada pula ulama yang rela mengorbankan waktu tidur dan makannya, seminimalkan mungkin, demi ilmu.
Dalam kitab Ta’lim Muta’allim, Imam Zarnuji menuturkan kisah tentang Muhammad ibn Hasan yang pernah dimimpikan seseorang. Orang itu bertanya dalam mimpinya: “Apa yang sedang anda lakukan ketika ruh anda hendak dicabut?” Muhammad menjawab, “ketika itu aku sibuk memikirkan satu permasalahan fiqih, lalu tanpa sadar ruhku tercabut.”
Dikisahkan pula sosok Hasan bin Ziyad. Ia adalah salah satu ulama Hanafi yang sangat masyhur. Faktanya, ia baru serius mengkaji fiqih saat berusia 80 tahun. Dalam masa pembelajarannya, ia tidak pernah tidur di atas kasur selama 40 tahun. Hasan pun baru diberi izin untuk berfatwa 40 tahun berikutnya.
Kisah-kisah di atas menunjukkan betapa ilmu menjadi prioritas utama mereka, sebelum dan setelah mereka menjadi ulama. Kelezatan ilmu yang katanya melampaui semua kelezatan materi, benar-benar mereka raih dan buktikan. Usia senja bahkan di ujung maut sekalipun, bukan halangan untuk belajar atau setidaknya memikirkan ilmu. “Uthlubil ‘ilma minal mahdi ilal lahdi” jadi prinsip belajar mereka.
Ucapan “mumpung masih muda, harus banyak belajar” sering kali terkesan menjengkelkan. Namun mau bagaimana lagi. Belum banyak kesibukan, pikiran masih segar, fisik masih bugar, waktu banyak luang. Semenjengkelkan apa pun nasihat itu, faktanya, ia tetap penting.
Raja Ali Haji dalam “Gurindam 12”-nya menyebut bahwa masa muda adalah masa di mana manusia menjadi sorotan utama setan, sebagai tunggangannya. “Kebanyakan orang yang muda-muda, di situlah setan tempat berkuda,” tuturnya. Maka baginya, manusia yang terlalu lama berbuat maksiat dan sia-sia padahal ia tahu, “bukan manusia ia itulah setan.”
Ia pun mengingatkan kepada anak-anak muda, “Jika hendak mengenal orang berilmu, bertanya dan balajar tiadalah jemu… Jika hendak mengenal orang yang berbahagia, sangat memeliharakan yang sia-sia.” Hal ini yang di mata Nabi Muhammad menjadi salah satu kriteria ideal orang Islam: “Di antara tanda keislaman seseorang adalah ia meninggalkan yang tidak bermanfaat baginya (laa ya’niihi).”
Tapi, kalau sudah merasa mengerahkan segalanya, khususnya demi ilmu, namun banyak kendala dan tidak maksimal, tidak apa-apa. Sebab penilaian dan balasan-Nya, ditentukan oleh kadar keletihan, bukan besarnya hasil. Dan semoga semua kerja keras itu bisa meminimalisir penyesalan di masa tua.
Poin pentingnya adalah tidak bermain-main dengan waktu dan masa muda. Kata Imam Syafi’i, “tewasnya” anak muda karena dibunuh waktu, tampak begitu kejam. Korbannya, pasti merasakan “kecemburuan yang mematikan” terhadap waktu-waktu yang disia-siakannya. Jiwanya dihujam dengan penyesalan, telat sadar kalau waktu tidak bisa diulang.
Dengan tegas Imam Syafi’i katakan, “al-waqtu kas sayf, in lam taqta’hu, qatha’aka,” waktu ibarat pedang yang akan menebasmu kapan pun kamu tidak mampu menebasnya. Karenanya Ibn Abi Jamrah menegaskan, “tebaslah waktu dengan amal supaya ia tidak membunuhmu dengan sikap senang menunda-nunda (taswif)”.
“Hari-hari masa mudamu, ambillah banyak keuntungan darinya. Ingatlah bahwa masa muda itu tidak kekal,” ungkap Imam Zarnuji mengutip seorang penyair. Imam Syafi’i juga turut mengingatkan, “Siapa yang enggan belajar di usia muda, takbirkanlah empat kali atas kematiannya. Kehidupan anak muda, demi Allah harus dengan ilmu dan taqwa. Kalau tidak punya dua-duanya, ia tidak pantas disebut manusia.”
من أمضى يومه في غير حق قَضَاهُ، أو فَرْضِ أَداهُ، أو مَجْدٍ أَثَّلَهُ، أو حَمْدِ حصله، أو خَيْرٍ أسسَهُ، أو علم اقْتَبَسَهُ، فقد عَقَّ يومه وَظَلَمَ نفسه
“Siapa yang menjalani harinya tanpa ada hak yang ia tunaikan, kewajiban yang ia laksanakan, kemuliaan yang ia dipertahankan, pujian yang ia dapatkan, kebaikan yang ia perbuat, atau ilmu yang ia raih, sungguh ia telah mendurhakai waktu dan menzalimi dirinya sendiri.”
إذا ما مضى يوم، ولم أصطنع يداً ولم أقتبس علماً، فما هو من عُمري
“Siapa yang menghabiskan waktunya tanpa berbuat sesuatu (yang baik dan berarti) dan tanpa meraih ilmu, hari itu tidak layak menjadi bagian dari usiaku.”
Imam Az-Zarnuji mengingatkan bahwa خزائن المنى على قناطير المحن, bongkahan cita-cita manusia tak mungkin lepas dari badai ujian dan cobaan. Mustahil meraihnya tanpa pengorbanan dan kedisiplinan, mustahil meraihnya dengan belajar tanpa rasa penat, tanpa pernah merasakan lelah fisik dan pikiran karena habis-habisan menimba ilmu.
Kata beliau, الأجر على قدر التعب و النصب, seberapa besar pengorbanan yang kita berikan untuk ilmu, sebesar itu pula hasil yang akan kita dapatkan; من يزرع يحصد, seberapa banyak benih yang kita tanam, sebanyak itu pula hasil panen yang akan kita dapatkan.
Karenanya, kepada para penuntut ilmu, khususnya anak-anak muda, Imam Zarnuji, berpesan:
دَعِى نَفسى التكاسل و التوانى # و إلّا فاثبتى في ذا الهوان
فلم أر للكُسالَى الحظّ يُحظَى # سوى ندم و حرمان الأمانى
“Wahai diri, tinggalkanlah sifat malas dan senang menunda-nunda. Jika tidak, terimalah nasibmu, kau akan menjadi manusia yang luar biasa hina #
Aku tidak pernah melihat manusia-manusia pemalas mendapat keuntungan, mereka hanya mendapat dua hal: penyesalan dan kegagalan dalam hidup”
و لم أر في عيوب الناس عيبا # كنقص القادرين على التمام
“Dari sekian banyaknya aib para penuntut ilmu, aku tidak pernah melihat ada aib yang lebih buruk dari kegagalan mereka dalam belajar karena malas dan tidak serius”
Lagipula, kata Mohammad Natsir dalam bukunya “Pesan Islam Terhadap Orang Modern”, mestinya, karena Islamnya, orang Islam lebih bisa mempunyai kejauhan visi dan misi serta kedisiplinan waktu. Harusnya, orang Islam lebih lihai dalam “menghargai ketepatan waktu, teratur menurut waktu, dan terperinci dalam menyusun urusan- urusannya.”
Sebab Islam sangat menekankan hal itu (QS. Al-Isra’: 12), bahkan jauh lebih baik dan bermakna. Natsir mengatakan, “dalam ajaran-ajaran Islam, kesementaraan kehidupan di dunia ini telah membawa kepada penataan waktu bagi manusia sedemikian rupa sehingga dapat dimanfaatkan sepenuhnya, sebelum datangnya suatu hari ‘ketika bumi diguncang-guncang pada sumbunya, dan bumi itu melemparkan bebannya.”
Begitulah dorongan Islam soal keimanan akan hari akhir menuntun umat Islam untuk tidak hanya berpegang kepada prinsip bahwa “waktu adalah uang”, melainkan kepada suatu pandangan bahwa “waktu itu adalah: Keyakinan, perbuatan yang benar dan saling memperingatkan satu dengan yang lain kepada yang haq dan kesabaran” (QS. Al-‘Ashr: 1- 3).
Fatih Madini (Alumni STID Mohammad Natsir)

Komentar